SEJARAH PERKEMBANGAN
AGAMA HINDU
1. Nama Agama Hindu
Nama agama Hindu adalah
nama suatu keyakinan yang berawal atau berasal dari India yang pada mulanya
agama Hindu tidaklah demikian namanya. Nama Agama Hindu atau Hindu Dharma ini
sedemikian rupa berkembang dan bahkan diberikan oleh orang-orang Barat yang
datang ke India. Agama Hindu dewasa ini mengacu berbagai sumber baik tradisi
maupun utamanya adalah kitab suci Veda sebagai sumbernya. Agama Hindu
berkembang berawal dari India sampai pada ke Indonesia yang pada mulanya
keyakinan agama Hindu dibawa oleh bangsa Arya dari Indo German membawa
kepercayaan atau tradisi perangnya dengan memuja Dewa Indra. Bangsa Arya itu yang termasuk induk bangsa
Indo Eropa, mula-mula adalah bangsa pengembara. Dari tempat mereka terakhir di
daerah Asia Tengah, sebagian dari mereka masuk dan menetap di dataran tinggi
Iran, dan sebagian lagi di Punjab. Pada waktu itu di sepanjang lembah sungai
Sindhu terdapat suatu peradaban bangsa Dravida yang sudah tinggi tingkatannya.
Peradaban ini berpusat di kota-kota yang diperkuat dengan benteng antara lain
Mahenjodaro dan Harappa (Ardhana, 2002:9).
Bangsa Arya sebagai
bangsa Indo-German yang berasal dari Eropa yang menaklukkan India, karena
sebagian sejarawan India menyatakan bahwa bangsa ini berasal dari India Utara
atau dari bagian Tengah Himalaya. Pemberian nama Sanatana Dharma adalah sangat
umum terhadap Agama Hindu di India
menunjukkan penekanan yang
berbeda terhadap makna istilah ini. Nama Sanatana Dharma ini pada abad
ke-9 Masehi lebih dipopulerkan lagi oleh Úrì Saýkaracarya dengan mendirikan
perguruan keagamaan yang sangat berpengaruh untuk menghadapi perkembangan
Buddhisme dan Jainisme dengan mengembangkan dan menyebar-luaskan duta dharmanya
ke seluruh penjuru India dan pada tahun 1875 Swami Dayananda Sarasvati
mendirikan Arya Samaj, yang mempopulerkan bahwa Sanatani Pauraóika (Sanatana Dharma yang bersifat Pauraóika) adalah tidak murni dan menyatakan bahwa Arya
Samaj adalah
Sanatana Dharma yang sejati berdasarkan Veda. Namun dalam
perkembangan terakhir pengertian Sanatana Dharma meliputi pula Jaina, Buddha,
Sikh dan semua Sampradaya atau sekta dalam Hinduisme.
Selanjutnya pengertian
yang bersifat lebih spesifik terhadap Hindu Dharma dikemukakan oleh pimpinan Visva
Hindu Parisad, Organisasi Hindu Sedunia yang didirikan bulan Januari 1964 yang
melaksanakan sebuah pertemuan yang amat bersejarah di kota Prayaga
(Allahabad), pada saat itu bertepatan dengan upacara besar mandi suci yang
disebut Kumbha Mela.
Pertemuan itu mencoba merumuskan pengertian tentang Hindu Dharma yang
didasarkan atas keyakinan, upacara yang umum serta menerbitkan sebuah buku
pedoman, dalam rangka menyatukan pandangan
dalam rangka kesatuan bagi penganut Hindu.
Perpindahan
bangsa Arya sangat penting sepanjang sejarah India, yang secara kuat
membentuk atau mempolakan Agama Hindu. Dengan tidak mengurangi arti bahwa para
imigran itu memiliki agama yang sama, namun kenyataannya bahwa mereka dibedakan
atas lima kelompok yang di dalam kitab suci Veda disebut Panca
Janaá.
Mereka menyebut diri mereka arya, yang terhormat, orang-orang yang
memiliki kedudukun dan kualitas, menunjukan arogansi terhadap mereka yang
berkulit hitam, hina. Bangsa Arya membawa relatip sederhana budaya
desa dengan sistem kekerabatan yang patriarchat. Meskipun terdapat perkiraan
yang kuat tentang institusi Brahmanisme dan inti dari Rgveda sendiri menambahkan
infomasi tenga penyerangan bangsa Arya ke India, keduanya
berhubungan demikian dekat dan demikian masa awal dimaksudkan untuk semua
tujuan praktis, secara ringkas dapat dikatan bahwa agama Veda tidak lain adalah aturan sistem pemujaan dari
bangsa Arya. Sejak jaman Viracarita dan Puraóa yang kemungkinan pada
masa yang bersamaan, menggambarkan aspek yang populer dari Agama Hindu Kuno,
yang diyakini berasal dari masa awal
dalam mellengkapi ajaran suci Veda.
Tradisi agama yang tersimpan
dalam Itihasa dan Puraóa dikenal adanya murti
(arca) dan manðir (pura), mujizat (keajaiaban),
mitologi dan hal ini sangat populer dan kadang-kadang menggantikan agama Veda.
Upacara Veda hingga kini berlangsung
dalam bentuk yang berbeda-beda. Namun kenyataannya dalam tradisi upacara korban
nampak pengaruh local, dilaksanakan dan mendomonasi lingkup Agama Hindu.
Di dalam
kitab-kitab Purana disebutkan Rsi Agastya, seorang
missionaris dari bangsa Arya yang bertanggung jawab dalam
penyebaran Agama Hindu di India Selatan. Pengaruh Hindu selanjutnya berkembang
sampai Asia Tenggara dan Indonesia selama masa keemasan India. Meskipun untuk
beberapa abad Agama Buddha dan jaina juga mengklaim banyak pengikut dan
berkembang di bawah patron raja dinasti
Gupta di India Utara dan Pallava di Selatan, namun tersapu bersih oleh supremasi Agama Hindu. Para Brahmana yang memegang tradisi Veda, teristimewa filsafat Vedanta berhasil memenuhi
keinginan masyarakat dengan memberikan berbagai jalan melalui berbagai Sampradaya atau sekta
seperti Saiva, Vaisnava dan terakhir adalah Sakta. Demikianlah secara
teratur gerakan missionaris (Dharmaduta) menyebar luaskan berbagai kitab seperti Bhagavadgita, Ramayana dan Bhagavata Puraóa. Secara geografis Saiva dominan di India
Selatan, Vaisnava berkembang di Utara, sementara
itu di Bengal (Benggala), Assam dan Orissa berkembang pesat Sakta dan pengaruh yang
terakhir ini sampai ke Indonesia dan khususnya Bali. Upacara dan perayaan
Galungan mengingatkan perayaan Durgapuja di India.
Dipakai
nama Hindu Dharma sebagai nama Agama
Hindu menunjukkan bahwa kata Dharma
mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian kata
agama dalam bahasa Indonesia. Dalam
kontek pembicaraan kita saat ini pengertian Dharma disamakan dengan agama. Jadi
Agama Hindu sama dengan Hindu Dharma. Kata Hindu
sebenarnya adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Persia yang mengadakan
komunikasi dengan penduduk di lembah sungai Sindhu dan ketika orang-orang
Yunani mengadakan kontak dengan masyarakat di lembah sungai Sindhu mengucapkan
Hindu dengan Indoi dan kemudian
orang-orang Barat yang datang kemudian
menyebutnya dengan India. Pada mulanya wilayah yang membentang dari lembah
sungai Sindhu sampai yang kini bernama Srilanka, Pakistan, Bangladesh dan
bahkan Bharata yang disebut juga Jambhudvipa.
Nama asli dari agama ini adalah Sanatana Dharma atau Vaidika Dharma. Kata Sanatana Dharma
berarti agama yang bersifat abadi dan akan selalu
dipedomani oleh umat manusia sepanjang masa, karena ajaran yang disampaikan
adalah kebenaran yang bersifat universal, merupakan santapan rohani dan pedoman
hidup umat manusia yang tentunya tidak terikat oleh kurun waktu tertentu. Kata Vaidika Dharma berarti ajaran agama yang
bersumber pada kitab suci Veda, yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa
(Mahadevan,1984:13).
Kitab suci Veda merupakan
dasar atau sumber mengalirnya ajaran Agama Hindu. Para rsi atau maharsi yakni
orang-orang suci dan bijaksana di India zaman dahulu telah menyatakan
pengalaman-pengalaman spiritual-intuisi mereka (Aparoksa-Anubhuti) di dalam kitab-kitab Upanisad,
pengalaman-pengalaman ini sifatnya langsung dan sempurna. Hindu Dharma
memandang pengalaman-pengalaman para mahàrûi di zaman dahulu itu sebagai
autoritasnya. Kebenaran yang tidak ternilai yang telah ditemukan oleh para maharsi
dan orang-orang bijak sejak ribuan tahun yang lalu, membentuk kemuliaan
Hinduisme, oleh karena itu Hindu Dharma merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa
(Sivananda, 1988:4).
Para maharsi diakui
sebagai penemu atau penerima wahyu tuhan Yang Maha Esa yang memang telah ada
sebelumnya dan karena penemuannya itu mereka dikenal sebagai para maharsi
agung. Mantra-mantra Veda telah ada dan senantiasa ada, karena bersifat
Anadi-Ananta yakni kekal abadi mengatasi berbagai kurun waktu. Oleh karena
kemekaran intuisi yang dilandasi kesucian pribadi mereka, para maharsi mampu
menerima mantra Veda. Para maharsi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa
dihubungkan dengan Sukta (himpunan mantra), Devata (Manifestasi Tuhan Yang Maha
Esa yang menurunkan wahyu) dan Chanda (irama/syair dari mantra Veda). Untuk itu
umat Hindu senantiasa memanjatkan doa pemujaan dan penghormatan kepada para
Devata dan mahàrûi yang menerima wahyu Veda ketika mulai membaca atau
merapalkan mantra-mantra Veda (Chandrasekharendra,
1988:5).
Kitab
suci Veda bukanlah sebuah buku sebagai halnya kitab suci dari agama-agama yang
lain. Kitab ini terdiri dari beberapa buku yang terdiri dari 4 kelompok yaitu
kitab-kitab Mantra (Samhità) yang dikenal dengan Catur Veda (Rgveda, Yajurveda, Samaveda atau
Atharvaveda). Masing-masing kitab mantra ini memiliki kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad) yang
seluruhnya itu diyakini sebagai wahyu wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang didalam
bahasa Sanskerta disebut Sruti. Kata Sruti berarti sabda Tuhan Yang Maha Esa
yang didengar oleh para maharsi. Pada mulanya wahyu itu direkam melalui
kemampuan mengingat dari para maharsi dan selalu disampaikan secara lisan
kepada para murid dan pengikutnya, lama kemudian setelah tulisan (huruf)
dikenal selanjutnya mantra-mantra Veda itu dituliskan kembali. Seorang maharsi
agung, yakni Vyasa yang disebut Krisndvaipayana dibantu oleh para
muridnya menghimpun dan mengkompilasikan mantra-mantra Veda yang terpencar pada
berbagai Sakha, Āsrama (ashram), Gurukula, Sampradaya, Parampara
atau Akara.
Dalam
memahami ajaran Agama Hindu, disamping kitab suci Veda (Sruti) yakni wahyu Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber tertinggi,
dikenal pula hiarki sumber ajaran Agama Hindu yang lain yang merupakan sumber
hukum Hindu adalah Smrti (kitab-kitab
Dharmasatra atau kitab-kitab hukum Hindu), Sìla (yakni tauladan pada maharsi yang termuat
dalam berbagai kitab Itihasa (sejarah) dan Purana (sejarah kuno), Acara
(tradisi yang hidup pada masa yang lalu yang juga dimuat dalam berbagai kitab
Itihasa (sejarah) dan Ātmanastusti, yakni kesepakatan bersama berdasarkan
pertimbangan yang matang dari para maharsi dan orang-orang bijak.
Inilah gambaran indah
tentang Hindu Dharma. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila
mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda -beda dalam Hindu
Dharma; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe
pemahaman dan tempramen, sehingga menjadi keyakinan yang bermacam-macam pula.
Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hindu Dharma;
karena dalam Hindu dharma tersedia tempat bagi semua tipe pemikiran dari yang
tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan dan evolusi mereka
(Sivananda, 1988:134). Sejalan dengan pernyataan ini Max Muller mengatakan
bahwa Hindu Dharma mempunyai banyak kamar untuk setiap keyakinan dan Hindu
Dharma merangkum semua keyakinan tersebut dengan toleransi yang sangat luas dan
Dr. K. M. Sen mengatakan bahwa dengan definisi Hinduisme menimbulkan kesulitan
lain. Agama Hindu menyerupai sebatang pohon yang tumbuh perlahan dibandingkan
sebuah bangunan yang dibangun oleh arsitek besar pada saat tertentu.
Pernyataan-pernyataan di atas adalah benar sebab dalam
ajaran Agama Hindu dikenal banyak jalan atau cara mencapai Brahman, Tuhan Yang
Maha Esa dengan ribuan Udbhava (manifestasi) Nya dengan nama-Nya
berbeda-beda. Tuhan Yang Maha Esa, melalui Avatara-Nya. Ajaran Sraddha yang merupakan dasar keimanan
Hindu Dharma dirumuskan dalam Panca Sraddha,
yakni keyakinan terhadap Brahman,
para dewa manifestasi-Nya dan Avatara-Nya,
keyakinan terhadap kebenaran Ātman,
roh atau jiva yang menghidupkan semua mahluk dan Ātmàn merupakan percikan-Nya
(Brahman/Tuhan Yang Maha Esa) Yang
Trancendent maupun Yang Immanet. Sraddha,
keyakinan atau keimanan yang ketiga adalah terhadap kebenaran adanya Karmaphala (hukum perbuatan), keimanan
yang keempat adalah keyakinan terhadap
penjelmaan kembali, Samsara (rebith) dan yang kelima adalah Moksa, yakni kebebasan tertinggi yang
mesti dicapai umat manusia, bersatunya Ātman dengan Brahman, Tuhan Yang Maha
Esa.
Ajaran Agama Hindu bagaikan
aliran sungai mengaliri berbagai budaya dan peradaban umat manusia, sejak
diturunkan oleh-Nya di lembah sungai Sindhu hingga ke Indonesia dan Bali
khususnya, agama ini menyuburkan lembah-lembah kehidupan, peradaban dan budaya
umat manusia yang dilalui itu. Agama Hindu menjadi jiwa dari segala aktivitas
pemeluknya serta peradaban dan budaya yang mereka anut. Menyatunya antara agama
dan budaya, seperti jalinan benang tenun (kain endek Bali), yang menyatu
sedemikian rupa dengan keindahannya yang mempesona. Di setiap wilayah yang
dialiri oleh ajaran Agama Hindu terjadi sinergi yang mempelihatkan identitas
budayanya masing-masing, oleh karena itu akan tampak dalam acara Agama Hindu di masing-masing daerah, baik di India (tampak
berbeda pelaksananan Agama Hindu di India Utara, Selatan, Barat, dan lain-lain
karena faktor budaya pendukung agama tersebut), demikian pula di Indonesia,
tampak perbedaan antara Agama Hindu yang dipeluk oleh warga Dayak Kaharingan,
Hindu yang dipeluk oleh masyarakat Jawa dan sebagainya yang semuanya memiliki
identitas budayanya masing-masing yang memberi warna budaya agama yang
berbeda-beda.
2.
Perkembangan Agama Hindu di India
Mengenai perkembangan agama Hindu di India dapat
di pilah menjadi empat jaman (yuga) yakni: pertama jaman Weda, kedua jaman
Brahmana, ketiga jaman Upanisad, dan keempat jaman Tantrayana. Dari
masing-masing jaman tersebut memiliki kekhasan tersendiri, terutama dalam
penonjolan aktifitas religiusnya. Jaman Weda ini dimulai dengan kedatangan
bangsa Arya kira-kira 5000 SM tahun yang lalu, didaerah hulu sungai Sindhu yang
terkenal dengan nama Panjab (lima sungai). Bangsa Arya itu yang termasuk induk
bangsa Indo Eropa, mula-mula adalah bangsa pengembara. Dari tempat mereka
terakhir di daerah Asia Tengah, sebagian dari mereka masuk dan menetap di
dataran tinggi Iran, dan sebagian lagi di Panjab. Pada waktu itu di sepanjang
lembah sungai Sindhu terdapat suatu peradaban bangsa Dravida yang sudah tinggi
sekali tingkatannya. Peradaban ini berpusat di kota-kota yang diperkuat dengan
benteng antara lain Mahenjodaro dan Harappa (Ardhana, 2002:9). Pada jaman Weda
ini bahwa kegiatan keagamaan ditandai dengan pemujaan kepada dewa-dewa yang
mengacu sumber catur weda saamhita seperti rgveda yang memuat mantra-mantra
suci, samaveda yang memuat mantra
serta lagu suci agama Hindu, yajurveda yang
memuat mantra untuk pelaksanaan persembahan atau yajna, dan atharvaveda yang
memuat mantra gaib untuk memohon kerahayuan umat manusia. Jadi jaman weda ini
diperkirakan sekitar 2500 SM telah berkembang agama Hindu di India.
Selanjutnya ada jaman berikutnya adalah jaman
Brahmana. Bagaimana keberadaan agama Hindu pada jaman Brahmana tersebut?
Brahmana adalah kitab suci yang menguraikan masalah yajna atau sesaji dan
upacara-upacaranya, yang meliputi arti dari suatu sesaji atau yajna serta
tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Tiap-tiap yajna ditetapkan dengan cermat
sekali menurut peraturan-peraturannnya. Menyimpang sedikit saja dari
peraturan-peraturan itu berarti batalnya, tidak sahnya yajna itu (Ardhana,
2002:
11-12). Jaman ini ada beberapa sumber pedoman yang ada bernama pustaka
Kalpasutra berisi tuntunan upacara yajna yang begitu rumit, kemudian ada
pustaka Ghryasutra berisi tuntuna yajna yang kecil dalam lingkungan keluarga,
sedangkan tuntunan yajna yang tergolong besar diatur dalam pustaka srautasutra.
Dalam srautasutra ada diatur mengenai upacara rajasuya dan upacara asvamedha
yajna. Jaman ini diperkirakan keberadaannya pda tahun 1000 SM.
Selanjutnya pada jaman upanisad yang
menitikberatkan aktifitas keagamaan pada spiritual atau rohani. Kata upanisad
berarti duduk dibawah dekat kaki guru, untuk mendengarkan upadesa atau ajaran
mengenai Brahman, samsara, swarganaraka, dan moksha. Upadesa dari sang guru
mengandung ajaraan-ajaran yang bersifat ilmiah dan karena itu upanisad
merupakan ilmu pengetahuan suci (jnana) yang dapat membuka mata hati pembacanya
dalam membuka misteri kehidupan alam semesta ini. upanisad disebut juga kitab
rahasia karena isinya mengajarkan tentang hal-hal yang bersifat dan hakikat
Brahman Upanisad inilah yang memuat berbagai ajaran yang membahas ajaran
ketuhanan (brahmawidya) yang merupakan dasar kehidupan beragama Hindu (Ardhana,
2002: 13-14). Jaman upanisad ini diperkirakan keberadaaannya sekitar tahun 800
SM. Sedangkan jaman yang terakhir adalah jaman Tantrayana sekitar tahun 600 SM.
Dalam Tantrayana aspek yang menonjol adalah konsep teologinya yang melihat dari
segi peranan sakti. Manusia mendambakan kesaktian yang ada pada Sang Hyang
Widhi dan berharap supaya kesaktian-Nya itu diberikan kepada manusia sehingga
dengan demikian dapat memiliki apa yang ada pada Brahman itu (Ardhana,
2002:16). Tantrayana berorientasi kepada Siva dan karena itu sekte ini dikenal
pula sebagai sekte Siva. Dalam sekte siva ini, nama siva selalu disebut-sebut
sebagai ista dewatadengan seribu nama (siwa sahasra nama) antara lain, Siwa, Hara,Rudra, Puspalocana, Sambhu,
Maheswara, Trilocana, Wamadewa, Wiswarupa, Ganeswara, Pasupati, Tejomaya,
Sadasiwa,Dhurga, Mahakala, Dhneswara, Padmagarbha, dan selanjutnya banyak
sekali sampai seribu (Ardhana, 2002:17-18). Jaman ini bersumber pada Weda atau
Agama atau Tantra yang sesungguhnya tidak dapat dipisah-pisahkan begitu rupa
mengingat Tantranya bersumber pada Weda, seperti jaman Kertayuga bersumber pada
Sruti, tretayuga bersumber pada Smrti, dwaparayuga bersumber pada purana, dan
kaliyuga bersumber pada agama atau tantra. Dalam menyelenggarakan upakara yajna
termasuk samskara ada beberapa alat peraga yang sering dipakai dhupa, dhipa,
puspa, gand aksata, tirtha, dan mantra
(Ardhana, 2002;19).
3. Perkembangan
Agama Hindu di Indonesia
Perkembangan Agama Hindu di
Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan Agama Hindu di India. Sejarah
dan perkembangan Hinduisme di Indonesia, berdasarkan bukti-bukti sejarah telah
tiba pada abad ke 4 dan 5 Masehi, terutama di Kalimantan Timur (pada beberapa
prasasti yang dikeluarkan oleh raja Mulavarman dan di Jawa Barat oleh raja Purnavarman)
yang datang dari India Selatan. Selanjutnya perkembangan Agama Hindu di Jawa
Tengah ditandai dengan pendirian “Lingga” oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Saka
atau 732 Masehi yang dikenal sebagai pendiri dinasti Mataram Kuno. Sejak
berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang disusul dengan dinasti Sailendra
di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan Hindusime di Jawa Timur
(berdasarkan prasasti Dinoyo, Malang)
dan di Bali. Di Bali sejarah dan perkembangan Agama Hindu diduga mendapat
pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa Timur. Masuknya Agama Hindu di Bali
diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai
fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sanskerta.
Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat
yang memuat mantra Buddha yang dikenal dengan “Ye te mantra”, yang diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi.
Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata “Sivas.......ddh.......” yang oleh para
ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika
utuh berbunyi: “Siva Siddhanta”.
4.
Perkembangan Agama Hindu di Bali
Bali
sebagai sebuah pulau kecil di hamparan katulistiwa Nusantara sejak masa
prasejarah ikut serta dalam pertumbuhan budaya yang menjadi akar dari
perkembangan kebudayaan Nasional. Penelitian arkeologi yang selama ini
dilakukan di Bali telah berhasil mengungkapkan awal hubungan daerah ini dengan
India. Di situs Sembiran telah ditemukan puluhan fragmen gerabah India dengan
pola hias rolet, dua buah fragmen tepian gerabah Arikamedu (India) tipe 10, dua
buah tepian gerabah tepian Arikamedu tipe 18, sebuah gerabah Arikamedu tipe
141, dan sebuah batu bertulis dengan huruf Kharoshti atau Brahmi. Selain itu,
ratusan pecahan gerabah yang dipoles
dengan warna hitam kemungkinan juga berasal dari India karena mempunyai
kandungan kimiawi dan mineral yang sama dengan gerabah berpola hias rolet
tersebut. Perlu dicatat bahwa situs Sembiran dan Pacung di Bali Utara telah
menghasilkan temuan gerabah India terbanyak sampai saat ini di Asia Tenggara.
Kronologi gerabah India di Sembiran
mungkin berasal dari awal abad Masehi atau sekitar 2.000 tahun yang lalu
(Ardika, 1997:62). Pada masa bercocok tanam, dengan memperhatikan tipologi
tinggalan beliung persegi di Bali, maka dapat dikatakan bahwa Bali pada masa
itu telah mempunyai hubungan budaya yang luas dengan daerah lainnya di
kepulauan Indonesia maupun di Asia Tenggara (di antaranya Malaysia, Burma,
Kamboja, Thailand, Laos, dan bahkan dengan China dan Formosa). Hubungan yang
demikian luas terjadi akibat adanya migrasi yang disebabkan oleh pencarian
daerah yang lebih subur untuk kepentingan perladangan. Hal ini ditunjang oleh
kamajuan teknologi alat-alat batu dengan beberapa macam tipologi yang dapat
dipergunakan dalam pekerjaan khusus seperti pembuatan perahu sebagai alat
transportasi laut dalam penyeberangan dari pulau ke pulau lain di kawasan Asia Tenggara (Suastika,
1997:38).
Sejalan dengan penelitian
Suastika di atas, kini kepemilikan tanah di Desa Catur, Kintamani, Bangli lebih
banyak dimiliki oleh etnis China yang memang mereka diduga telah datang ke Bali
pada masa pertama kalinya terjadi hubungan antara Bali dengan China. Di Desa
Catur, hingga kini diwarisi adanya pemujaan versi China yang di tempatkan di
komplek Pura Desa di desa tersebut. Oleh umat Hindu setempat disebut sebagai
tempat memuja Ratu Subandar. Hal yang sama dapat dijumpai di Pura Balingkang,
Pura Ulundanu Batur, Kintamani, dan Pura Penataran Agung Besakih. Rupanya sejak
zaman prasejarah Bali masyarakat Bali telah bersinergi dengan etnis luar
(khususnya China).
Demikian pula pada masa perundagian. Masa perundagian adalah puncak segala kemajuan yang berhasil dicapai
yakni merupakan perkembangan lebih lanjut dari masa bercocok tanam. Penduduk
yang hidup bergabung dalam suatu desa, sudah berhasil mencapai suatu taraf yang
baik dengan penguasaan teknologi yang tinggi seperti teknik pembuatan gerabah,
kepandaian menuang perunggu. Masa perundagian
telah menghasilkan kebudayaan Indonesia asli yang bernilai tinggi karena
dijiwai oleh konsepsi alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat pada waktu
itu (Putra, 1987:50).
Kepandaian menuang benda-benda
perunggu yang dibentuk menjadi bermacam-macam benda yang diinginkan, dapat
disebutkan sebuah di antaranya yang ditemukan di Bali yang kini disimpan di
Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar yakni oleh masyarakat dinamakan “Bulan
Pejeng” atau Nekara. Pembuatan Nekara ini dengan cara cire perdue atau cetakan hilang. Namun, yang perlu diperhatikan di
sini adalah fungsi benda tersebut sebagai benda upacara keagamaan seperti
upacara untuk mohon hujan, di samping ditemukannya hiasan kodok pada bagian
bidang pukulnya dan juga sebagai genderang perang. (Putra, 1987:51, Ardana,
1982:50). Pada masa perundagian seni pahat sudah berkembang dengan baik,
terbukti dari pola hias kedok muka pada tonjolan beberapa sarkofagus serta
arca-arca sederhana dari beberapa desa di Bali. Kemungkinan besar bahwa seni
pahat dari masa perundagian inilah selanjutnya menjadi dasar bagi perkembangan
seni pahat di Bali setelah Agama Hindu sampai di daerah ini (Darsana,
1997:25). Sejalan dengan pandangan
tersebut maka kepercayaan dan budaya pada masa prasejarah Bali merupakan
landasan masuk dan berkembangnya Agama Hindu dan pertumbuhan kebudayaan Bali.
Berita
tertua tentang keadaan di Bali, yang berasal dari Pulau Bali sendiri berupa
prasasti yang tidak berangka tahun. Prasasti ini jumlahnya 7 buah. Bahasa yang
dipakai adalah bahasa Sanskerta. Sayang sekali prasasti-prasasti batu ini sudah
rusak sekali sehingga tulisannya tidak dapat dibaca dengan jelas. Di samping
itu ditemukan juga beberapa buah cap kecil dari tanah liat, besarnya kira-kira
2,5 Cm. Cap tanah liat tadi disimpan dalam stupa-stupa kecil yang juga dibuat
dari tanah liat. Cap ini ditulisi mantra-mantra agama Buddha dalam bahasa
Sanskerta. Mantra yang sejenis dengan mantra pada cap ini dijumpai di atas
pintu candi Kalasan (Jawa Tengah) yang berasal dari abad ke-8 Masehi. Oleh
karena itu dapat diduga bahwa cap ini juga berasal dari abad ke-8 Masehi.
Mungkin mulai abad tersebut para bhiksu
atau pendeta Buddha telah datang di Bali dan menetap di sini jauh sebelumnya.
Selain prassasti berbahasa Sanskerta dan cap berisi mantra agama Buddha,
dijumpai pula prasasti yang memakai bahasa Bali. Prasasti ini memakai unsur-unsur penanggalan dan angka tahun,
tetapi sayangnya tidak menyebut nama raja. Disebutkan bahwa keraton (panglapuan) terletak di Singhamandava
(Sumadio, 1976:134-135).
Bila
prasasti-prasasti berbahasa Sanskerta dan berbahasa Bali di atas menguraikan
tentang Agama Hindu dan sezaman dengan cap tanah liat yang berisi mantra agama
Buddha di atas, maka Agama Hindu sudah masuk ke Bali sezaman atau lebih dahulu
dari abad ke-8 Masehi. Selanjutnya prasasti pertama yang di dalamnya memberi informasi
tentang Agama Hindu berasal dari tahun 804 Saka (882 M) (prasasti Sukawana AI)
yang isinya antara lain memberikan ijin membangun pertapaan di daerah perburuan
Bukit Cintamani mmal. Di samping itu, juga disebutkan bhiksu Sivakangsita, Sivanirmala,
Sivaprajña, dan partapanan satra di katahan
buru serta Hyang Api dan Hyang Tanda (Sumadio, 1976:136, Goris,
1954:53).
Berdasarkan nama-nama tersebut,
yakni Sivakangsita, Sivanirmala, Sivaprajña, maka dapat diduga bahwa corak keagamaan saat itu adalah
Sivaisme, sedangkan nama Hyang Api
dan Hyang Tanda menunjukkan tempat
dilaksanakan upacara Agnihotra atau Homayajña atau disebut juga dengan nama
Yajñasala. Di desa Pakraman Tembau dijumpai sebuah pura dengan nama Pura Sala
yang rupanya di masa yang silam adalah tempat dilangsungkannya upacara
tersebut.
Prasasti selanjutnya berasal dari
818 Saka (896 M), isinya tentang pemberian ijin kepada nanyakan pradhana dan bhikûu
agar membangun sebuah kuil untuk Hyang Api di desa Banua Bharu. Prasasti
lainnya berasal dari tahun 813 Saka (891 M) isinya tentang pemberian ijin
kepada penduduk desa Turunyan untuk membangun kuil bagi Bhatara Da Tonta. Oleh karena itu mereka dibebaskan dari beberapa jenis
pajak, tetapi mereka ini dikenakan sumbangan untuk kuil tadi. Beberapa jenis
pajak harus dibayar setiap bulan Caitra dan Magha, pada hari kesembilan
(mahanavamì). Bila ada utusan raja
datang menyembah (sembahyang) pada bulan Asuji, mereka harus diberi makanan dan
sebagainya (Sumadio, 1976: 136). Dalam prasasti itu juga menyebutkan haywahaywan di magha mahanavamì (Goris, 1954: 56). Dalam bahasa Bali dewasa ini
kata mahaywahaywa (dari kata mahayu-hayu) berarti merayakan. Haywahaywan di magha mahanavamì berarti perayaan Magha Mahanavamì. Di India Mahanavami
identik dengan Dasara yakni hari
pemujaan ditujukan kepada para leluhur (Dubois, 1981:569). Swami Sivananda
(1991:8) mengidentikkan Dasara dengan Durgapuja yang dirayakan dua kali setahun, yakni Ràmanavaratrì atau Ramanavamì pada bulan Caitra,
dan Durganavaratrì atau Durganavamì pada bulan Asuji (September-Oktober). Perayaan ini
disebut juga Vijaya Dasami atau Sraddha Vijaya Dasami.
Bhatara Da Tonta adalah sebutan untuk dewa tertinggi (Tuhan Yang Maha Esa)
bagi masyarakat Terunyan, di seberang timur Danau Batur, tempat prasasti tersebut
di atas ditemukan (prasasti Turunyan). Bhatara
Da Tonta dipuja melalui sebuah patung megalitik yang tinggi dan besar dan
kini disimpan di dalam meru pada
sebuah pura di desa setempat. Raja memberikan kebebasan kepada masyarakat
membangun kuil untuk Bhatara Da Tonta
menunjukkan bahwa kedatangan Agama Hindu ke Bali tidak mengubah atau
menghapuskan kepercayaan masyarakat terhadap dewa tertinggi tersebut.
Sebaliknya memberikan tempat yang terhormat berdampingan dengan dewa-dewa Agama
Hindu lainnya.
Hal ini tampak diwarisi hingga
kini di daerah pegunungan di Kabupaten Bangli (di pura Ulundanu Batur dan pura
Balingkang), yakni adanya bangunan suci untuk memuja Ratu Subandar, yang di
dalamnya tampak tata pemujaannya mengikuti tradisi budaya Cina. Di sini tidak
dikenal istilah sinkretisme, melainkan berdampingan dan mendapat tempat yang
terhormat bagi kepercayaan yang berbeda. Penggunaan meru di Bali menunjukkan adanya pengaruh dari India Utara, utamanya
Nepal. Di negara ini, penggunaan meru seperti
halnya di Bali tampak sangat umum.
Prasasti yang ke empat berasal
dari tahun 833 Saka (911 M). Isinya mula-mula sama dengan prasasti Turunyan
(bagian 1b-2a4). Selanjutnya diatur juga perihal orang desa Air Hawang yang
tinggal di daerah desa Turuñan sebelah timur Danau Batur. Pada tiap-tiap bulan
Bhàdravada, Bhatara Da Tonta harus
dipuja dan disucikan, memakai bedak kuning dan sebagainya, oleh sahayan padang dari desa Air Rawang
(Sumadio, 1976:137) yang menunjukkan adanya persamaan dengan pelaksanaan
upacara Agama Hindu yang kini masih berlangsung di India, yakni upacara abhiseka, upacara penyucian terhadap
arca utama (ìstadevata) pada sebuah mandir
atau pura di India.
Prasasti yang lainnya adalah
prasasti yang tidak memuat angka tahun sebanyak 3 buah. Salah satu dari
prasasti itu tidak dapat disalin karena
keadaannya sangat rusak. Isinya mengenai
pemberian ijin kepada kuil ida hyang di
bukit tunggal paradyan Indrapura
di daerah Air Tabar (Sumadio:137) dan prasasti yang terakhir dari masa Hindu
Bali adalah prasasti Pura Kehen, Bangli yang menyebutkan bhiksu Sivarudra, Anantakusuma
dan Prabhava serta pertapaan di Hyang Karimama dan Hyang Api (Goris, 1954:59-60). Seperti telah disebutkan di atas
kata Hyang Api, Hyang Tanda, juga Hyang
Karimama menunjukkan tempat upacara Agnihotra
(Homayajña), yakni berupa Yajñaúala, Yajñakunda, atau Vedi. Kata hyang berarti parhyangan
atau kahyangan yang berarti tempat
suci. Hal ini didukung pula oleh nama pura, yakni Kehen, yang maknanya sama
dengan keren dalam bahasa Bali yang
berarti tempat api atau perapian. Dengan demikian upacara Agama Hindu yang
rutin dilaksanakan pada awal masuknya Agama Hindu adalah Agnihotra atau Homayajña.
Menurut informasi Ida Pedanda Gede Oka Punia Atmaja (mantan Pengurus Harian
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat) upacara Agnihotra atau Homayajña sangat
umum berlangsung di Bali di masa yang silam. Pada saat pemerintahan raja Dalëm
Dimade di Smarapura (Klungkung) terjadi peristiwa yakni panggung upacara
terbakar pada saat upacara itu berlangsung dan raja memerintahkan upacara
tersebut cukup dilakukan secara sederhana (kecil) yang lama kemudian tidak
tampak lagi dilakukan oleh masyarakat.
Dilihat dari seni arca, karakter
arca dalam periode ini terlihat lemah lembut, kegemuk-gemukan, bersikap tenang,
mata setengah terbuka, pandangan mengarah ke ujung hidung. Ciri-ciri arca semacam
ini dapat dijumpai dalam stupika-stupika tanah liat yang banyak didapatkan di
sekitar desa Pejeng, Tatiapi, dan Blahbatuh tetapi arca ini bersifat Buddhist.
Untuk arca Hindu dapat dicontohkan arca
Siwa yang terdapat di Pura Putra Bhatara
Desa Bedulu. Kecuali arca Siwa tersebut, arca Hindu lainnya, belum ditemukan
tinggalannya. Konteksnya dengan daerah lain, tak dapat dipungkiri bahwa seni
arca di Bali saat itu mendapat pengaruh seni klasik Jawa Tengah.
Ciri-ciri kelemahlembutan, kegemukan,
dan lain sebagainya seperti tersebut di atas adalah ciri-ciri arca klasik Jawa
Tengah. Akan tetapi arca yang berciri
demikian bukan saja didapatkan di Jawa dan Bali, tetapi juga di Kamboja, Thailand,
Bhirma, dan Malaysia. Karena itulah maka
arca-arca masa klasik Jawa Tengah disebut memiliki "Gaya
Intemasional", dan dan daerah pusat persebarannya diduga di Nalanda
(Redig, 1997:172). Berdasarkan uraian tersebut di atas, awal mulanya pengaruh
Hindu di Bali dari seni arca masih menampakkan gaya internasional atau gaya
asli India.
Hubungan
Bali dengan India tampak pula dari perayaan Baliyatra,
yakni perayaan setiap bulan Purnama
Kartika (Oktober) yang berlangsung di Orissa, India Timur untuk memperingati
leluhur mereka yang melakukan perjalanan suci ke Bali. Perayaan Baliyatra ini mengingatkan pula para
cerita Babad (Sejarah Lokal Bali) yang menyebutkan bahwa leluhur orang Bali
adalah Sang Hyang Pasupati yang berasal dari India Timur. Di samping itu ada
yang langsung ke Bali, dari India Selatan terbukti dari prasasti Blanjong yang
memakai huruf Pallawa bahasa Bali Kuno dan huruf Bali Kuno memakai bahasa
Sanskerta. Demikian pula cerita Mahàrsi Markandeya yang datang ke Bali menanam
Pancadatu, yang menjadi landasan berdirinya Pura Agung Besakih, dari Jawa ke
Bali memberi petunjuk masuknya Agama Hindu ke Bali melalui Jawa. Dengan demikian masuknya Agama
Hindu ke Bali langsung dari India Timur dan India Selatan, dan ada pula dari Jawa Tengah (Dieng) dan Jawa
Timur (Gunung Raung) menuju Bali.
Ketika
Bali memasuki zaman Bali Kuna, di Jawa terjadi perubahan pusat peradaban, yaitu
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Tinggalan arca dari masa tersebut dalam
beberapa hal masih memperlihatkan ciri-ciri Jawa Tengah. Contoh arcanya untuk
Jawa Timur adalah arca-arca dari Belahan seperti arca perwujudan Erlangga atau
arca-arca pancorannya dan untuk yang di Bali adalah arca-arca pancoran dari Goa
Gajah Bedulu (Kempers, 1959; 69 71). Arca-arca ini berasal dari abad XI, ciri
badaniahnya masih lembut dan berisi, seperti arca-arca Jawa Tengah. Arca-arca
lainnya yang berasal dari abad XI ditemukan di Pura Sibi Agung dan Sibi Alit
yang masing-masing berada di wilayah Desa Lebih dan Samplangan, Kabupaten
Gianyar, Bali. Arca-arca yang dimaksud adalah arca Siwa berangka tahun Saka 945
(1022 M), arca Umamahesvaramurti
berangka tahun Saka 948 (1026 M), arca
Durgamahesamurti berangka tahun Saka
948 (1026 M), dan banyak
lagi yang lainnya tetapi tanpa angka tahun seperti arca-arca Ganesa dan bhatara-bhatari (Redig, 1977: 172).
Dalam
periode Bali Kuna, kepala arca mu1ai dihiasi dengan sejenis mukuta berupa
susunan kelopak bunga teratai yang disusun sedemikian rupa makin ke atas makin
mengecil. Model mukuta ini berkembang
sampai zaman-zaman berikutnya. Perlu diberi catatan bahwa da1am periode ini
juga muncul arca bergaya kekaku-kakuan, berdiri tegap (samabanga), badan lurus kaku dari atas ke bawah,
berkain tebal tergantung berat dari pinggang ke pergelangan kaki, seperti
terlihat pada arca-arca perwujudan di Pura Gunung Penulisan Kintamani. Di Jawa
Timur, arca-arca bergaya kekaku-kakuan munculnya kemudian, tepatnya zaman
Majapahit. Ketika di Jawa Timur berkembang arca-arca berciri demonis pada abad
XIII, di Bali juga muncul arca-arca sejenis itu, contohnya arca Bhairawa di
Pura Kebo Edan Bedulu. Dalam pada itu arca kekaku-kakuan dari abad XI termasuk hiasan kepalanya yang khas masih
terus berkembang, setidak-tidaknya sampai abad XVI (Redig, 1997:179).
Ada hal yang sangat
menarik dan monumental, di samping berupa
candi-candi tebing, di Gunung Kawi, Gianyar, adalah peninggalan berupa
sebuah arca Durgamahisasuramardhinni yang
diduga arca perwujudan Gunapriyadharmapatni
terdapat di pura Bukit Dharma di Banjar Kutri, Desa Buruan, Kabupaten
Gianyar. Berdasarkan arca perwujudan tersebut, maka pada saat itu dapat diduga
upacara dan perayaan Durgapuja yang
disebut juga Sraddha Vijaya Dasamì yang dikaitkan dengan pesermian arca ini
telah dilaksanakan di Bali. Durgapuja
atau Sraddha Vijaya Dasamì merupakan
pemujaan kepada dewi Durga dengan ciri khas persembahan darah dan daging babi,
yang kemudian di Bali dikenal dengan upacara dan hari raya Galungan yang
dilaksanakan selama sepuluh hari. Saat itu pemujaan ditujukan kepada para
leluhur dan juga dewi Durga di Pura Dalëm dan pura-pura lainnya di Bali.
5. Perkembangan Agama Hindu
Dewasa Ini
Perkembangan
agama dewasa ini dimulai setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan tanggal 17
Agustus 1945. Semangat kemerdekaan mendorong generasi muda Hindu di Bali untuk
memperjuangkan agama yang
dianutnya untuk diakui
sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Semangat kemerdekaan juga
mendorong adanya reformasi dalam Agama Hindu, di antaranya pada tanggal 12 Juli
1951 Dewan Pewakilan Rakyat Daerah Bali memutuskan dua buah keputusan penting
berkaitan dengan pelaksanaan Agama Hindu, yakni Keputusan Nomor 10 Tentang
penghapusan adat yang berkaitan dengan seseorang yang melahirkan anak kembar
buncing (kembar laki-laki dan perempuan), dan Nomor 11 Tentang penghapusan
perkawinan Asupundung dan Anglangkahi Karanghulu, yakni perkawinan
antara laki-laki dari Sudrawangsa
dengan istri dari Brahmanawangsa dan
antara laki-laki dari Sudrawangsa
dengan istri dari Ksatriyawangsa.
Keputusan DPRD Bali ini mencabut Paswara tahun 1910 yang diubah dengan beslit Rsiden
Bali dan Lombok tertanggal 11 April 1927 No.352 Jl.C.2 tentang Asupundung dan Anglangkahi Karanghulu. Keputusan DPRD Bali tahun 1951 baru
mendapat pengukuhan kembali dari Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui
Bhisama Sabha Pandita Nomor 3 Tahun 2002 tanggal 20 Oktober 2002 Tentang
Pengamalan Catur Warna sesuai dengan kitab suci Veda dan susastra Hindu.
Seperti dimaklumi Parisada Hindu
Dharma Indonesia adalah majelis tertinggi umat Hindu di Indonesia yang pada
mulanya bernama Parisada Dharma Hindu Bali, lahir di Fakultas Sastra
Universitas Udayana pada tanggal 23 Februari 1959 dalam sebuah rapat yang
bernama Pesamuhan Agung Hindu Bali. Pada tanggal 3 Oktober 1959 berlangsung
Pesamuhan Agung yang pertama bertempat di SMP Dwijendra, Denpasar yang berhasil
menetapkan sebuah buku pelajaran Agama Hindu untuk sekolah dasar, yakni diberi
nama Dharma Prawerti Sastra, yang
berisi pengertian tentang dharma,
vidhitattva, atmatattva, saýsara, karmaphala dan moksa dan sebagainya (Putra,1987:88).
Pada tanggal 7 sampai 10 Oktober
1964 diadakan Mahasabha I Parisada
Hindu Bali yang menetapkan anggaran dasar. Di samping itu, mengingat umat Hindu
tidak hanya di Bali dan dari suku Bali, maka dengan tidak mengubah makna dan
tujuannya Parisada Dharma Hindu Bali ditingkatkan dan diluaskan menjadi
Parisada Hindu Dharma. Mahasabha II
dilaksanakan pada tanggal 2 sampai 5 Desember 1968 di Denpasar yang dihari oleh
31 lembaga parisada daerah dari Bima di ujung timur dan Lampung di ujung barat,
termasuk suku Tolai Tolotang di Sulawesi Selatan, sedangkan suku Marapu, Sumba
tidak dapat hadir karena kebetulan
bersamaan dengan berlangsungnya upacara agama di daerahnya. Pada saat Mahasabha II ini dicetuskan perubahan nama
(dikembangkan) menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Perubahan nama majelis
ini membawa dampak positif bagi perkembangan kehidupan Agama Hindu di
Indonesia.
Sampai kini Parisada Hindu Dharma
Indonesia telah menyelenggarakan Mahasabha
(musyawarah nasional) sebanyak delapan
kali. Mahasabha yang terakhir
adalah Mahasabha VIII yang
berlangsung pada tanggal 20 sampai 24 September 2001 dengan masa kepengurusan
periode 2001-2006. Mahasabha ini
menetapkan tiga organ Pengurus Parisada Pusat yang terdiri atas: (1) sabha pandita sebanyak tiga puluh tiga orang dengan dipimpin oleh dharma adhyaksa dan seorang wakil dharma adhyaksa. (2) sabha walaka berjumlah 55 orang dipimpin
seorang ketua dan wakil ketua dan seorang sekretaris, dan (3) Pengurus Harian
yang teridiri dari seorang ketua umum, enam orang ketua, enam sekretaris,
seorang bendahara umum dan duqa orang bendahara (Dana, 2005:18-24). Banyak
putusan yang memberikan arahan dan pembinaan telah berhasil ditetapkan oleh
Parisada Hindu Dharma Indonesi, di samping juga
bagi pembinaan kehidupan berAgama
Hindu di Bali.
Dengan berdirinya Parisada Hindu
Dharma Indonesia baik tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan maupun kota di
seluruh Indonesia, kehidupan Agama Hindu benar-benar mendapat pembinaan lebih
mantap. Demikian pula di Provinsi Bali, baik pemerintah provinsi, kabupaten
maupun kota menaruh perhatian yang besar terhadap pembinaan kehidupan beragama
ini.
Kehidupan
beragama di samping mendapat pembinaan secara khusus melalui Parisada Hindu
Dharma Indonesia Provinsi Bali, Kabupaten dan Kota seperti disebutkan di
atas. Begitu pula berdirinya Majelis
Utama Desa Pakraman, di tingkat provinsi dan
Majelis Madya Desa Pakraman di tingkat kabupaten dan kota, sesuai
Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Bali (Perda) No.3 Tahun 2001 Tentang Desa
Pakraman yang menyebutkan, Desa Pakraman
adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali, yang mempunyai satu
kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat Hindu secara turun
temurun dalam ikatan kahyangan tiga,
atau kahyangan desa, (Parimartha,
2003:136) menunjukkan bahwa desa pakraman
adalah desa sebagai wahana aktivitas umat Hindu di daerah ini.
.
1. Sivasiddhanta di India
Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya
di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di
Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman
Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari
Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu
atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang
berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa
Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa?
karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para
pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas. Diibaratkan
seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya,
maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang
diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode
pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar
si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan.
Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun
dipelajari yang pokok-pokok/intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah
(sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Di India wahyu Hyang Widhi diterima
oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa
dalam bentuk Catur Weda.
a.
Sumber Ajarannya
Ada beberapa sumber
ajaran Saiva Sidhanta di India yakni Veda, Saiva Agamas, serta sumber tertulis
lainnya yang digunakan (Subagiasta, 2002:43). Selain itu ada juga naskah
tradisional yang dinamai Meykanda Sastra sebagai filsafat kebenaran antara
lain: (1) Siva-Jnana-Bodha, (2) Siva-Jnana-Sidhiyar, (3) Irupavirupatha, (4)
Tiruvuntiyar, (5) Tirukhalirruppadiar, (6) Unmaivilakka, (7) Sivaprakasa, (8)
Tiruarudpayan, (9) Vinavenba, (10) Porripakrodai, (11) Kadikkawi, (12)
Nencuvidututu, (13) Unmainerivilakka, (14) Sankalpanirakarana (Subagiasta,
2002:44). Jadi selain sumber tersebut bahwa ada juga sumber yang penting
lainnya berupa agamas, puranas, itihasa, upanisad, yoga, dan sebagainya.
Saiva Sidhanta adalah filsafat dari Saivaismei
bagian selatan, yang bersumber tidak dari penyusun tunggal, yang merupakan
jalan tengah antara adwaita-nya Sankara dan Wasista-advaita-nya Ramanuja. Kepustakaanya
terutama terdiri dari: (1) 28 buah tentang Saiwita Agama, (2) kumpulan dari
pujian-pujian Saiwita yang dikenal sebagai Tirumrai, (3) kumpulan tentang
kehidupan orang-orang suci Saiwita yang dikenal sebagai Periyapuranam, (4)
Siwajnanabodham-nya Meykandar, (5) Siwajnanasiddhiyar-nya Arulnandi, dan (6)
karya-karya dari Umapati. Karya Tirumular yaitu Tirumantiram merupakan dasar
dari struktur filsafat Saiva Siddhanta (Sivananda, 2003:261). Demikian beberapa
sumber penting dalam Saiva Siddhanta.
b.
Ajarannya
Ajaran pokok dari filsafat Saiva Siddhanta
adalah bahwa Siwa merupakan realitas tertinggi dan jiwa atau roh pribadi adalah
dari intisari yang sama dengan Siwa, tetapi tidak identik. Pati (Tuhan), Pasu
(roh) dan Pasa (pengikat) dan 36 tattwa atau prinsip yang menyusun alam
semesta, kesemuanya nyata. System filsafat Saiva
Siddhanta merupakan intisari saringan dari Vedanta (Sivananda, 2003:261).
Siwa merupakan cirri
realitas tertinggi, merupakan kesadaran tak terbatas, yang abadi, tanpa
perubahan, tanpa wujud, merdeka, ada dimana-mana, maha kuasa, maha tahu, esa
tiada duanya, tanpa awal, tanpa penyebab, tanpa noda, ada dengan sendirinya,
selalu bebas, selalu murni, dan sempurna. Ia tidak dibatasi oleh waktu yang
merupakan kebahagiaan dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dari cacat, maha
pelaku, dan maha mengetahui (ibid,262). Lima kegiatan Tuhan (Panca Krtya)
adalah: srsti (penciptaan), sthiti (pemeliharaan), samhara
(penghancuran), tirobhawa (menutupi), dan anugraha (karunia), yang
secara terpisah dianggap sebagai kegiatan dari Brahma, Wisnu, Rudra, Maheswara,
dan Sadasiwa (ibid, 262). Dewa Siwa meresapi alam dan ciptaan ini melalui
saktinya. Juga Dewa Siwa berkarya melaui saktinya. Dewa Siwa memiliki kekuatan
(sakti). Dewa Siwa merupakan hakikat kesadaran. Siwa adalah kesadaran murni
sedang materi (sarana) kesadaran tidak murni. Sedangkan sakti adalah mata
rantai perantara di antara keduanya.
c.
Tempat Pemujaannya
Tempat pemujaan bagi umat Hindu di India
termasuk bagi pengikut Saiva Siddhanta dinamai Mandir. Dalam istilah lainnya
juga dinamai Dewalaya. Sebagai sentra pemujaan Siwa di India kalau di daerah
Uttar Pradesh ada di daerah Benares atau juga dinamai kota Kasi. Umat pada umumnya menyebutnya
dengan nama kota
Siva. Oleh karena di sana
para umat Hindu untuk memuja Bhatara Siwa. Nama Mandirnya adalah Viavanath
Mandir. Ada juga sebuah tempat suci yang sangat
megah untuk pemujaan Dewa Siwa yakni Golden
Temple yang terletak di tengah-tengah kota Benares di tempat
sungai Gangga.
d.
Penerapan Saiva Siddhanta di India
Mengenai penerapan Saiva Siddhanta di India
dapat dilihat dalam praktek nyata dalam kehidupan beragama Hindu di India
secara sosiologis nampak dengan jelas. Kemudian secara religiusnya terlihat
dalam praktek pemujaan (upasana atau puja). Yang paling rutin diterapkan adalah
di suatu mandir, baik ditingkat perseorangan maupun dalam kondisi komunal. Ada dua cara dalam
penerapannya yang dilakukan adalah dengan cara sarana, sadhana, material,
upakara, banten/bali, atau simbol-simbol tertentu yang dinamai pratika atau
saguna upasana. Sedangkan cara penerapan yang lainnya adalah dengan ahamgraha
upasana atau nirguna upasana. Cara ini dilakukan dengan cara meditasi pada
patung, arca, pratima, gambar/citra, dewa-dewi, aksara atau hal yang dapat
meningkatkan kualitas meditasi menuju spiritual yang paramaartha serta
parasiwa. Cara pratika upasana atau saguna upasana adalah bentuk meditasi yang
real atau sakala, sedangkan ahamgraha upasana atau nirguna upasana adalah
bentuk abstrak meditasi.
Bilamana dibandingkan dengan penerapan yang di Indonesia atau di Bali
bahwa penerapan Saiva Siddhanta melaui ritual yang paling banyak dengan konsep
panca maha yajna. Juga atas asas dan konsepsi catur marga. Penerapan di India
pun juga ada kemiripan, karena juga diterapkan panca yajna yakni dewa yajna,
manusa yajna, bhuta yajna, resi yajna dan pitra yajna. Kelihatannya dalam
penerapan di India
kesederhanaan dalam berupacara terutama dalam praktek upakara atau sesajen. Di
India juga digunakan banten yang dinamai Bali namun masih tergolong lebih sederhana,
tetapi bukan berarti lebih irit, tentu itu tidak bisa disamakan. Bisa saja
menjadi lebih tidak irit mengingat biaya yang lainnya sangat membengkat,
terutama dalam sangu pada para tamu (atithi uja) serta yang lainnya. Sehingga
jika ditanya para bhakta disana juga menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Hal
ini tergantung kepada pemujanya atau bahktanya. Tidak lantas langsung
dibandingkan bahwa yang ini irit dan yang ini boros, yang ini benar dan yang
ini salah. Hal demikian tidak bisa dirasiokan secara kasat mata. Karena
kehidupan beragama Hindu sesungguhnya dasarnya adalah ketulusan hati. Umat
Hindu tidak perlu bertindak gegabah dengan memvonis langsung bahwa beragama
Hindu sulit, beragama Hindu boros, beragama susah dan lain-lainnya. Hal yang demikian jangan sampai terjadi dalam penerapan agama Hindu. Bila
di India Nampak irit dan gampang, itu berarti yang kita miliki di Bali harus
direformasi, tentu tidak. Ingatlah bahwa beragama Hindu memiliki drsta dan
sadacara.
Dalam penerapan agama Hindu
di India ada yang dinamai sepuluh samskara meliputi: garbhadana samskara
(mensucikan kegiatan penciptaan), pumsavana samskara (upacara mantra-mantra
kandungan berumur bulan ketiga bagi anak), Simantonnayana samskara (pengucapan
mantra weda pada saat kandungan berumur tujuh bulan), Jatakarma samskara
(upacara segera kelahiran anak), Namakarana samskara (upacara pemberian nama
anak), Annaprasana samskara (pemberian makanan pertama kali saat berumur enam
bulan), Cudakarana samskara (upacara pencukuran rambut pertama kali bagi anak),
Upanayana samskara (upacara mendekatkan anak untuk belajar pada gurunya),
Samavartana samskara (upacara mengakhiri masa belajar agama atau weda) dan
Vivaha samskara (upacara perkawinan atau masa berumah tangga). Ada dikenal
dengan homa untuk dewa yajna, tarpana atau sradha untuk pitra yajna, belajar
weda atau brama untuk resi yajna, bali untuk bhuta yajna, dan penghormatan atau
keramahtamahan untuk manusya yajna. Demikian penerapan ajaran Saiva Siddhanta
di India yang sudah tentu ada kemiripan penerapan yang berlangsung di Bali,
mengingat konsep yang utama juga sama yakni mengenai hakikat ketuhanan yang esa
yaitu Dewa Siwa realitas tertinggi.
e.
Pengikutnya
Bila diperhatikan tentang pengikut dari Saiva
Siddhanta bahwa pada umumnya adalah para bhakta Siva. Terutama umat Hindu pada
umumnya yang tersebar diberbagai pelosok wilayah di Negara bagian India, mulai
dari daerah utara sampai ke daerah selatan. Daerah utara kebanyakan ada di
Uttar Pradesh, Uttaranchal, Jammu Kashmir, Bengala, Bihar, Madhya Pradesh.
Sedangkan di daerah selatan adalah sekitar Karnataka, Andra Pradesh, Tamil
Nadu, dan sebagainya. Demikian juga sekte-sekte Saiva lainnya seperti: Akas
Mukhi, Gudara, Jangama, Karalingi, Nakhi, Rukhara, Sukhara, Urdhabahu, Ukkara
yang kesemuanya ini adalah sekte-sekte Saiva (Sivananda, 2003:150). Pengikut
lainnya adalah para Brahmana dari Tamil Nadu dengan gelar Aiyer dan mereka
disebut Smarta (ibid, 149). Cirri umumnya yang Nampak adalah mereka semua
menggunakan tiga garis mendatar dari Bhasma dan Wibhuti (abu suci) pada dahinya
dan kesemuanya memuja Dewa Siwa. Masih di daerah Tamil Nadu bahwa sebutan
pengikut Saiva Siddhanta ada dinamai Gurukkal. Tetapi pengikut Waisnawa dinamai
Pattar. Pada daerah lainnya seperti di Malabar bahwa pengikut Saiva Siddhanta
dinamai Nambudiri, Muse dan Embantiri; sedangkan di daerah Bengala dinamai:
Cakrawarti, Cunder, Roy, Ganguli, Coudhury, Biswa, Bagci, Majumdar, dan
Bhattacarji (ibid, 149). Kalau di daerah Karnataka bahwa para Brahmana pengikut
Saiva Suddhanta dinamai Smarta, Hawiga, Kota,
Siwali, Tantri, Kardil, dan Padya (ibid, 149). Selanjutnya di daerah Telugu
Smarta adalah Murkinadu, Welandu, Karanakammalu, Puduru, Drawidi, Telahanyam,
Konasimadrawidi, dan Anuwela Niyogi (ibid, 150). Untuk di daerah Mysore dan Karnataka
(Lingayat) mereka dinamai Wirasaiva, mereka mengenakan sebuah Linga Siwa yang
diletakkan dalam sebuah kotak perak kecil pada lehernya (ibid, 150).
Ada juga dinamai pengikut
dalam sebutan dasanama sannyasin, tetapi mereka tidak semua pemuja dan pengikut
Siwa. Ada sebagian yang memuja Visnu atau dari paksa Vaisnawa. Sisanya lagi
dari para bhakta yang ada di India. Khusus para Bhakta Hindu sebagai pemuja
Siwa, diantaranya ada yang dinamai Saraswati, Puri, Bharati, Tirtha, Asrama,
Wana, Aranya, Giri, Parwata dan Sagara. Semua para sannyasin sebagai pengikut
Siwa tersebut merupakan para pemuja Siwa dari berbagai daerah di India,
seperti: di Dwaraka, Josi, Puri, dan beberapa daerah lainnya di India. Tidak
saja mereka sebagai pemuja Siwa, tetapi juga mereka sebagai pemuja Visnu.
Kemudian para snnyasin Tamil mereka yang termasuk pada Kowilur Mutt dan
Dharmapuram Adhinam yang semuanya mereka itu sebagai pemuja dan pengikut Saiva.
Satu yang unik nampak pada saat perayaan Kembha Mela, Adha Kumbha Mela, dan
Maha Kumbha Mela bahwa para pengikut Saiva Nampak memiliki kekhasan sekali,
yakni mereka melumuri badannya dengan abu suci dan janggut mereka disimpul
mati, sannyasin demikian dinamai Naga oleh karena kondisi realnya mereka dalam
keadaan telanjang, tanpa busana sediktpun, namun mereka memiliki ketulusan
hati, kesucian pikiran, perilaku yang mulia sebagai penyembah dan pemuja Siwa
yang sejati. Satu lagi pemuja atau pengikut Saiva Siddhanta ada dinamai
Gorakhnath Panthi yang berada di Gorakphur di wilayah Uttar Pradesh. Pengikut
dari Gorakhnath biasanya disebut Kanphata, karena mereka melubangi telinganya
dan mereka memakai anting-anting ada saat inisiasi mereka. Mereka memuja Dewa
Siwa (ibid, 156). Jadi yang dinamai dasanama sannyasi itu adalah para bhakta atau
umat Hindu India yang memiliki kepercayaan yang sangat kuat baik terhadap Dewa
Siwa, sebagian lagi kepada Dewa Visnu, pemuja Rama, pemujaAnoman, serta pemuja
lainnya sesuai ista dewata dalam agama Hindu.
f.
Hari Sucinya
Seperti halnya di Indonesia dan juga di Bali bahwa
perayaan suci agama Hindu Nampak ada persamaan dan sedikit perbedaan. Ada yang
sama dalam sebutan perayaan sucinya seperti: Perayaan Siwaratri, perayaan
Saraswati, Purnima atau Purnama, Amavasya atau Tilem, dan juga menyucikan
sekali bagi perayaan umat Hindu setiap hari selasa, yang oleh umat Hindu
dinamai Mangala Wara merupakan hari suci untuk pengendalian diri, menasehati
diri, menggembleng diri, serta koreksi diri. Cara yang lazim dilakukan pada
saat perayaan suci adalah dengan melakukan upawasa selama sehari penuh bahkan
lebih dari sehari Bhakta ya ng telah mampu melaksanakannya setiap perayaan suci
diikuti dengan upawasa tersebut. Bahkan bagi yang telah mantap juga diikuti
dengan brata (pantangan), yoga (gerakan sikap badan yang tenang dan damai untuk
menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa (Bhatara Siwa), dan juga
dengan cara semedi (melakukan meditasi). Sedangkan bagi bhakta yang mampu
memusatkan pikiran dengan hening dan suci juga diikuti dengan japa yakni
mengucapkan mantram suci berkali-kali seperti “Om Namah Siwaya” demikian
seterusnya diulang dan diulang lagi dalam hati tanpa ada yang terdengar suara
atau ucapan dari para bhakta.
Satu hal lagi yang menarik bahwa para bhakta Saiva
Siddhanta di India tidak saja memilih setiap hari suci untuk melakukan pemujaan
kepada Dewa Siwa, tetapi bersifat rutin dan kontinyu. Kapanpun dan dimanapun
bila ada ditemui dan ada dijumpai sebuah mandir (sebuah tempat suci untuk
memuja Siwa) maka seketika itu pula dilakukan pemujaan dan penghormatan kepada
Bhatara Siwa. Caranya sesungguhnya tidak berat dan tidak juga gampang yang
utama tetap landasannya adalah kesucian dan ketulusan hati. Bentuk atau sikap
pemujaan kepada Bhatara Siwa adalah dengan cara mencakupkan kedua telapak
tangan ditaruh di hulu hati dan ada diatas ubun-ubun juga ada dengan cara
sungkem yakni dengan mencium pelataran mandir dan sebelumnya dilakukan
pembunyian genta yang ada di mandir yang telah disiapkan sedemikian rupa. Maka
bagi bhakta yang datang ke mandir diawali dengan membunyikan genta setidaknya
satu kali atau tiga kali sesuai tradisi yang berlaku di mandir tersebut.
Bilamana pada saat siwaratri atau mahasiwaratri
yang dipuja adalah Dewa Siwa. Pada saat itu para bhakta melakukan pemujaan kehadapan Dewa Siwa. Kalau di
India perayan Siwaratri dilakukan sekitar bulan kapitu atau dinamai Sasi Magha
sekitar bulan januari dan februari pada setiap tahunnya. Saat itulah umat Hindu
datang berduyun-duyun ke tempat-tempat suci, seperti mandir, ada yang
kecampuhan yakni tempat suci berupa pertemuan sungai, seperti ada yang disangam
ada di wilayah kota suci Hindu bernama Prayaga. Disanalah umat Hindu atau
pengikut Saiva Sidanta melakukan penyucian diri (kalau di Bali malukat,
mesiram, melasti, jika disana dinamai snan dalam bahasa Hindhi, dan sananam
dalam bahasa Sansekerta). Tempat suci sangan tersebut merupakan pertemuan dari
tiga sungai suci Hindu yang bernama sungai Ganga, Yamuna, dan sungai Saraswati,
jadi ketiga sungai suci itu dinamai Triveni atau Trinadhi.
Hari suci yang lainnya lagi adalah pemujaan
kehadapan sakti Siwa yang dinamai Durga Puja yakni hari suci unutk memuja Dewi
Durga sebagai ibu suci dan ibu niskala yang memberikan kekuatan lahir bhatin
terhadap umat Hindu. Dalam tradisi India ada yang disebut nawaratripuja yaitu
pemujaan selama Sembilan hari Sembilan malam terhadap Dewa Siwa dan Dewi Durga.
Praktek pemujaannya adalah dengan vreta atau brata, yang dalam bahasa Hindinya
dinamai ‘bret’ artinya tidak makan dalam kurun waktu yang diingin oleh para
bhakta. Sembilan hari pemujaan dewi atau ibu dikenal sebagai nawaratripuja,
merupakan sifat dari upacara wijaya utsawa kemenangan ‘sembilan hari’
dipersembahkan kepada ibu, karena keberhasilannya berjuang dengan para raksasa
dipimpin oleh sumbha dan nisumbha (Siwananda, 2003:108-109). Jadi pemujaan Siva
dan pemujaan Durgha saat nawa ratri puja tersebut merupakan proses bagi umat
Hindu atau para bhakta untuk memperpendek proses evolusi dari asas kejiwaan
menuju asas kesiwaan dan hal itu sebagai awal untuk penghancuran mala/pataka/dosa
(kekotoran, kekeliruan, dan kesalahan).
g.
Orang Sucinya
Orang suci umat Hindu yang
ada di India ada yang dinamai Pandit. Kata pandit (bahasa
Hindi ) sedangkan dalam bahasa Sansekerta disebut Pandita. Kalau di Indonesia
disebut “Pendeta” yakni orang suci yang memimpin suatu upacara keagamaan Hindu.
Tidak saja itu juga diagama non Hindu juga menamai pendeta. Selain itu ada juga
yang dinamai para sadhu. Dalam kenyataan masyarakat Hindu di Bharatiya bahwa
peran orang suci adalah sangat menentukan oleh kalangan Brahmin, maka peran
para orang suci sangat menentukan. Orang suci kalau di Bharatiya sangat
dihormati dan disucikan oleh umat Hindu. Terutama oleh pengikut Saiva Siddhanta
bahwa para pemuja Siva dan para bhakti Siva begitu berbhakti kepada orang suci
Sapta Rsi. Ketujuh rsi penerima wahyu yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa,
Atri, Bharadwaja, Wasistha, dan Maharsi Kanwa. Di samping tujuh maharsi diatas
pula dua puluh Sembilan maha resi penerima wahyu dan mereka itu dikenal dengan
sebutan “nawawimsati krtyasca veda vyastha Maharsibbih” yaitu maha resi
Swayambhu, Daksa, Usana, Wrhaspati, Aditya, Mrtyu, Indra, Wasista, Saraswata,
Tridathu, Tridrta, Sandhyaya, Akasa, Dharma, Triyaguna, Dhananjaya, Krtyaya,
Ranajaya, Bharadwaja, Gotama, Uttama, Parasara dan Maha resi Vyasa. Menurut
tradisi Hindu, maharesi terbesar dan sangat banyak jasanya dalam menghimpun dan
mengkodifikasikan Weda adalah maharesi Vyasa (tim penyusun, 1987:7). Selain itu
juga ada dinamai maharesi penyusun Catur Samhita yakni maharesi Paila (Pulaha)
sebagai penyusun Reg Weda Samhita, maharesi Waisampayana sebagai penyusun Yajur
Weda Samhita, maharesi Jamini sebagai penyusun Sama Weda Samhita, dan Maharesi
Sumantu sebagai penyusun Atharwa Weda Samhita. Itulah para orang suci Hindu yang
juga sebagai orang suci bagi bhakta Siwa.
2. Sivasiddhanta di Indonesia
Ada tujuh maha rsi yaitu; Grtsamada, Wiswamitra,
Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista dan Kanwa. Para Rsi inilah yang menerima
wahyu Weda di India. Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut
bagian-bagian Weda tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran
yang diterima dari guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekte-sekte
yang jumlahnya ratusan. Sekte Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya,
kemudian disebarkan ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang
sekte ini yang berasal dari pesraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan
berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja dan Trinawindu.
Trinawindu di Bali disebut dengan Bhatara Guru, tapi ini hanya sebuah gelar Rsi
Agastya di Bali
Ajaran Siwa
Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekte Siwa yang lain.
Sidhanta yang artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidhanta artinya kesimpulan dari
Siwaisme. Kenapa di buat kesimpulan ajaran Siwa? Karena Maha Rsi Agastya merasa
sangat sulit untuk menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang
ajaran Siwa yang mencakup bidang Sangat luas sekali. Karena itu bagi penganut
Siwa, kitab suci Weda pun hanya pokok-pokok atau inti-intinya saja yang
dipelajari, dan kitab suci Weda pun dinamai Weda sirah oleh penganut Siwaisme.
Weda sirah, atau sirah artinya kepala atau pokok-pokok jadi hanya inti-inti
dari Weda saja yang dipelajari, karena kitab suci Weda sangatlah luas. Jadi
pengetahuan tentang Weda hanya inti-intinya saja yang dipelajari umat Hindu
dunia, karena seperti cerita di atas Maha Rsi Agastya sangatlah sulit untuk
memberikan pengetahuan Weda itu karena mencakup bidang yang sangat luas sekali.
Salah satu murid Maha Rsi Agastya adalah Maha Rsi Markandeya yang membawa
ajaran Weda/Siwa di Indonesia.
Di Indonesia Mazab Sivasiddhanta
datang pada abad ke-4 M di Kutai dibawa oleh Rsi Agastya dari benares India.
Terdapat 7 yupa dengan hurup sansekerta. Jawabarat tahun 400-500 M terdapat
kerajaan Tarumanegara rajanya Purnawarman, terdapat 7 prasasti disebut koebon
kopi). Jawa tengah terdapat kerajaan Kaliangga tahun 618-906 M rajaya ratu Sima
terdapat prasasti bahasa sansekerta bergambar tri Sula. Kerajaan Sriwijaya pada
abad -7 mulai adanya perkembangan Buddha mahayana. Kerajaan Mataram rajanya Sanjaya tahu 654 mendirikan Lingga
disebut prasasti cangkal. (Subagiasta, 2006:10).
Setelah itu banyak bermunculan
cadi budhha seperti candi kalasan, borobudur. Kerajaan Kanjuruan rajanya
Dewasima tahun 760 mendirikan tempat pemujaan Siwa Mahaguru. Kerajaan
Medang rajanya Sendok tahun 929-947 yang
memuliakan dewa Siwa da memuja tri murti. Kerajaan kediri tahun 1042-1222
rajanya Kameswara. Kerajaan Singhasari tahun 1222-1292 rajanya Ken Arok dan
yang terakhhir rajanya Wisnuwardhana mendirikan banyak candi. Kerajaan
majapahit 1293-1528 rajanya Kertarajasa Jayawardhana terakhir rajanya
Wikramawardhana masa jayana Sivasiddhanta. Kerajaan pajajaran rajanya
Jayabhupati beraliran Waisnawa yang terakhir rajanya Parabu Ratu Dewata.
(Subagiasta, 2006:13).
Bukti yang membuktikan bahwa
kerajaan Kutai penganut siva adalah dalam hal kehidupan budayanya yang dimana
yupa merupakan salah satu hal budaya masyarakat kutai. Yupa merupakan
sebuah tugu batu untuk mengikat kurban yang dipersembahkan kepada para dewa.
Namun, sebebarnya tugu batu itu merupakan warisan nenek moyang bangsa indonesia
dari zaman megalitikum, yaitu kebudayaan menhir. Salah satu yupa menyebutkan
suatu tempat suci dengan kata Vaprakecvara. Seorang ahli bernama Ny. Sulaiman mengatakan bahwa kata “Vaprakecvara” itu
dihubungkan dengan dewa siwa. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa
masayarakat kutai memeluk agama siwa. Hal ini didukung oleh beberapa faktor
berikut: (1) Besarnya pengaruh kerajaan Pallawa yang beragama siwa menyebabkan
agama siwa terkenal dikutai, dan (2) Pentingnya peranan para brahmana Di Kutai
menunjukkan besarnya pengaruh Brahmana dalam Agama Siwa terutama mengenai
upacara korban.
Kerajaan
Mataram Kuno terletak di Jawa Tengah bagian selatan, daerah intinya disebut
Bhumi Mataram dengan ibu kota Medang Kamulan. Sumber Sejarah:
1)
Prasasti Canggal (732 M). Prasasti ini dibuat pada
masa pemerintahan raja Sanjaya yang berbungan dengan pendirian lingga yang
merupakan lambang dari Dewa Siwa. Sehingga agama yang dianutnya adalah agama
Hindu.
2)
Prasasti Kalasan (778 M). Prasasti ini menyebutkan
tentang seorang raja dari Dinasti Syailendra yang berhasil menunujuk Rakai
Panangkaran untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Taradan sebuah
bihara untuk para pendeta.Rakai Panangkaran akhirnya menghadiahkan Desa Kalasan
kepada Sanggha Buddha.
3)
Prasati Kelurak (782 M). Prasasti ini menyebutkan
pembuatan arca Mansjuri yang merupakan perwujudan Sang Buddha,Wisnu,dan Sanggha
yang dapat disamakan dengan Brahma,Wisnu,Siwa. Prasasti ini juga menyebut nama
raja yang memerintah saat itu yang bernama raja Indra.
4)
Prasasti Sri Kahulunan.
5)
Prasasti Ratu Boko (856 M). Prasasti ini menyebutkan
kekalahan raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya
Pramodhawardani dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya.
6)
Prasasti Nalanda (860 M). Prasasti ini menyebutkan
tentang asal usul raja Balaputra Dewa.
7)
Prasasti Mantyasih/Balitung (907 M). Menerangkan
keberadaan kekuasaan Dinasti Syailendra.
Disamping prasasti, Mataram kuno banyak meninggalkan bangunan-bangunan
candi baik yang bercorak Hindu (dari Dinasti Sanjaya) maupun yang bercorak
Budha (dinasti Syailendra).Pemerintahan Matara Dinasti Sanjaya. Dinasti Sanjaya
berkuasa sekitar abad ke-7 dari prasasti Canggal disebutkan adanya pendirian
Lingga yang merupakan lambang Dewa Syiwa, selain itu menyebutkan wilayah
kekuasaan Sanjaya yaitu Medang ri poh pitu.
3. Sivasiddhanta di Bali
Salah satu murid Maha Rsi Agastya adalah Maha Rsi
Markandeya yang membawa ajaran Weda/Siwa di Indonesia. Pada saat ke Indonesia
Maha Rsi Markandeya mendapatkan pencerahan di gunung Di Hyang (sekarang disebut
dengan gunung Dieng) di gunung Dieng Beliau Rsi Markandeya mendapatkan pawisik
agar membuat pelinggih di Tohlangkir (sekarang disebut Besakih) dan harus
ditanami panca datu yang terdiri dari unsur emas, perak, tembaga, besi dan
permata mirah delima.
Setelah itu
Maha Rsi Markandeya menetap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar). Dari
pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir (Besakih)
beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual:
Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali dan ketika itu agama ini
dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau dinamakan Bali. Jadi yang
bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini
dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa
menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan bebali atau
banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur bahasa dari
mantram-mantram Weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme dari
mantram-mantram yang ada dalam Weda. Setelah itu Maha Rsi Markandeya menetap di Taro (Tegal Lalang, Gianyar).
Dari pencerahan-pencerahan yang di dapat di gunung Dieng dan di Tohlangkir
(Besakih) beliau memantapkan ajaran Siwa kepada para pengikutnya dalam bentuk
ritual: Surya Sewana, Bebali (banten) dan pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali
dan ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal Beliau
dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun
kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan
ajaran Siwa menurut petunjuk-petunjuk maha Rsi Markandeya yang menggunakan
bebali atau banten. Karena sedemikian luasnya isi dari Weda dan terbentur
bahasa dari mantram-mantram Weda maka diciptakanlah banten sebagai simbolisme
dari mantram-mantram yang ada dalam Weda.
a. Sumber-Sumber Ajaran
Walaupun sumber-sumber ajaran Agama Hindu di Bali
berasal dari kitab-kitab berbahasa Sansekerta, namun sumber-sumber tua yang
kita warisi kebanyakan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa sansekerta dan
Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis dalam bahasa Sansekerta umumnya adalah
kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang digunakan adalah bahasa Sansekerta
kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda denga bahasa Sansekerta versi
India. Sedangkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahsa jawa kuno antara lain
Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana, Wrhaspati tatwa dan Sarasamuscaya.
Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana dan Wrhaspati Tattwa adalah
kitab-kitab yang Tattwa yang mengajarkan Siwa Tattwa yang mana juga kitab-kitab
ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan Sarasamuscaya adalah kitab yang
mengajarkan susila, etika dan tingkah laku.
Disamping itu juga terdapat banyak lontar-lontar
indik yang menjadi rujukan pelaksanaan kehidupan umat beragama dan bermasyarakat
di Bali seperti lontar Wariga, lontar tentang pertanian, pertukangan,
organisasi sosial dan yang lainnya. Disamping itu juga terdapat kitab-kitab
Itihasa dan gubahan-gubahan yang berasal dari purana, seperti Parwa (kisah Maha
Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga kekawin-kekawin yang menjadi alat
pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat. Itihasa dan juga
purana juga menjadi sumber dalam kehidupan berkesenian di Bali terutama
kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti wayang, topeng,
calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian tersebut umumnya
mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau kekawin. Tidak
semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk kedalam sumber-sumber
ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di Bali begitu menyatu dengan
Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang Bali, sehingga banyak
warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan turun-temurun dan
menjadi satu keatuan denga Agama Hindu di Bali.
Sebagai sumber ajaran dari pada saiva siddhanta di
bali adalah bersumber pada ajaran weda dan sumber suci dalam naskah
tradisional. Sebagaimana dijelaskan dalam Siwa Sasana ada dikelompokkan
beberapa naskah tradisional di Bali. Kelompok yang dimaksud ada 4, yaitu:
kelompok Weda, Tattwa, Ethika, dan upacara agama. Kelompok Weda, misalnya Weda
Parikrama, Weda Sanggraha, Surya Sevana, dan Siwa Pakarana. Kelompok tattwa
meliputi: Buanakosa, Buana Sang Ksepa, Wrhaspati Tattwa, Siwa Gama, Siwatatwapurana,
Gong Besi, Purwa Bhumi Kamulan, Tantu Pangelaran, Usana Dewa, Gana Patitattwa, Tattwa
Jenana, dan Jenana Siddhanta. Kelompok etika adalah Siwa Sasana, Resi Sasana, Wrti
Sasana, Putra Sasana, dan Slokantara.
Kemudian yang tergolong dalam upacara katagori upacara agama meliputi: (a)
upacara dewa yajna, antara lain: Catur Wedhya, Wrhspatikalpa, Dewatatwa,
Sudarigama, dllnya; (b) upacara pitra yajna, meliputi: Yamatatwa,
Empu Lutuk Aben, Kramaning Atiwatiwa, Indik Maligya, dan Putera Pasaji; (c) upacara
rsi yajna, antara lain: Kramaning Madhiksa, Yajna Samskara,
dllnya; (d) upacara manusa yajna, meliputi: Dharma Kaharipan Eka
Ratama, Janmaprawati, Puja Kalapati, Puja
Kalib dllnya ; (e) upacara bhuta yajna, misalnya: Eka Dasa Rudra,
Pancawalikrama, Indik Caru, Puja Palipali, dsbnya.
b. Pokok-Pokok Ajaran
Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga
kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi
yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang
Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa
Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi
Bhatara-Bhatari.
Sa eko bhagavan sarvah Siwa karana karanam
Aneko viditah sarwah Catur vidhasya karanam Ekatwanekatwa swalaksana bhatara
ekatwa ngaranya Kahidup makalaksana siwatattwa Tunggal tan rwatiga kahidep nira
Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda Aneka ngaranya kahidup
Bhataramakalaksana caturdha. Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma
sunya.
Artinya :
Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia
dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga.
ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada
perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha. Caturdha adalah sifatnya,
sthula, suksma dan sunia.
Sumber-sumber lain yang menyatakan Dia yang Eka dalam Beraneka juga kita
temukan dalam banyak mantra-mantra, diantaranya adalah:
Om namah Sivaya sarvaya
Dewa-devaya vai namah
Rudraya Bhuvanesaya
Siwa rupaya vai namah
Dewa-devaya vai namah
Rudraya Bhuvanesaya
Siwa rupaya vai namah
Artinya :
Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa
Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya
Kepada Rudra raja alam semesta
Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis
Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya
Kepada Rudra raja alam semesta
Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis
Twam Sivas twam Mahadewa
Isvara Paramesvara
Brahma Visnuca Rudrasca
Purusah Prakhrtis tatha
Isvara Paramesvara
Brahma Visnuca Rudrasca
Purusah Prakhrtis tatha
Artinya :
Engkau adalah Siwa Mahadewa
Iswara, Parameswara
Brahma, Wisnu dan Rudra
Dan juga sebagai Purusa dan Prakerti
Tvam kalas tvam yamomrtyur
varunas tvam kverakah
Indrah Suryah Sasangkasca
Graha naksatra tarakah
Engkau adalah Siwa Mahadewa
Iswara, Parameswara
Brahma, Wisnu dan Rudra
Dan juga sebagai Purusa dan Prakerti
Tvam kalas tvam yamomrtyur
varunas tvam kverakah
Indrah Suryah Sasangkasca
Graha naksatra tarakah
Artinya :
Engkau adalah Kala, Yama dan Mrtyu
Engkau adalah Varuna, Kubera
Indra, Surya dan Bulan
Planet, naksatra dan bintang - bintang
Prthivi salilam tvam hi
Tvam Agnir vayur eva ca
Akasam tvam palam sunyam
Sakhalam niskalam tatha
Engkau adalah Varuna, Kubera
Indra, Surya dan Bulan
Planet, naksatra dan bintang - bintang
Prthivi salilam tvam hi
Tvam Agnir vayur eva ca
Akasam tvam palam sunyam
Sakhalam niskalam tatha
Artinya :
Engkau adalah Bumu, Air
dan juga Api
Angkasa dan alam sunia tertinggi
Juga yang berwujud dan tak berwujud
Engkau adalah Bumu, Air
dan juga Api
Angkasa dan alam sunia tertinggi
Juga yang berwujud dan tak berwujud
Dengan contoh-contoh ini menunjukkan bahwa semua
Bhatara-Bhatari itu adalah Bhatara Siwa sendiri. Bhatara-Bhatari itulah yang
dipuja sebagai Ista Dewata. Banyaknya Ista Dewata yang dipuja akan berkaitan
dengan banyaknya Pura dan Pelinggih, Pengastawa, Rerainan dan Banten. Ista
Dewata adalah Bhatara Siwa yang aktif sebagai Sada Siwa, sedangkan Bhatara Siwa
sebagai Parama Siwa bersifat tidak aktif atau sering disebut Sunia.
Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma,
Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep
penciptaan, pemeliharaan dan pemrelina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa
yang sering disebut Sang Hyang Sangkan paraning Numadi, yaitu asal dan
kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini.
Salah satu yang menarik dari keberadaan Bhatara
Siwa, ialah Beliau berada dimana-mana, di seluruh penjuru mata angin dan di
pengider-ider. Di timur Ia adalah Iswara, di tenggara Ia adalah Mahesora, di
selatan Ia adalah Brahma, di barat daya Ia adalah Rudra, di barat Ia adalah
Mahadewa, di barat laut Ia adalah Sangkara, di utara Ia adalah Wisnu, di timur
laut Ia adalah Sambhu dan ditengah Ia adalah Siwa. Sebagai Sang Hyang kala, di
timur Ia adalah kala Petak (putih), di selatan Ia adalah Kala Bang (merah), di
barat ia adalah Kala Gading (Kuning), di utara Ia adalah Kala Ireng (hitam) dan
ditengah Ia adalah kala mancawarna.
Selain ajaran ke-Tuhanan, ajaran Siwa Siddhanta
juga memuat beberapa ajaran diantaranya ajaran tentang Atma yang sesungguhnya
berasal dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada-Nya juga, ajaran Karma Phala
yang berkaitan dengan Punarbawa atau siklus reinkarnasi, ajaran pelepasan yang
berkaitan tentang Yoda dan Samadhi. Terdapat pula ajaran tata susila yang erat
hubungannya dengan ajaran Karma Phala. Tumpuan dari ajaran tata susila itu
adalah Tria Kaya Parisuddha yaitu Kayika Parisuddha (berbuat yang benar),
Wacika Parisuddha (berbicara yang benar) dan Manacika Parisuddha (berfikir yang
benar).
c.
Tempat Pemujaannya
Tempat pemujaan atau
tempat suci umat Hindu Indonesia disebut pura. Sering pula umat Hindu menyebutnya
dengan nama Kahyangan atau Parhyangan Pura berasal dari bahasa Sansekerta (Pur)
artinya benteng, kota, tempat yang dikelilingi oleh tembok. Pura adalah tempat
suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atau para dewa
sebagai manifestasi Tuhan. Dalam hal ini dinamai pula Dewalaya atau Mandiram
(bahasa Sansekerta) dan juga dinamai Mandir. Dalam tulisan ini bahwa tempat
suci dapat digolongkan berdasarkan karakternya yaitu
a)
Pura keluarga
b)
Pura territorial
c)
Pura fungsional
d)
Pura umum.
Palemahan pura
umumnya terdiri dari tiga yaitu jeroan (utama mandala)
melambagkan alam atas (swah loka), jaba tengah
(madhyama mandala) melambangkan alam tengah (bwah loka) dan jaba
sisi kanista mandala) yang melambangkan alam bawah (bhur loka). Adapun
tempat pemujaan bagi umat Hindu, antara lain:pertama,pura keluarga adalah pura
yang khusus bagi umat Hindu yang masih ada ikatan satu keluarga. Pura keluarga
juga dinamai Pura Kawitan, Pamerajan, Dadia, Panti, Ibu, Padarman dan
lain-lainnya. Bertempat di di pura keluarga bahwa umat Hindu memuja Ida Sang
Hyang Widhi Wasa beserta roh suci leluhur atau atma sidha dewata.
Pelinggih utama pada pura keluarga biasanya berupa Gedong, Pelinggih Rong Tiga,
atau ada pula berupa Meru serta Pelinggih Padmasana. Kedua, Pura Teritorial
yang dimaksudkan adalah Pura Kahyangan Desa. Jenis pura ini juga dinamai Tri
Kahyangan atau Kahyangan Tiga. Nama-nama Pura Kahyangan Tiga adalah
a)
Pura Baleagung sebagai tempat memuja Hyang
Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Brahma (Pencipta).
b)
Pura Puseh sebagai tempat memuja Hyang Widhi
dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Wisnu (Pemelihara)
c)
Pura Dalem sebagai tempat memuja Hyang Widhi
dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Siwa (Mengembalikan ke asalnya/praline)
Ketiga, pura
fungsional merupakan tempat suci dalam kaitannya dengan kekaryaan umat Hindu.
Pura ini juga dinamai Pura Swagina. Jenis pura fungsional, seperti pura subak
merupakan tempat suci umat Hindu yang memiliki ikatan kerja dalam pertanian.
Pura subak juga dinamai Pura Bedugul atau Ulun Subak. Kalau kaitannya dengan
ikatan profesi bagi para pedagang di sekitar pasar atau di tempat tertentu
untuk berjualan disebut Pura Melanting. Keempat, pura umum, pura umum adalah
pura yang tergolong kahyangan jagat sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi
Wasa serta segenap manifesti-Nya. Yang tergolong sebagai pura umum adalah Pura
Sad Kahyangan Jagat, Pura Dang Kahyangan Jagat, pura jagatnatha di sekitar
perkotaan maupun pura yang dibangun di wilayah Indonesia yang dapat dijadikan
tempat sembahyang oleh umat Hindu. Kalau di bali bahwa pura kahyangan jagat
diklasifikasikan berdasarkan atas, 1) Konsep rwa bhineda, 2) Berdasarkan konsep
cadu sakti.
d. Hari Sucinya
Hari suci merupakan hari baik bagi umat Hindu
untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Beberapa hari suci Hindu antara lain: Galungan, Kuningan, Sarswati, Pagerwesi,
Nyepi, Siwalatri, Purnama dan Tilem. Pertama, hari raya Galungan yang
pelaksanaannya setiap 6bulan sekali, yaitu pada Budha Keliwon Dungulan. Pada
Hari Raya Galungan Umat Hindu melakukan Persembahyangan kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, terutama dilakukan Di Pura keluarga (Pemerajan, Sanggah Gede,
Dadia, kawitan, Kamulan, Taksu dan Lain-lainnya), Pura kayangan desa, Serta
kayangan jagad lainnya. Perayaan
Galungan juga merupakan hari baik menyatakan rasa terimakasih kehadapan Tuhan.
Saat Hari Raya ini juga dinyatakan sebagai hari kemenangan Kebenaran (Dharma)
atas ketidak benaran (Adarma) Perayaan galungan dimulai pada Hari sabtu
keliwon Wariga samapi dengan rangkaian terakhir pada Budhha Keliwon Pahang.
Adapun rangkaian utama perayaan Galungan adalah Penyekeban/Penyajaan,
pengejukan, penampahan, punck perayaan galungan dan umanis galungan. Kedua,
Hari Raya Kuningan yang di rayakan pada hari Sabtu keliwon Kuningan,10 hari
setelaha perayaan Hari Raya Galungan. Hari Raya Kuningan juga diawali dengan
rangkaian penampaan kuningan, Puncak perayaan Kuningan dan ulihang.
Ketiga Hari raya Saraswati yang dilaksanakan pada
Sabtu umanis Watugunung. Umumnya perayan ini dikenal dengan nama piodalan Sang
Hyang Aji Saraswati atau piodalan Sang hyang pangeweruh makna yang dikandung
dari perayaan Saraswati adalah betapa pentingnya ilmu pengetahuan suci weda dan
sains lainnya untuk kemjuan dan kesejahteraan umat manusia. Puncak perayaan
Saraswati adalah dengan melakukan persembahyangan di Pura untuk memuja Dewi
Saraswati sebagai Dewinya Ilmu pengetahuan, seni dan kebudayaan. Kesimpulannya
bahwa ilmu pengetahuan itu menjadikan manusia itu sebagai manusia yang
sempurna, sehingga dapat bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat. Ilmu
pengetahuan itu penting bagi umat manusia baik jnana dan wijnana. Keempat, hari
raya pagerwesi adalah sebagai hari pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Hyang Paramesti Guru) yang dirayakan setiap Budha Kliwon Sinta. Perayaan hari
ini bermakna untuk permohonan kekuatan hidup baik secara fisik dan nonfisik (wahyu
adhyatmika). Jadi perayaan Pagerwesi bertujuan untuk pemohonan kekuatan
dan kemantapan saraddha dan bhakti umat Hindu.
Kelima, harii raya Nyepi yang pelaksanaana
dirayakan setiap penanggal pian sasih kedasa. Rakaian Upacara hari raya nyepi
diawali dengan pelaksanaan Melasti ke Segara untuk memohon tirta amerta atau
air suci kehidupan serta untuk menghayutkan malapetaka/Dosa, kemudian
dilanjutkan dengan pengerupukan atau mebuu-buu serta pelaksaan upacara tawur
Kesanga disetiap lingkungan Desa terutama bertempat diperempatan jalan (Catus
Pata) yang jatuh pada Tilem sasih Kesangga. Setelah itu sehari kemudian
merupakan puncak hari Raya Nyepi, yang juga dikenal sebagai perayaan tahun baru
saka pada penanggal pisan sasih kedasa. Perayaan Nyepi telah diakui sebagai
hari hari libur Nasional oleh pemreintah berdasarkan kepres 03 tahun
1983,tertanggal 3 Januari 1983. Pada Perayaan Nyepi bahwa umat Hindu melakukan
Catur Brata Penyepian seperti :Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak
bekerja), Amati Lelungaan (tidak bepergian), dan Amati Lelanguan (tidak
menikmati hiburan). Sebagai terakhir dari Hari Raya Nyepi adalah pelaksanaan
Dharma Santhi atau pelaksanaan sima karma dari segenap umat Hindu untuk dapat
saling memanfaatkan dan saling memperat hubungan persahabatan dan kekluargaan
diantara umat agama Hindu dan sesama umat yang lainnya.
Keeenam, Hari Siwalatri yang berarti malam Siwa.
Siwa adalah sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang memiliki
kekuasaan untuk pameralina. Dalam naskah Siwa Tri Kalpa dijelaskan Batara Siwa
melakukan yoga untuk keselamatan Dunia beserta segenap isinya bertepatan dengan
Catur Dasi, Kresnapaksa atau Pangelong ping patbelas sasih
kapitu. Saat itu dipilih oleh Batara Siwa untuk beryoga, karena
merupakan malam yang tergelap dan saat yang terbaik melakukan pemujaan terhadap
Batara Siwa. Saat Siwalatri, maka umat Hindu melakukan Tapa Brata Yoga dan
Semedi. Waktu pelaksanaanya selama 36 jam. Jenis Brata dapat dilakukan brupa
upawasa (tidak makan dan tidak minum), monabrata (tidak berbicara atau
berhening), dan jagra (tidak tidur). Jenis upawasa ini berlaku secara
luwes dan sesuai dengan kemampuan umat Hindu. Pelaksanaan perayann Siwalatri dapat
pila dilakukan dengan rembug sastra atau dengan membaca doa, membaca pustaka
Hindu baik berupa kekawin,sloka maupun satra lainnya. Ketujuh, hari Purnama dan
Tilem, saat purnama dan tilem merupakan hari baik untuk melakukan pemujaan
terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hari Purnama (Purnima) adalah Hari bulan
terang. Hari Tilem (amavasya) merupakan hari bulan mati atau bulan gelap. Pada
hari Purnama merupakan Hari Payogan Sang Hyang Candra, sedangkan pada hari
tilem merupakan Hari Payogan Sang Hyang Surya.
Sedangkan hari suci lainnya ada berupa Buda Kliwon, langgara
kliwon, saniscara kliwon, kajeng kliwon
serta yang lainnya
e.
Orang Sucinya
Walaupun agama hindu yang
berkembang sampai di Bali sangat jauh kebelakang dari segi perjalanan waktu
keberadaan agama hindu di india serta juga paham Saiva Siddhanta berkembang
kebali, maka umat hindu telah hormat dan bakti kehadapan para orang suci Hindu
baik yang diberi India maupun oran suci asli Indonesia. Dalam agama Hindu ada
beberapa orang suci. Orang suci adalah sangat besar jasanya terhadap
perkembangan dan penyebaran agama Hindu kepada umat di dunia ini. Tanpa orang
suci, maka agama hindu sulit untuk berkembang. Justru dengan demikian peranan
orang suci sangat penting untuk pembinaan dan pengembangan agama hindu. Orang
suci umat hindu secara umum disebut dengan nama Rsi. Dalam tulisan ini ada
beberapa orang suci bagi umat Hindu antara lain: Bagawan Brigu, Bagawan
Baradwaja, Rsi Agastya, Bagawan Brihaspati, Mpu Tantular, Mpu Kuturan, Mpu Baradah,
Rsi Markandeya dan Danghyang Niratha/ Danghyang Dwijendra.
Pertama, Bagawan Brigu
merupakan orang suci Hindu yang namanya banyak disebut-sebut dalam kitan Purana.
Beliau sebagai pendiri keluarga/warga bargawa. Kedua, Bhagawan Baratwaja
sebagai umat suci hindu yang ada kaitannya dengan cerita Ramayana yang ditulis
oleh bagawan Walmiki. Bhagawan Baradwaja juga sebagai penerima wahyu suci dari
Tuhan Yang Maha Esa. Beliau sebagai guru suci pada sebuah ashram kenamaan Hindu
di kota prayaga yang kini dinamai kota alahabad. Pada kota prayaga ini adalah
sebagai tempat suci hindu, karena disana terdapat campuhan (sangam) dari
pada sungai gangga dan sungai Yamuna, dan sungai Saraswati (yang saat ini tidak
Nampak). Pada saat bulan Januari/February segenap umat Hindu melakukan
pensucian diri ditempat suci ini oleh karena dilaksanakan upacara kumba mela
setiap tahun, upacara ada Kumba mela setiap 6 tahun dan upacara maha kumba mela
setiap 12 tahun sekali.
Ketiga Rsi Agastya sebagai
orang suci lahir dikota kasi atau benaris india utara. Beliau telah menyebakan agama Hindu di India dan
termasuk sampai di Indonesia dan di Bali. Keempat, Bhagawan Brihaspati adalah
sesorang putra dari Bhagawan Angira yang merupakan orang suci yang terkenal
dari umat hindu. Kelima, Mpu Tatular sebagai punjanga besar agama Hindu. Beliau
telah menulis kekawin Suta Soma. Beliau telah memiliki empat putra yaitu Mpu
Kanawasika, Mpu Asmarananta, Mpu Sidimantra dan Mpu Kepakisan. Keenam mpu
kuturan sebagai orang suci yang berjasa menyebarkan ajaran agama Hindu di
Indonesia dan di bali khususnya.beliau mengajarkan ajaran tri murti dan
mengajarkan konsep tri khayagan disetiap desa adat atau di desa pakraman
di Bali. Ketujuh Mpu Baradah sebagi orang suci hindu merupakan adik dari Mpu
Kutular. Kebearan nama mpu baradah sngat terkenal di Bali dan Mpu Baradah ada
dimuliakan disalah satu kompleks pura Besakih. Kedelapan, isi Markandya adalah
orang suci Hindu pertamakali dating ke Bali untuk menyebarkan agama Hindu,
beliau dating dari tanah Jawa menuju bali beserta beberapa pengikutnya untuk
merabah hutan bali dijadikan lahan pertanian dan sekaligus menata beragama Hindu
di Bali. kesembilan, Danghyang Dwijendra nama lain beliau adalah Danghyang
Niratha. Jika kalau di bali belau bergelar pedanda sakti wawu rawuh.
Kalau dilombok beliau bergelar Tuan Smeru dan disumbawa bergelar pangeran Sangupati.
Banyak tempat suci yang telah beliau bangun di pulau bali, seperti: Pura
purancak,Pura rambut siwi, pura pulaki, pura ponjok batu, pura tanah Lot, pura Peti
Tenget, pura Wuluwatu, pura Air Jeruk, pura Batu Kelotok, dan lain-lainnya.
Sepuluh, Danghyang Astapakeh merupakan salah satu orang suci dari budha
Mahayana/majapahit dan di Bali beliau mendirikan pura sakenan di daerah
serangan di Denpasar selatan. Keturunan beliau di Bali menetap didaerah
karangasem yaitu di Desa budha keling.
KIRSTALISASI SEKTE-SEKTE
DALAM SIVASIDDHANTA
DI BALI
1. Sekte-Sekte dalam Sivasiddhanta di Bali
Menurut penelitian yang dilakukan oleh
R.Goris, Sekte-sekte yang ada di Bali
berasal dari India. Pada awalnya penduduk Bali menyembah Surya. Agama Hindu
berkembang menjadi banyak sekte yang berasal dari negeri asalnya di Jmbhu dwipa dan berkembang hingga ke Balin dwipa. Banyaknya sekte-sekte di Bali ini disebabkan
karena Weda tidak diwahyukan kepada seorang Maha Resi saja, dan juga tidak
diwahyukan dalam kurun waktu yang sama dan diwahyukan pula di tempat yang
berbeda. Ada tujuh Maha Resi yang menerima wahyu Weda, yaitu: Maha-Resi
Grtsamada, Maha-Resi Wiswamitra, Maha-Resi Wama Dewa, Maha-Resi Atri, Maha-Resi
Bharadwaja, Maha-Resi Wasistha dan Maha-Resi Kanwa. Weda diwahyukan sekitar
1.150 sampai 1.000 tahun Sebelum Masehi, di tujuh lembah sungai-sungai suci di
India, yaitu: Gangga, Sindhu, Saraswati, Yamuna, Godawari, Narmada, dan Sarayu.
Ketujuh Maha-Resi itu menafsirkan wahyu-wahyu yang diterima, kemudian
mendirikan perguruan-perguruan serta mempunyai murid atau pengikut
masing-masing. Inilah bentuk awal dari adanya sekte-sekte Agama Hindu.
Selain
penelitian oleh R.Goris, Sejarah sudah mencatat pada abad ke-9, terjadi sebuah
memontum penting dalam perkembangan agama Hindu. Pada saat itu yang memegang
tapuk kepemimpinan di wilayah Bali adalah raja
Sri Dharma Udayana Warma Dewa dengan permaisuri Mahendradatta Gunapriya
Dharmapatni. Agama berkembang begitu pesat, ini dibuktikan dengan adanya banyak
sekte pada zaman itu. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan
secara damai namun lama kelamaan dalam perkembangannya sering terjadinya
persaingan-persaingan. Bahkan tidak jarang terjadi konfik secara fisik.
(Nurkancana, 1997:139). Persaingan
sekteis ini menyebabkan ketenteraman Bali
menjadi tergangu. Kemudian, raja Sri Dharma Udayana Warma Dewa dan ratu
Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni mengambil langkah politis atas keresahan
yang terjadi. Maka, diutuslah Mpu Kuturan selaku penasehat istana untuk mencoba
mencarikan solusi dari permasahan ini. Atas dasar tugas, Mpu Kuturan kemudian
mengundang semua pucuk pimpinan sekte dalam suatu pertemuan (pasamuan) yang diadakan di Batu Anyar
(sekarang wilayah Kab. Gianyar).
Pertemuan ini akhirnya mencapai kata sepakat dengan keputusan sebagai
berikut :
1) Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang
berarti di dalamnya telah mencakup seluruh paham sekte yang berkembang di Bali
saat itu.
2) Dalam setiap Desa Pakraman (Desa Adat) supaya
dibangun Kahyangan Tiga, yaitu: Pura
Bale Agung, Pura Puseh dan Pura Dalem.
3) Dalam setiap
rumah tangga supaya didirikan Rong Tiga
sebagai tempat memuja Tri Murti.
Brahma di ruang kanan, Wisnu di ruang kiri dan di tengah adalah Siwa sebagai
Maha Guru atau Bhatara Guru. Rong Tiga
itu selain sebagai tempat memuja Tri
Murti, juga difungsikan untuk memuja ruh leluhur. Ruang kanan untuk memuja
leluhur laki-laki (purusa), ruang
kiri untuk memuja leluhur wanita (pradana)
sedangkan ruang di tengah-tengah untuk memuja leluhur yang sudah menyatu dengan
Bhatara Guru. (Subandi dalam Nurkancana, 1997:139).
Ada relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini
diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan
manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk.
Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang
kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara.
Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara
termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna
memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan
persembahan umat kepada Tuhan dengan saa, mantra dan puja. Padewasan dan
rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha
kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud.
Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai
Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, beliau disimbulkan pada banten
Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada
kidung belia dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata
dipuja dalam berbagai Puja, Mantra dan saa, ditulis dalam aksara pada
rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama
lainnya.
Tempat-tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja
Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja sebagai Siwa Raditya di
Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, Paibon, Kahyanga Desa
dan Kahyangan Jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata
sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana-mana. Demikinalah orang Bali menyembah
Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung,
Pempatan Agung, Peteula, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya.
Disamping itu diberbagai tempat Tuhan dipuja sebagai Dewa yang "Ngiyangin"
atau yang memberkati daerah pada berbagai aspek kehidupan, seperti Dewa Pasar,
Peternakan, Kekayaan, Kesehatan, Kesenian, Ilmu Pengetahuan dan sebagainya.
Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan
orang Bali yang lepas dari Agama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai
Ista Dewata, Dewa yang dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang
dipuja bukanlah Tuhan yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara
Siwa sebagai Parama Siwa, namun Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi
junjungan yang disembah oleh penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai
tamu yang dimohon kehadirannya oleh hambanya pada waktu dipuja untuk
menyaksikan sembah bakti umatnya. Oleh karena itu Tuhan dipuja sebagai
"Hyang" dari aspek-aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat
dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan umat terhadapa aspek kehidupan
tersebut. Pemujaan dilakuakn dalam suasana, tempat cara dan bahan yang paling
tepat dan paling dihayati oleh para pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten,
pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan
penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan
menyusup kedalam lubuk hati yang terdalam. Apapun yang dipersembahkan, maka itu
adalah sesuatu yang terbaik menurut para penyembah-Nya. Akibat dari semua itu
adalah adanya variasai dan pelaksanaan hidup beragama di Bali.
Namun inti dari prinsip ajaran agama Hindu adalah
sama, yaitu Tuhan yang ada dimana-mana sama dengan Tuhan Yang Maha Esa yang
menampakkan diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembah-Nya, yang abstrak
dihayati melalui bentuk. Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali
setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata,
Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974:10-12). Di antara sekte-sekte tersebut, yang
paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta
termuat dalam lontar Bhuanakosa.
a. Sekte Siwasidhanta
Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara
lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling
besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa
Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini
megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan
Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan
fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai
fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah
(Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh
Maharesi Agastya.
Siwa Sidhanta adalah filsafat dari Saiwisme bagian Selatan. Ajaran pokok
dari filsafat Siwa Sidhanta adalah bahwa Siwa merupakan realitas tertinggi, dan
jiwa atau roh pribadi adalah dari intisari yang sama dengan Siwa, tetapi tidak identik. Pati (Tuhan), Pasu (roh) dan Pasa
(pengikat) dan 36 Tattwa atau prinsip
yang menyusun alam semesta nyata. System filsafat Siwa Siddhanta merupakan
intisari saringan dari Wedanta. Sekte
Siwa Sidhanta ini merupakan saingan dari aliran filsafat Waisnawisme (Sivananda, 2003:261).
Ajaran sekte Ciwa
Sidantha ini termuat dalam lontar Bhuanakosa.
Isi lontar Bhuanakosa antara lain
adalah sebagai berikut:
a) Sidhanta adalah singkatan dari sikara yang
berarti Rudra, Dhkara yang berarti Iswara dan Antha yang berarti Ciwa. Jadi
Sidhanta berarti hakekat beliau yang menguasai dunia yang tiga
b)
Orang yang mendengarkan ajaran Sidhanta akan mendapat
pahala yang lebih besar dibandingkan dengan mempelajari semua tattwa maupun
yang melakukan persembahan
c)
Sang Hyang sada Ciwa lebih mulia daripada Sang Hyang
Siwa. Sang Hyang Parama Ciwa lebih tinggi dari Sang Hyang Sada Ciwa. Beliau
tanpa awal dan akhir
d) Keadaan
Sang Hyang Ciwa waktu membuat dunia berwujud Sang Hyang Brahma. Pada waktu
memeliharanya berwujud Sang Hyang Wisnu, dan pada waktu meleburnya berwujud
Sang Hyang Rudra. Demikian wujud beliau dengan nama yang berbeda
e) Urutan
jenjang pahala yang bisa dicapai dari terndah sampai tertinggi adalah: arcane,
mudra, mantra, kuta mantra dan pranawa. Arcane yang dimaksudkan adalah sesaji dan persembahan di pura. Mudra
adalaha sikap tangan pada waktu memuja. Mantra adalah pengucapan syair-syair
pujaan, yang biasanya juga diikuti dengan doa atau permohonan kepada tuhan.
Kuta mantra adalah mantra yang utama, yang merupakan pujaan kepada Ciwa sebagai
matahari, yang berbunyi “Om hram, hrim, sah, pramaciwaditya
ya namah”. Pranawa adalah pengucapan kata Suci Om, sebagai
Mantra yang tertinggi.
f) Yang menggunakan daun-daunan, tanah,
air, dan basma sebagai sarana pembersih dilakahkan oleh menggunakan sarana
pembersih dengan ilmu pengetahuan. Hanya pembersihan diri sebagai sarana ilmu
pengetahuan yang paling utama diantara semua itu. Dengan ilmu pengetahuan semua
mala petaka dapat disirnakan (Mirsha, 1994:41-153) dan (Goris,1974 :13-14)
Sekte Siwa
Siddhanta merupakan
salah satu sekte pemuja Siwa. Kata Sidhanta merupakan akronim dari kata Sikara
yang berarti Rudra, Dhakara
yang berarti Iswara dan Anta yang
berarti Siwa. Jadi, Siwa Sidhanta penunggalan dari hakekat Rudra, Iswara dan
Siwa. Disamping itu Sikara berarti Prthivi (bumi), Dhakara
yang berarti angkasa dan Anta yang
berarti sorga. Jadi, Siwa Sidhanta berarti hakekat Siwa yang menguasai ketiga
dunia. (Nurkancana, 1997:134). Siwa Siddhanta memiliki cabang yang banyak.
Antara lain Pasupata, kalamuka, Bhairawa, Linggayat dan Siwa Siddhanta. Kata
Sidhanta berarti intinya dari ajaran Siwaisme. Siwa sidhanta mengutamakan
pemujaan kehadapan Tri Purusa, Yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Penganut
Hindu dari sekte Siwa Siddhanta meyakini Tuhan adalah Siwa. Salah satu bentuk
pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan
mantra yang disebut sebagai Mantra Catur Dasa Siwa, yakni empat belas wujud
Siwa. Mantra ini digunakan
untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan yang kuat dan suci serta untuk mendapat
kebahagian sekala-niskala. Kaitan Siwa siddhanta dengan panca yajna,
yang menggunakan mantra Catur Desa Siwa, pada saat hari raya Siwa ratri, dimana
pada saat ini di anggap harinya Siwa.
b. Sekte
Pasupata
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja
Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara
pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat
turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa
merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah
dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang
tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat
berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana
sehingga merupakan lingga semu. Pemujaan Lingga sebagai lambang Dewa Siwa
adalah merupakan ciri-ciri khas aliran Pasupata. (Nurkancana, 1997 : 135).
c. Sekte
Waisnawa
Sekte Waisnawa (Sri Sampradaya) yang diperkenalkan oleh Ramanuja Acarya, kira-kira pertengahan abad ke-12. Para pengikut Ramanuja memuliakan Wisnu dan Laksmi beserta
inkarnasinya, mereka disebut pengikut Ramanuja
atau Sri Sampradayin atau Sri Waisnawa. Para Guru mereka adalah kaum Brahmana
dan siswa-siswanya boleh dari golongan manapun. Mereka semua mengulang-ulang Astaksara mantra “Om Namo Narayana”. Mereka menempatkan 2 garis putih dan satu garis
merah di tengah pada dahinya.
Wedanta Desika, seorang pengikut Ramanuja, membuat beberapa perubahan
pada kepercayaan Waisnawa. Hal ini
menimbulkan formasi dari 2 kelompok ramanuja yang saling bertentangan, yang
satu disebut Kelompok Utara (Wedagalai)
dan yang lainnya Kelompok Selatan (Tengalai).
Para pengikut kelompok Tengalai
menganggap Prapatti atau penyerahan
diri sebagai satu-satunya cara pembebasan diri. Para pengikut Wedagalai berpendapat bahwa ada satu
jalan pembebasan. Menurut mereka, para Bhakti
atau pemuja seperti anak kera yang harus mengusahakannya sendiri dan bergantung
pada induknya (Markata-Nyaya atau
teori kera); sedangkan menurut kelompok Selatan Bhakta atau pemuja adalah seperti anak kucing yang dibawa induknya
tanpa suatu usaha bagi dirinya sendiri (Marjara-Nyaya
atau teori cengkeraman kucing). Kelompok Utara menerima naskah-naskah
Sansekerta yaitu Weda, sedangkan kelompok Selatan sedang menyusun Weda bagi
kelompok mereka yang disebut “Nalayira
Prabandha” atau Empat Ribu Sloka
dalam bahasa Tamil dan menganggap lebih tua dari pada Weda sanskreta. Sesungguhnya ke-4000 sloka mereka didasarkan pada Upanisad, bagian dari Weda.dalam semua pemujaannya mereka
mengulang-ulang bagian dari sloka-sloka Tamil mereka.
Para
pengikut Wedanggalai menganggap Laksmi sebagai sakti dari Wisnu dan Laksmi sendiri tak terbatas, tak diciptakan dan layak dipuja
sebagai satu cara (upaya) untuk pembebasan. Para pengikut Tengalai menganggap Laksmi
sebagai seorang makhluk wanita yang diciptakan, walaupun bersifat Tuhan.
Menurut mereka, beliau bertindak sebagai perantara atau menteri (Purusakara) dan bukan sebagai suatu
saluran yang layak untuk pembebasan. Kedua sekte ini memiliki tanda-tanda wajah
yang berbeda. Para Wadagalai membuat
sebuah garis lengkung putih seperti huruf U untuk menyatakan satu-satunya kaki padma Wisnu yang kanan, sebagai sumber
dari sugai Gangga. Mereka menambahkan
tanda garis merah di tengah sebagai symbol Laksmi.
Para Tengalai membuat tanda garis
putih seperti huruf Y yang menyatakan kedua kaki padma Wisnu. Mereka menggambar sebuah garis putih separuh, menurun
ke hidung.
Kedua
sekte tersebut bercirikan lambang Wisnu,
yaitu cakra dan kerang, pada dada, bahu dan lengan mereka. Para pengikut Tengalai melarang para janda diantara
mereka dari pencukuran rambut. Nama keluarga dari para Brahmana Ramanuja iasanya adalah Aiyangar, Acarya, Carlu dan acarlu (Sivananda, 2003:145-46).
Wisnu adalah anggota kedua dari Trimurti yang termasuk di dalamnya
adalah Brahma dan Siva. Wisnu juga dikenal dengan nama lain seperti Vasudewa dan Narayana. Sepuluh inkarnasi atau awatara dari Wisnu digambarkan
dalam mitologi Hindu kemunculannya memberikan bantuan Tuhan pada berbagai tahap
evolusi manusia. Adapun kesepuluh inkarnasi atau awatara dari Wisnu yaitu :
a) Matsya (ikan); menyelamatkan Rsi Manu dari
banjir dan mengembalikan Veda dari raksasa.
b) Kurma (kura-kura); menjaga bumi di punggungnya.
c) Varaha (babi hutan); yang membawa Bumi kembali
dari dasar lautan di mana ia telah diseret oleh raksasa, yang dikenal dengan
nama Hiranyaksa; Varaha yang membunuh raksasa itu.
d) Narasimha (manusia singa); yang membunuh raja
Hiranyakasipu, yang berencana untuk membunuh anaknya sendir, seorang pemuja
Wisnu.
e) Vamana (orang cebol) membunuh raksasa Raja
Mahabali, yang mengusir Dewa dari tempat daerah kekuasaanya.
f) Parasurama (prajurit dengan kapak); yang
menyelamatkan Brahma dari tirani ksatria yang arogan.
g) Rama; membunuh Ravana, Raja raksasa dari Lanka.
h) Sri
Krsna; inkarnasi yang
paling terkenal; Krsna memberikan kontribusi selama hidupnya termasuk ajaran Bhagavadgita
pada Arjuna.
i) Buddha: Hindu menganggap bahwa Buddha adalah
inkarnasi dari Dewa Wisnu dan menerima ajarannya, tetapi tidak secara langsung memujanya.
j) Kalkin (manusia yang mengendarai kuda putih);
inkarnasi ini belum datang dan akan menandai akhir dari kejahatan di Dunia (Pandit,
2006:206).
Suhardana dalam bukunya Tri Murti
berpendapat, peleburan Waisnawa dengan Siwa Sidhanta dapat dilihat dari patung
Ardhanareswara dalam bentuk separuh wanita dan separuh pria yang dinamakan Hari
Hara. Hari yang artinya Wisnu yang memiliki wanita dan Hara (Siwa) yang memilki
pria. Disamping itu, ada pula tokoh Sengguhu yang merupakan golongan pendeta
dari kelompok Waisnawa dan mempunyai peranan dalam ritual menjelang Nyepi. (Suharndana,
2008:113). Di sisi lain, sebuah blog yang domainnya bernama Pembelajaran Agama
Hindu, menyatakan bahwa peleburan unsur-unsur Sekte Waisnawa ke dalam paham
Siwa Sidhanta secara garis besar dapat dilihat dari 2 sisi yaitu: Sisi Upakara
dan Sisi Upacara.
a) Sisi Upakara
Dalam upakara dapat dilihat bahwa
unsur-unsur Waisnawa ada pada penggunaan:
1) Sesayut Agung, bentuknya:memakai aled/alas sesayut,tumpeng
agung yang dipuncaknya memakai telur itik direbus 1,4 kewangen, 4 bunga yang
berwarna hitam, pada saat dihaturkan bertempatkan di utara. Bentuk sesayut ini
menggambarkan ciri-ciri dari Wisnu yang merupakan Dewa yang dipuja dalam sekte
Waisnawa.
2) Sesayut Ratu Agung, menggunakan tiga nasi tumpeng dengan
puncaknya diisi satu buah telur itik, Bunga cempaka yang ditempatkan pada empat
penjuru mengelilingi tumpeng, dua kewangen disandarkan pada tumpeng, dua
tulung, sasangahan sarwa galahan, sodan woh, berbagai jenis buah-buahan. Dipersembahkan
pada Dewa Wisnu.
3) Canang Genten, bentuknya: memakai alas yang berupa ceper atau
yang berupa reringgitan, disusun dengan plawa (daun), porosan yang berupa sedah
berisi apuh dan jambe diikat dengan tali porosan, disusun dengan tempat minyak,
bunga dan pandan arum yang bermakna penyatuan pikiran yang suci untuk sujud
bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam wujudnya sebagai Brahma Wisnu dan Iswara.
4) Gayah Urip,
mempergunakan seekor babi. Di atas kepala babi tersebut ditancapkan
sembilan jenis sate yang berbentuk senjata, yang penempatannya sesuai dengan
pengideran nawa dewata. Salah satu dari sate tersebut berbentuk cakra
(senjata Dewa Wisnu) dengan puncaknya Amparu ditancapkan disebelah utara (Untram).
5) Tirta, hampir disetiap upacara menggunakan tirta yang terbuat
dari yang telah disucikan. Air merupakan lambang dari Dewa Wisnu.
6) Banten Catur Rebah: pada banten ini salah satunya menggunakan
biyu lurut 4 buah, diletakan di utara sebagai simbol Dewa Wisnu.
7) Banten Pula Gembal, terdapat beberapa bagian yang mewakili
wisnu diantaranya adalah terdapat jajan yang menggambarkan senjata dan salah
satunya adalah senjata cakra yang merupakan senjatanya Dewa Wisnu. Adanya unsur
Waisnawa dipertegas lagi dalam puja Pula Gembal, yaitu :
Om Ganapati ya namah swaha
Om Ang brahma saraswat Dewaya Namah Swaha
Om Ung Wisnu Sri Dewyo namah swaha
Om Mang Iswara Uma Dewya namah swaha
Om Om Rudra Rudga Dewya namah swaha
Om Sri Guru Byo namah swaha.
b) Sisi Upacara
Dalam upacara dapat dilihat bahwa
unsur-unsur Waisnawa ada pada bentuk upacara seperti dibawah ini:
1) Upacara Mapag Yeh,
dilakukan oleh para krama subak yeh yang ditujukan kepada Dewa Wisnu.
2) Mabyukukung, upacara ini
menggunakan upakara berupa banten dapetan, penyeneng, jerimpen, pangambyan,
sodan, canang, raka putih kuning, toya anyar/air bersih baru di dalam sibuh yang berisi pucuk daun dapdap.
Yang dipuja adalah Hyang Sri Laksmi yang merupakan saktinya Dewa Wisnu.
3) Upacara yang dilakukan
pada saat menanam padi, dilaksanakan pada sasih kaulu, kesanga dan kedasa.
Dengan menggunakan segehan nasi kepalan (nasi yang di kepal) berwarna hitam,
ikan serba hitam, buah yang berwarna hitam, masawen (sawen = penanda) dengan
kayu yang berwarna hitam, yang disembah atau dipuja adalah Hyang Guru Wisnu.
(Sumber: http://belajaragamahindu.wordpress.com/2010/11/02/unsur-unsur-waisnawa-yang-terdapat-dalam-saiwa-siddhanta/diakses
Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 15.05 Wita).
Adanya sekte
Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan
petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki,
pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri
dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti
berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi
Bujangga.
d. Sekte
Bodha
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan
dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah
liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di
Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha
aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti
dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani
di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.
e. Sekte
Brahma
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya
telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta,
tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama,
Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan
produk dari sekte Brahmana. Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian
yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah
seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah
Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja
dari Wangsa Ksatria.
Sekte Brahmana, adalah kepercayaan Umat Hindu dengan Dewa Api (Dewa
Agni) yang diidentikkan dengan Dewa Brahma, karena perkembangan pemahaman
theologi tentang Dewa, Dewa Agni yang pada zaman weda beralih menjadi Dewa
Brahma pada zaman upanishad, sama halnya dengan Dewa Waruna menjadi Dewa Wisnu
dan beberapa resuffle Dewa yang
lainya. Menurut Dr. Goris, Sekte Brahmana seluruhnya telah luluh dengan Siwa
Sidhanta. Di India Sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak
dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, parwa digama, kutara, Manawa
Dharmasastra yang merupakan produk dari Sekte Brahmana. (Sumber: http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html
diakses Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 14.00 Wita).
Penganut Sekte Brahmana banyak mempersembahkan
wujud bhaktinya melalui upacara Dewa Yadnya: mempersembahkan minyak dan
biji-bijian kepada Dewa Siwa, Agni (rumusan panca yajna dalam
Lontar Agastya Yadnya). Salah satu
upacara yang paling populer dari sekte ini adalah Agni Hotra (Homa Yadnya).Warisan luhur dari Sekte Brahmana
berkaitan dengan Panca Yadnya secara riil yang dapat kita lihat sampai sekarang
adalah penggunanan api ketika melalukan ritual agama. Penggunaan api dalam
ritual agama Hindu bisa berupa dupa, api
takep dan dipa.
f. Sekte
Sora
Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang
dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada
waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora.
Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di
Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu
dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian
bahwa seseorang telah melakukan yajnya. Bukti sekte ini
berkembang di Bali dengan adanya mantra dalam kramaning sembah, yang berbunyi
Om Aditiya Syaparam Jyoti,
Rakta teja namo’stute,
Sweta pankaja madhyastha,
Bhaskaraya namo stute.
Terjemahan :
Om sinar suryayang maha hebat, engkau beresinar
merah, hormat padamu, engkau yang berada di tengah teratai putih, hormat pada-Mu
pembuat sinar.
g. Sekte
Ganapatya
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesha.
Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil.
Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa
pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh
karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap
bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan
sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari
tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung
Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama
dengan patung-patung dewa lain.
Namun dalam pemikiran Hindu dinyatakan bahwa
dengan memuja Ganesa untuk dapat mencapai keberhasilan yang diinginkan dalam
dunia fisik dan juga untuk selanjutnya mencapai kesempurnaan. Karena
keberhasilan sempurna dalam semua tindakan yang religius sama haknya dengan
hubungan di dunia yang merupakan tujuan dari semua manusia. Hindu memuja Ganesa
untuk mencari berkah Tuhan sebelum memulai sebuah kegiatan. Untuk alasan
inilah, Ganesha dipuja terlebih dahulu sebelum melakukan perayaan atau fungsi
keagamaan lainnya. Dalam mitologi Hindu, dewa Ganesa adalah putra dari Dewa
Siva dan Dewi Parvati (Pandit, 2006:198).
Menurut beberapa sumber mengatakan bahwa konsepsi
pelinggih Jero Gede mengadopsi konsep Dewa Ganesha. Di Bali aliran Ganapati ini mempengaruhi dalam
yajna, misalnya dalam yajna Resi Gana.
Rsi Gana itu bukanlah caru, melainkan suatu bentuk pemujaan kepada Gana
Pati/Ganesha (Penguasa/Pemimpin para Gana) sebagai Vignesvara (raja atas
halangan). Upacara ini diselenggarakan dengan tujuan supaya manusia terhindar
dari berbagai halangan. Namun dalam penyelenggaraan upacara Rsi Gana memang
tidak pernah terlepas dari penggunaan caru sebagai landasan upacaranya, sehingga
seolah-olah Rsi Gana itu sama dengan caru (kebanyakan orang menyebut dengan
istilah Caru Rsi Gana). Upacara Rsi Gana bisa diikuti berbagai macam caru.
Adapun jenis caru yang mengikuti upacara Rsi Gana ini tergantung tingkatan Rsi
Gana bersangkutan. Rsi Gana Alit diikuti dengan caru ekasata yang lazim dikenal
dengan sebutan ayam abrumbunan (seekor ayam dengan bulu lima jenis warna). Rsi
Gana Madya diikuti dengan caru pancasata (lima ekor ayam dengan bulu berbeda).
Rsi Gana Agung diikuti dengan caru pancakelud ditambah seekor bebek putih,
menggunakan seekor kambing sebagai dasar kurban caru. (Sumber: http://cakepane.blogspot.com/2010/06/apakah-caru-segehan-dan-tawur.html,
diakses Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 14.30 Wita).
h. Sekte
Bhairawa
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga
sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap
desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan
terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Sekte
ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan
(magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam
lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh
manusia juga bersumber dari sekte ini (Nurkancana, 1997 : 136)
Sumber lain menyatakan Bhairawi yaitu dewi sebagai fenomena spiritual selalu melibatkan 2
kategori eksklusif; keindahan/kecantikan (beaut) disatu sisi dan
kemurkaan/ketakutan (dangerous) pada sisi lainnya. Kecantikan/keindahan
spiritual adalah pesona yang menarik kita untuk mendekatinya.
Kemurkaan/ketakutan adalah bahaya yang membuat kita cepat-cepat menyingkir dan
menjauh. Bhairawi adalah penampilan murka ilahi yang powerful dan energetic. Ia
mewakil unsur tejas/agni (api, panas/cahaya) sebuah energi pembakar yang
apabila murka akan mengancam segala sesuatu. Api yang berkobar dalam spirit
Bhairawi akan membakar dan menghanguskan rasa kakuan kita. Karena itu Bhairawi
digambarkan sebagai Dewi yang berwajah seram dan menakutkan. Ia sangat
mengerikan bagi orang yang mencintai kesenangan material dan mereka yang
terikat kecenderungan egoistiknya (egsentric
existence). Pengaruh ego didalam diri kita identik dengan kekaburan
batin/kekotoran (mala) seperti “gumpalan sampah” dari negative force pikiran kita. Bhairawi dengan api spiritualnya yang
dahsyat menolong para aspiran spiritual mengobarkan api kesucian hati untuk
menyingkikan energi negative. Inilah pesona beauty tersembunyi yang ditampilkan
Sang Ibu yang penampilannya menyeramkan (Yudhiantara, 2003:55-56).
Menurut R. Goris, ada bentuk tertinggi dari
kemoksaan atau kelepasan menurut sekte Bhairava dengan praktek yang disebut
Panca Tattwa atau lazim disebut dengan istilah Panca-Ma (kara), yaitu Madya
(alkohol), Mangsa/Mamsa (daging), Matsya (ikan), Mudra (sikap tangan), dan
Maithuna (persetubuhan) yang pada penggunaan ritual menyebabkan ekstase yang
tertinggi. Namun kini praktek keseluruhan ajaran ini tidak ditemukan lagi di
Indonesia. Walaupun tidak semua Panca tattwa ini terlaksana, ada bagian-bagian
lain msih tetap menggunakannya, misalnya daging dan darah sebagai persembahan
Bhuta yajna, masih relepan ditemukan di bali, terutama saat mecaru. Mecaru
merupakan persembahan kepada sang bhuta kala agar dapat menyeimbangkan semua
mahluk yang tercita di Dunia.
2. Kristalisasi Sekte-sekte dalam Sivasiddhanta
Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja
Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria
Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu
beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu
Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan
pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum
pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad
ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte
tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi
persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan
sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal
tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi
kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan
sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga).
Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan
Tiga.
Ada tujuh Maha Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra,
Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa yang menerima wahyu Weda di
India sekitar 2500 tahun sebelum Masehi. Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda
tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari
guru mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekta-sekta yang jumlahnya
ratusan. Sekta-sekta yang terbanyak
pengikutnya antara lain: Pasupata, Linggayat Bhagawata, Waisnawa, Indra,
Saura, dan Siwa Sidhanta. Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi
Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia.
Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman
Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari
Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang
populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut
dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang
berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan
sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? Karena
Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para
pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas. Bagi penganut
Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok/intinya saja;
resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok).
Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain
Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua
tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan
Mpu/Danghyang Nirartha.
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana
dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di
Bali. Seperti disebutkan oleb R. Goris
pada masa Bali Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat
sektarian. Ada sembilan sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara
lain sekte Pasupata, Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi,
Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Siwa Sidhanta merupakan sekte
yang sangat dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing sekte memuja Dewa-Dewa
tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa Utamanya dengan Nyasa (simbol)
tertentu serta berkeyakinan bahwa Istadewatalah yang paling utama sedangkan
yang lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan itu akhirnya
menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang lainnya yang
menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh masyarakat Bali
Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak
negative pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat
negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada
pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan
terganggu. Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana
Warmadewa perlu mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya
Dharmapatni sudah dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur. Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana
Warmadewa bersekepatan untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
a) Mpu
Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut,
bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka
yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
b) Mpu
Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku
Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
c) Mpu
Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu
Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku
babahan atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti
(Padang)
d) Mpu
Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan,
bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa
dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis
(Lempuyang)
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa
Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya yang bungsu bernama Mpu Bharadah
ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan di Lemahtulis, Pajarakan. Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca
Pandita atau “Panca Tirtha” karena beliau telah melaksanakan
upacara “dwijati” yaitu menjalankan dharma “Kabrahmanan”. Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di
Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga kekuatan pada saat itu, yaitu:
a) Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh
Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
b) Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
c) Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah
orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas
bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yang terdiri dari berbagai
aliran. Tatkala itu semua hadirin setuju
untuk menegakkan paham Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) untuk menjadi inti
keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi
dari Sang Hyang Widhi Wasa. Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi
keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung
dalam satu wadah yang disebut “Siwa Budha” sebagai persenyawaan Siwa dan Budha.
Semenjak itu penganut Siwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (Pura)
untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing
bernama:
a) Pura Desa Bale Agung untuk memuja
kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
b) Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu
sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
c) Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari
Durga yaitu caktinya Bhatara Siwa sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
(Soeka, 1993:8).
Ketiga pura tersebut disebut Pura “Kahyangan Tiga”
yang menjadi lambang persatuan umat Siwa Budha di Bali. Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu
organisasi “Desa Pakraman” yang lebih dikenal sebagai “Desa Adat”. Dan sejak
saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang
politik, sosial, dan spiritual. Jika
sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan
huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura
Samuan Tiga.
Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai
pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep
Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura
Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg
(Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.
Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal
(pangider-ider). Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas
beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit
putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke
Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang
menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang
Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
Mpu Jiwaya, Beliau menyebarkan Agama Budha
Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti
Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk
kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget)
dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong,
dll. Danghyang Dwijendra Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali
Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak,
Jembrana, Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu
dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya
sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa.
Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep
Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan
horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan
vertikal. Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang
kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur,
hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat
silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat Pekraman dibuat,
organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan
karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau
kekawin. Karya sastra beliau yang
terkenal antara lain: Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit,
Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana,
Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan
untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya
Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing
umat misalnya: Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit
Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi
(Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki,
Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri
yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan
ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali. Di
bidang tattwa misalnya, ciri khas yang paling menonjol adalah penyembahan Hyang
Widhi dalam manifestasi sebagai Trimurti dan Tripurusa dalam bentuk palinggih
Kemulan Rong Tiga dan Padmasana yang dikembangkan masing-masing oleh Mpu
Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.
Di bidang ritual ciri khas Hindu-Bali yang
terpenting adalah adanya bebali atau banten yang dikembangkan oleh Danghyang
Markandeya dan Mpu Sangkulputih. Sejarah kemudian membuktikan bahwa walaupun di
Nusantara telah berkembang Agama lain seperti Islam dan Kristen, Bali tetap
dapat bertahan pada Hindu karena agama Hindu telah membudaya mewujudkan jati
diri orang-orang Bali yang mengagumkan Dunia. Zaman sudah globalisasi, dunia
yang tanpa batas, pengaruh budaya luar terus menerus menghantam ketahanan
orang-orang Hindu. Bermula
dari perubahan nama Agama di era Orde Baru, di mana Agama Hindu-Bali dirubah
menjadi Agama Hindu Dharma. Ini merupakan tonggak bagi sebagian kecil penduduk
dari suku-suku: Batak Karo, Dayak, Banten, Jawa, dll. mendapat pengakuan pada
keyakinan spiritualnya di luar Agama yang sudah ada, menjadi tertampung dalam
Hindu Dharma.
Dengan demikian Hindu Dharma akan mampu memberikan
acuan yang lengkap mengenai Tattwa, Susila dan Upacara kepada saudara-saudara
se-dharma di luar Bali, karena sudah ratusan generasi meninggalkan Hindu atau
tidak bersentuhan dengan Hinduan seperti yang berkembang di Bali Hindu Dharma
harus mempertahankan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh ke enam tokoh suci
yang disebutkan di atas. Karena Bali saat ini banyak sekali aliran-aliran
bermunculan dan saling bertentangan seperti abad ke 10 sebelum kedatangan Mpu
Kuturan di Bali. Dalam perkembangan globalisasi saat ini Hindu Dharma sudah
melakukan reformasi kelembagaan yaitu:
a. Parisadha Hindu Dharma secara khusus
sebagai lembaga umat yang menangani masalah-masalah agama sehingga Tattwa,
Susila dan Upacara menjadi sesuatu yang utuh sebagai manifestasi hubungan
vertical (hubungan religius)
b. Lembaga Adat (Majelis Desa Pekraman untuk
di Bali) secara khusus menangani masalah-masalah Adat sebagai manifestasi
hubungan Horisontal.(hubungan social) Hindu Dharma adalah agama SIWA BUDHA yang
social religius. Semoga atas wahyu Hyang Widhi pemikiran-pemikiran cemerlang
datang dari segala arah
3. Panca Yajna
bentuk Kristalisasi Sekte-Sekte dalam Sivasiddhanta
Ada beberapa sastra yang menekankan akan
pentingnya melaksanakan panca Yajna
yaitu Manawadarmasastra IV sloka 21 “bahwa
hendaknya jangan lupa, jika mampu melaksanakan Rsi Yajna, Deva Yajna, Manusa Yajna, Pitra Yajna dan Bhuta Yajna” dan Agastya parwa 35.b “adapun perincian panca Yajna yaitu Dewa Yajna, Rsi Yajna, Pitra Yajna, Manusa Yajna dan Bhuta Yajna”. Melakukan upacara Yajna adalah merupakan langkah yang di
yakini sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Karena Yajna adalah salah satu penyangga Bumi.
Demikian disebutkan dalam kitab Atharwa
Weda. Pemeliharaan kehidupan di Dunia ini dapat berlangsung terus sepanjang
Yajna terus-menerus dapat dilakukan
oleh umat manusia. Demikian pula Yajna
adalah pusat tercitanya alam semesta atau Bhuana Agung sebagai diuraikan dalam
kitab Yajur Weda. Disamping sebagai
pusat terciptanya alam semesta, Yajna
juga merupakan sumber berlangsungnya perputaran kehidupan yang dalam kitab Bhagawadgita di subut cakra Yajna. Jika cakra Yajna
ini tidak berputar maka kehidupan ini akan mengalami kehancuran. Upacara agama
adalah salah satu bagian dari pelaksanaan Yajna
sebagai dasar pengembalian Tri Rna. Weda mengajarkan Tuhan menciptakan alam
semesta ini berdasarkan Yajna, karena
itu manusia yang bermoral akan merasa berhutang kepada Tuhan. Untuk menyampaikan
rasa berhutang itu umat Hindu melakukan panca Yajna diantaranya Dewa Yajna,
Bhuta Yajna, pitra Yajna, Manusa Yajna, Resi Yajna.
Panca Yajna
wajib dilakukan oleh setiap orang sebagai kepala keluarga untuk menembus
dosa-dosanya yang ditimbulkan oleh pemakai lima alat penyemblihan. (Manawa
Dharma Sastra III 69.71). liama alat penyemblihan itu yaitu: dapur, tempat air,
lumpang, talenan, dan tempat menumbuk bumbu masak. Ada
lima unsur
penyucian yang dikandung dalam upacara agama:
1)
Mantra yaitu doa-doa yang harus diucapkan oleh umat
kebanyakan, pinandita, dan pendeta sesuai dengan tingkatannya.
2)
Yantra yaitu alat atau simbol-simbol keagamaan yang
diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian.
3)
Tantra yaitu kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan
dengan cara-cara yang ditetapkan dalam kitab suci.
4)
Yajna yaitu
pengabdian yang tulus iklas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan.
Ketulusikhasan ini akan dapat meningkatkan kesucian.
5)
Yoga artinya
mengendalikan gelombang-gelombang pikiran dalam alam pikiran untuk dapat
berhubungan dengan Tuhan. Pengendalian
dalam yoga ada delapan tahapan yang disebut: asta yoga, yang meliputu: yama,
nyama, asana, pranayama, darana, dhiyana,
dan samadhi.
Dalam manawa
Dharma sastra sloka 81 menyebutkan bahwa rumusan panca Yajna
antara lain :
1)
Swadyaya Yajna: mengabdi kepada guru
suci, sembahyang kepada Resi dengan mengucapkan Veda.
2)
Dewa Yajna:
menghaturkan persembahan buah-buahan yang telah masak
3)
Pitra Yajna: menghaturkan persembahan upacara sradha
kepada leluhur
4)
Nara
Yajna: memberikan makanan kepada masyarakat.
5)
Butha Yajna:
menghaturkan upacara bali karma kepada butha
Dalam sloka 74
Manawa Dhrama Sastra, panca yadnya diuraikan dengan istilah yang amat berbeda
yaitu sebagai berikut:
1)
Ahuta: mengucapkan doa-doa suci Weda
2)
Huta: persembahan dengan api homa
3)
Prahuta: upacara bali yang ditujukan kepada
butha
4)
Brahmahuta: menghormati para Brahmana
5)
Prasita: persembahan kepada para pitara
Di dalam Gautama
Dharma Sastra, panca yadnya dirumuskan hanya tiga Yajna dan amat berbeda dengan yang termuat dalam kitab-kitab lain.
Tiga Yajna itu yakni:
1)
Dewa Yajna:
persembahan kepada hyang Agni dan Dewa Samodaya
2)
Butha Yajna: persembahan kepada loka
pala (Dewa Pelindung) dan para Dewa penjaga pintu pekarangan (penungun karang).
3)
Brahma Yajna:
pembacaan ayat-ayat suci Weda.
Sumber-sumber di
Indinesia yang lebih sesuai dengan kenyatan-kenyataan yang dilaksanakan oleh
umat Hindu Di Indonesia. Sumber-sumber di Indonesia itu adalah Lontar Korawa Srama, Lontar Singalanghyala
dan Lontar Agastya Parwa. Dalam
Korawa Srama Panca yadnya disebutkan sebagai berikut :
1)
Dewa Yajna: sembah dengan sesajen
dan mengucapkan sruti dan stawa pada waktu bulan purnama.
2)
Resi Yajna:
mempersembahkan punia, buah-buahan, makanan dan barang-barang yang tidak mudah
rusak kepada para Resi.
3)
Butha Yajna: mempersembahkan puja dan caru
4)
Manusa Yajna:
memberi makanan kepada masyarakat
5)
Pitra Yajna; mempersembahkan puja dan Bali
atau bebanten
Adapun rumusan panca Yajna dalam Lontar Agastya Yadnya antara
lain:
1)
Dewa Yajna: mempersembahkan minya dan
biji-bijian kepada Dewa Siwa, Agni, di tempat pemujaan Dewa.
2)
Resi Yajna: menghormati pendeta dan membaca
kitab suci
3)
Pitra Yajna: upacara kematian agar
Roh mencapai Siva
4)
Butha Yajna:
mensejahterakan tumbuh-tumbuhan dan menyelengarakan upacara tawur dan panca
wali krama.
5)
Manusa Yajna:
memberi makanan pada masyarakat.
a. Deva Yajna
Dewa
Yajna adalah yajna
yang dipertuntuhkan atas rasa bhakti kepada Tuhan (Beberapa Kegiatan
upacara Dewa Yajna yang dilaksanakan
pada hari-hari raya tertentu yang akan ditengahkan berikut ini berdasarkam pada
lontar Sundarigama antara lain:
a) Hari Purnama dan Tilem
Pada hari purnama maupun tilem (bulan mati) adalah
hari beryoganya sanghyang wulan (bulan) dan matahari. Pada hari ini sepatutnya
melaksanakan upacara bersuci diri lahir bathin dengan jalan menghaturkan canang
burat wangi, lenga wangi dan sejenisnya, dihaturkan di tempat pemujaan masing-masing
kelurga yang dilanjutkan dengan mohon tirta.
b) Hari raya yang berdasarkan pawokun
1.
Hari
senin pon, wuku sinta (soma ribek): Hari pemujaan terhadap Dewi
Sri(sekte waisnawa), menghaturkan
upacara di lumbung serta peyimpanan beras. Upakaranya berupa : nyahnyah
geringsing, geti-geti, pisang mas serta wangi-wangian
2.
Hari
selasa wage wuku sinta (sabug mas): Hari penyucian terhada Dewa
Mahadewa, menghaturkan upakara pada kekayaan berupa mas, permata, dll.
Upakaranya berupa: suci 1, pras penyeneng, sesayut merta sari lenga wangi burat
wangi dan pesucian.
3.
Hari
rabo kliwon wuku sinta (buda kliwon pagerwesi): Hari
payoganya Sang Hyang Siwa (sekte Siwa) dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang
Pranesti guru. Upakaranya berupa :suci 1, 1 daksina, 1 pras penyeneng, sesayut
panca lingga, penek, ajuman, serta buah-buahan, menghaturkan segehan yang
lengkap dengan tetabuhan: arak, tuak, berem dan air putih (sekte Bhairawa).
4.
Hari
sabtu kliwon wuku landep, disebut Tumpek landep: Hari payoganya Bhatara Siwa (sekte siwa) serta manifestasinya Hyang
Pasupati. Upakara yang dihaturkan kepada Bhatara Siwa berupa: tumpeng putih
kuning satu dulang, daging-dagingan ayam (sekte
bhairawa), ikan asin, terasi warna merah, sedah who 25 biji. Dan upakara
dihaturkan kepada Hyang Pasupati berupa: sesayut pasupati, sesayut jayeng
perang, 1 suci, daksina, peras, canang wangi, pesucian. Upakara ini berfungsi
untuk memohon pentajaman pikiran kepada Hyang Pasupati.
5.
Hari selasa
kliwon wuku kulantir: Hari puja walinya Bhatara Maha Dewa. Upakaranya
berupa :serba kuning terdiri dari nasi pangkonan kuning, daging ayam warna
putih (ayam siungan) diolah berupa betutu (Sekte
Bhairawa), sedah who 22, pemujaan dilaksanakan pada kemulan.
6.
Hari sabtu kliwon wuku wariga (tumpek pengaduh):
Pemujaan dilaksanakan pada Sang Hyang Sangkara (Dewa Siwa) sebagai bentuk
melestarikan tumbuh-tumbuhan. Upakaranya berupa: pras, tulung, sesayut
pangambeyan, bubur suyuk, tumpeng agung, dagingnya babi guling atau guling itik
(sekte Bhairawa), buah-buahan,
penyeneng dan tatebus, pemujaannya kepada sarwa tumbuh-tumbuhan.
7.
Hari kamis wage wuku sungsang (sugihan jawa):
Hari in adalah hari pembersihan alam semesta dan segala isinya guna menyambuut
hari raya galungan(sekte Ganesha).
8.
Hari jumat kliwon wuku sungsang (sugihan bali):
Hari ini adalah hari pembersihan diri dengan melaksanakan tirtha gocara.
9.
Hari selasa wage wuku dungulan (penampahan): Prakteknya
pada hari ini dilaksanak pemotongan hewan untuk persiapan hari raya galungan (sekte Bhairawa) pada sore harinya umat
memasang penjor, pacanigaan dan gantungan di palinggih-palinggih.
10. Hari
rebo kliwon wuku dungulan (galungan): Melaksanakan persembahyangan
kepada para leluhur dan para Dewa dan tempat-tempat lain seperti tempat tidur,
air, tempat suci, lesung dll. Upakara dipersembahkan di pagi hari sebelum
matahari condong ke barat, diikuti dengan persembahyangan dan memohon tirta (sekte Waisnawa) dan bija (Sekte waisnawa).
11. Hari
sabtu kliwon wuku kuningan (kuningan): Hari ini adalah hari pujawali Bhatara
Wisnu (sekte waisnawa). Upakaranya
berupa: sedah ingapon, putih ijo, jambe, 26 ireng tumpeng upakara ini
dihaturkan di Sanggah dan yang diakhiri dengan persembahyangan.
12. Hari
buda wage wuku kelawu: Hari pujawalinya Bhatara Rambut Sedana, upakaranya
berupa: suci, ajuman, pras penyeneng, sodan putih kuning. Upakara ini
dipersembahkan kepada Bhatara Rambut Sedana.
13. Saniscara
kliwon wuku uye (tumpek kandang): Pelaksanakan upakaranya dilakukan melalui
binatang-binatang besar berkaki empat. Jenis upakara di Sanggar yang
dipersembahkan kepada Siwa dalam manifestasinya sebagai Rare Anggon berupa: suci,
peras, daksina, penyeneng, canang lenga burat wangi dan pasucian. Upakara jenis
binatang besar berupa: tumpeng tatebasan, pareresikan, penyeneng dan jarimpen. Upakara
jenis babi berupa: canang raka, anaman, balekok dan blayag. Upakara jenis
burung berupa : penyeneng tetebus dan kembang pahyas.
14. Hari
sabtu kliwon wuku wayang (tumpek wayang): Hari ini merupakan
pujawalinya dewa iswara, dengan jenid upakara berupa: suci, peras, ajengan,
dagingnya itik putih (sekte waisnwa),
sedah woh, canang raka, pesucian. Adapun makna simbolisnya adalah Sang Hyang
Iswara sebagai dalang, dan perbuaatn adalah sebagai penguntapannya.
15.
Saaniscara wuku umanis wuku watugunung (hari Saraswati):
Hari raya saraswati dalah hari peringatan turunnya ilmu pengetahuan yang
merupakan sakti dari dewa Brahma. Dengan menggunakan upakara tingkat kanista
(sederhana) berupa banten saraswati, canang burat wangi lenga wangi dan
kumkuman air bunga. Tingkat lebih
besar banten saraswati, ajuman, peras, daksina, dan rayuan putih kuning. Atau
juga tingkat utama (besar) berupa: suci, peras, daksina, kembang pahyas, canang
biasa, sesayut saraswati, segara gunung, rayuan, prangkatan putih kuning, buah-buahan
dan wangian selengkapnya.
16. Hari
minggu pon wuku sinta (banyu pinaruh): Pelaksanaan dengan jalan berbersih
diri di sumber mata air saat matahari terbit di ufuk timur, berkeramas dan
berkumkuman (air bunga). Setelah pagi makan nasi kuning bersama-sama keluarga
c) Hari raya yang berdasarkan pada
panca wara
1.
Hari kliwon: Pemujaan terhadap Bhatara Siwa, dan bentuk upakara berupa segehan.
2. Hari
selasa kliwon (anggra kasih): Hari ini beryoganya bhatara Rudra, beliau beryoga
untuk menghilangkan mala petaka. Upakara yang dipersembahkan canang, lenga
wangi burat wangi, dipersambahkan di sanggar dan plangkiran
3. Hari
rebo kliwon: Hari pesucian Sang Hyang Bayu. Upakaranya berupa: wangi-wangi,
canang yasa, kembang phayas, dipersambahkan di sanggar dan plangkiran.
4. Hari
rebo wage (buda cemeng): Hari payoganya Bhatari Manik Galih,
menurunkan sumber kehidupan di Dunia. Upakaranya berupa: canang lenga wangi,
dipersembahkan ke Hyang Sri Nini.
5. Hari
sabtu kliwon (tumpek): Hari ini peyogannya Hyang Maha Wisesa (Tuhan maha
pencipta).
d) Upacara pada hari-hari
tertentu
1. Pada
waktu gerhana bulan: Upakaranya berupa: canang lenga wangi burat wangi, buah-buahan,
bubur biaung, penek putih kuning adananan, beserta bunga yang berbau harum, rujak
rantasan putih dan dupa astanggi.
2. Pada
waktu gerhana matahari: Upakaranya sama dengan upacara pada gerhana bulan (sekte sora).
b. Rsi Yajna
Rsi Yajna adalah pengorbanan suci kepada
para Rsi. Rsi Yajna berarti kurban suci keagamaan dari umat demi
kesejahteraan para Rsi atau punia
bagi para rsi sebagai pemuka agama yang mengamalkan ajarannya. Tujuan dari Rsi Yajna
ini adalah untuk menyucikan diri sesseorang secara lahir bhatin sehingga
menjadi sulinggih serta dapat meningkatkan kesejahteraan. Pelaksanaan Rsi Yajna yaitu:
a.
Mawinten
adalah upacara penobatan sebagai pandita
b.
Madiksa adalah upacara madwijati dari seorang walaka
untuk dinobatkan menjadi sulinggih
c.
Membangun tempat pemujaan untuk beliau
d. Menghaturkan dana punia kepada para
Sulinggih
e. Mentaati dan mengamalkan ajaran-ajaran
para Sulinggih
f. Membantu pendidikan agama bagi calon
sulinggih
Rangkaian
upacara diksa, yaitu sebagai berikut:
1.
Upacara majamuan
2.
Sembah pamit kepada keluarga
3.
Upacara mapinton yaitu upacara membersirkan diri
asucilaksana
4.
Upacara puncak yang terdiri dari upacara mati raga atau
penyekeban, upacara mandi, dan upacara puncak
5.
Loka Pala Sraya,
upacara ini terdiri dari upacara ngalinggihang weda dan upacara Matirtayatra
Dalam
melaksanakan suatu upacara yang besar seperti Tawur Kesangga, Panca walikrama, Eka Dasa Rudra biasanya yang muput
adalah Sang Tri Sadaka. Sang Tri
Sadaka yang dimaksud adalah sulinggih Siwa,
Buddha, atau sering juga diucapkan Sang Resi,
Siwa dan Sogata. Ketika sulinggih
ini mempunyai wewenang khusus sebagai berikut:
1)
Sang sulinggih Siwa:
sebagaipembersih atau menyucikan alam atas yaitu akasa. Melalui pujanya Sang
Sulinggih Siwa berwenang menghaturkan
munggah ke sanggar surya yang maksudnya mempersembahkan yadnya dari alam atas
ke bawah. Sulinggih Siwa berasal dari mazab Siwa.
Artinya sulinggih Siwa memiliki
keahlian menyucikan alam atas dan menurunkan kekuatan dari Sang Hyang Widhi.
2)
Sang sulinggih Buddha:
mempersembahkan atau menghaturkan yadnya pada alam tengah atau awing-awing.
Sang Sulinggih Buddha berasal dari
mazab Buddha yang memiliki keahlian
menyucikan alam tengah dan mempertemukan kekuatan suci Hyang Widhi dengan
kekuatan Bhuta kala yang telah di somya di alam bawah.
3)
Sang Sulinggih Resi,
Bujangga, Sengghu: beliau mempunyai wewenang sebagai pembersih atau
menyucikan alam bawah (bumi sapuh jagat). Beliau mempunyai keahlian menyucikan
alam bawah dan untuk nyupat Bhuta Kala atau menetralisir kekuatan-kekuatan
Bhuta kala sehingga menjadi somya
c. Manusa Yajna
Manusa Yajna adalah korban suci yang
bertujuan untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir bathin manusia mulai
dari sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai pada akhir hidup
manusia itu. Pembersihan lahir bathin manusia sangat perlu di lakukan selama
hidupnya, karena kebersihan itu dapat menimbulkan adanya kesucian. Kebersihan
(kesucian) secara lahir bathin ini dapat menghindarkan manusia itu sendiri dari
jalan yang sesat. Dengan kebersihan tersebut, manusia akan dapat berpikir,
berkata dan berbuat yang benar sehingga dapat meningkatkan dirinya ke taraf
hidup yang lebih sempurna. Unsur-unsur pembersihan di dalam Upacara Manusa Yajna dapat di ketahui dengan
adanya upakara-upakara seperti tirtha panglukatan atau tirtha pembersihan dan
lain sebagainya. Tirtha-tirtha ini adalah air suci yang telah di berkati oleh
sang sulinggih pandita (pendeta), sehingga air suci tersebut mempunyai “twah“ (wasiat),
yang secara spiritual dapat menimbulkan adanya kebersihan (kesucian) itu. Di
dalam Manusa Yajna, pada dasarnya
terdapat empat rangkaian upacara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat di
pisahkan. Adapun upacara-upacara tersebut antara lain adalah Upacara Mabhyakala
(Mabhyakaonan), Upacara Melukat (Mejaya-jaya), Upacara
Natab (Ngayab), dan Upacara Muspa. Masing-masing upacara ini mempunyai
maksud dan tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan untuk jenis-jenis Upacara Manusa
Yajna, di antaranya yaitu :
a. Upacara Pagedong-gedongan
(Garbha Wedana
atau Upacara Bayi dalam Kandungan) Upacara ini bertujuan memohon kehadapan
Hyang Widhi agar bayi yang ada di dalam kandungan itu di berkahi kebersihan
secara lahir bathin. Demikian pula ibu beserta bayinya ada dalam keadaan
selamat dan dikemudian setelah lahir dan dewasa dapat berguna di masyarakat
serta dapat memenuhi harapan orang tua. Di samping perlu adanya upacara semasih
bayi ada di dalam kan-dungan, agar harapan tersebut dapat berhasil, maka si ibu
yang sedang hammil perlu melakukan pantangan-pantangan terhadap perbuatan atau
perkataan-perkataan yang kurang baik dan sebaliknya mendengarkan
nasehat-nasehat serta membaca membaca buku-buku wiracarita atau buku lain yang
mengandung pendidikan yang bersifat positif. Sebab tingkah laku dan kegemaran
si ibu di waktu hamil akan mempengaruhi sifat si anak yangmasih di dalam
kandungan.
b. Upacara Bayi Lahir.
Upacara ini
merupakan cetusan rasa gembira dan terima kasih serta angayu Bagia atas
kelahirannya si bayi kedunia dan mendoakan agar bayi tetap selamat serta sehat
walafiat. Pada saat bayi lahir, yang perlu juga di perhatikan adalah upacara
perawatan Ari-ari. Ari-ari ini di cuci dengan air bersih atau air kumkuman,
kemudian di masukkan ke dalam sebutir kelapa yang di belah dua dengan Ongkara (pada
bagian atas) dan Ahkara pada bagian bawah. Kelapa tersebut di bungkus dengan
kain putih kemudian di pendam (di tanam) di muka pintu rumah (yang laki di
sebelah kanan dan yang perempuan di sebelah kiri). Setelah di tanam pada bagian
atasnya hendaknya di isi daun pandan yang berduri dengan tujuan untuk menolak
gangguan dari kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif.
c. Upacara Kepus Puser
Upacara ini juga di sebut Upacara Mapanelahan.
Setelah puser itu putus maka puser tersebut di bungkus dengan secarik kain,
lalu di masukkan ke dalam sebuah tipat kukur yang di sertai dengan bumbu-bumbu
dan kemudian tipat tersebut di gantungkan di atas tempat tidur si bayi. Mulai
saat inilah si bayi di buatkan Kumara, yaitu tempat memuja Dewa Kumara sebagai
pelindung anak-anak.
d. Upacara Bayi berumur 42 hari.
Upacara ini disebut juga upacara tutug kambuhan. Pada
usia 42 hari bayi di buatkan upacara Macolongan. Tujuannya adalah memohon pembersihan dari segala
keletehan (kekotoran dan noda), terutama si ibu dan bayinya di beri tirtha
pangklutan pabersihan, sehingga si ibu dapat memasuki tempat tempat suci
seperti Pura, Merajan dan sebagainya.
e, Upacara Nyambutin
Upacara Nyambutin ini diadakan setelah bayi
tersebut berumur 105 hari. Pada umur ini si bayi telah di anggap suatu
permulaan untuk belajar duduk, sehingga di adakan upacara Nyambuitn di
sertai dengan upacara “Tuwun di pane“ dan mandi sebagai
penyucian atas kelahirannya di Dunia. Upacara ini bertujuan untuk memohon
kehadapan Hyang Widhi agar jiwatman si bayi benar-benar kembali kepada raganya.
f.
Upacara Satu Otonan
Upacara satu
oton atau yang di sebut dengan Otonan ini di lakukan setelah bayi
berumur 210 hari, dengan mempergunakan perhitungan pawukon. Upacara ini
bertujuan agar segala keburukan dan kesalahan-kesalahan yang mungkin di bawa
oleh si bayi dan semasa hidupnya terdahulu dapat di kurangi atau di tebus,
sehingga kehidupan yang sekarang benar-benar merupakan kesempatan untuk
memperbaiki serta meningkatkan diri untuk mencapai kehidupan yang sempurna.
Serangkaian pula dengan Upacara Otonan ini adalah upacara pemotongan
rambut yang pertama kali, yang bertujuan untuk membersihkan ubun-ubun (Siwa
Dwara). Pelaksanaan upacara satu oton ini juga di maksudkan untuk memohon
kehadapan Ibu Pertiwi agar ikut mengasuh si bayi sehingga si bayi tidak
mendapatkan kesulitan, selamat dan tumbuh dengan sempurna. Untuk ini di adakan
pula upacara turun tanah yang di injakkan untuk pertama kalinya di beri gambar
bedawang nala sebagai lambang dasar dunia, sedangkan si bayi di tutupi dengan
sangkar yang di sebut sudamala.
g. Upacara Meningkat Dewasa (Munggah Daa).
Upacara ini bertujuan untuk memohon kehadapan
Hyang Widhi agar yang bersangkutan di berikan petunjuk atau bimbingan secara
gaib sehingga ia dapat mengendalikan diri dalam menghadapi masa pancaroba.
Upacara ini pada umumnya di titikberatkan pada anak perempuan. Hal ini mungkin
di sebabkan karena wanita di anggap kaum yang lemah serta lebih banyak
menanggung akibat pertimbangan-pertimbangan. Di samping itu, menurut Hindu
bahwa kaum wanita dapat di anggap sebagai barometer tingi rendah atau baik dan
buruknya martabat dari suatu keluarga dan lain-lain.
h. Upacara Potong Gigi
Upacara ini dapat di lakukan baik terhadap anak
laki-laki maupun anak perempuan yang sudah menginjak dewasa. Dalam Upacara
potong gigi ini, maka gigi yang di potong ada 6 (enam) buah, yaitu empat buah
gigi atas dan dua buah lagi gigi taring atas. Secara rohaniah pemotongan
terhadap ke enam gigi tersebut merupakan simbolis untuk mengurangi ke enam
sifat Sad Ripu yang sering menyesatkan dam menjerumuskan manusia ke dalam
penderitaan atau kesengsaraan. Sifat-sifat Sad Ripu yang di maksud adalah nafsu
birahi, kemarahan, keserakahan, kemabukkan, kebingungan dan sifat iri hati.
Tetapi secara lahiriah, pemotongan gigi itu dapat pula di anggap untuk memperoleh
keindahan, kecantikan dan lain sebagainya. Pelaksanaan Upacara Potong gigi ini
bertujuan, di samping agar yang bersangkutan kelak nanti setelah mati dapat
bertemu dengan para leluhurnya dan bersatu dengan Hyang Widhi, juga agar yang
bersangkutan selalu sukses dalam segala usaha, terhindar dari segala penyakit
serta dapat mengendalikan diri dan mengusir kejahatan.
a.
Upacara Perkawinan.
Upacara
perkawinan merupakan suatu persaksian, baik kehadapan Hyang Widhi Wasa maupun
kepada mayarakat luas, bahwa kedua mempelai mengikat dan mengikrarkan diri
sebagai pasangan suami istri yang sah. Di samping itu, di tinju dari segi
rohaniah, upacara perkawinan ini merupakan pembersihan diri terhadap kedua
orang mempelai, terutama terhadap benih atau bibit baik laki maupun perempuan (Sukla
dan Swanita), apabila bertemu agar bebas dari pengaruh-pengaruh buruk
sehingga dapat di harapkan atman yang akan menjelma adalah atman yang dapat
memberi sinar dan mempunyai kelahiran yang baik dan sempurna. Upacara
perkawinan, pada umumnya dapat di bagi atas dua bagian, yaitu Upacara
Makala-kalaan dan Natab. Upacara Makala-kalaan sebagai rangkaian
dari upacara perkawinan merupakan kebahagiaan tersendiri, karena secara
Samskara kedua mempelai ini di hadapkan kepada Hyang Widhi mohon pembersihan
dan persaksian atas upacara yang di laksanakan. Sedangkan upacara Natab
bertujuan untuk meningkatkan pembersihan, memberi bimbingan hidup dan
menentukan status kedua mempelai.
d. Pitra Yajna
Pitra Yajna berarti penyaluran (tenaga,
sikap, tingkah laku, dan perbuatan) atas dasar suci yang ditujukan kepada
leluhur, untuk keselamatan bersama. Tata cara Pitra Yajna adalah dengan menjaga beliau semasih hidup dan wewenang
yang mesti dilakukan setelah beliau meninggal adalah:
1)
Hembusan nafas terakhir
2)
Nyiramang Layon (memandikan mayat): Perlengkapan
yang dibutuhkan adalah: pepaga (tandu), ulap-ulap, daun pinang, air penyiraman
(air tawar, air asem, air kumkuman), alat-alat pangrinkes. Pelaksanaan pemandian
mayat adalah sebagai berikut: Menurunkan mayat dari balai, Memasang reramuan,
Bablonyoh, Eteh-eteh ,Bebek, Lengawangi, Kewangen-kewangen, Mewastra, Maktiang
ke surya (sekte Sora), Banten arepan,
Mapegat dan malelet.
3)
Mendem Sawa: Sebelum pelaksanaan mendem sawa mayat
dibuka baik tikar dll. Kemudian diperciki tirta penglukatan oleh pelaksana
upacara, lalu tirta pangentas dan terakhir tirta kawitan (sekte Waisnawa dan Sekte Ganesha). Mayat kembali dibungkus dan
dimasukkan ke dalam peti.
4)
Maktiang: Ngeseng ada tiga proses yaitu Sawa wedana (ngeseng sawa secara langsung
dengan segala upacaranya, Asti wedana (ngeseng yang dibakar kembali
dari bangbang (ngangkid) dengan segala upacaranya dan Swasta (upacara
atiwa-tiwa terhadap mayat yang tidak dijumpai badan kasarnya. (a) Sawa Wedana
jenis upakara sebelum mayat itu digeseng yaitu: bubur pirata putih kunin 2
tanding, canang 7 tanding, beras catur warna masing-masing 1 ceper (merah,
putih, kuning, hitam), selanjutnya ngeseng saang. Setelah sawa menjadi abu di atasnya
ditutup air secukupnya dan air penyeeb lalu dilakukan ngereka badan dengan abu.
Kemudian disiapkan pejati selengkapnya, untuk dihaturkan di Mrajapati, pengulun
setra. Pelaksaan menglantunkan doa dan diakhiri dengan persembahyangan.
Selanjutnya rerekayan dibungkus dan dihanyutkkan ke laut. (b) Asti Wedana tata cara
pelaksanaannya yaitu: ngaturang iuning di Pura dalem, Mgulapin di Mrajapati,
Ngangkid, Ngulapin di setra, ngringkes, ngeseng dan nganyut upacara sama dengan
(Sawa wedana). (c) Swasta sawa diganti dengan
simbul tirta (Toya Carira), kemudian pelaksanaannya sama dengan
tahap Asti
wedana hanya saja tidak terdapat upacara ngrinkes dan ngangkid. (d) Nglungah
bayi yang meninggal berumur 42 atau sebelum tanggal gigi. Tata cara
pelaksanaannya yaitu : piuning ke Pura dalem, piuning ke Mrajapati, piuning
ke sedahan setra, roh bayi dan tirta (tirta pengerampuh yang dimohon di pura
Mrajapati)
e. Bhuta Yajna
Bhuta Yajna adalah suatu korban suci
yang bertujuan untuk membersihkan tempat (alam semesta beserta isinya) dan
memelihara serta memberi penyupatan kepada para bhuta kala dan mahkluk-mahkluk
yang dianggap lebih rendah dari manusia. Seperti diketahui bahwa bentuk upakara
Bhuta Yajna di Bali khususnya,
mempergunakan banyak jenis hewan. Makin tinggi upacaranya makin banyak hewan
yang dipotong. Upakara-upakara dalam Bhuta
Yajna itu digolongkan menjadi dua golongan yaitu:
1)
Upakara yang berfungsi sebagai pembersihan misalnya byakala,
prayascita, durmangala, caru resigana, panca
kelud dll.
2)
Upakara yang berfungsi untuk pemeliharaan dan
penyupatan terhadap Bhuta kala dan mahkluk-mahkluk tersebut, misalnya segehan
kepel, segehan cacahan segehan agung, gelar
sangga, dan beberapa jenis caru.
Pada umunya
untuk melaksanakan yadnya akan diperlukan air (sekte waisnawa) dan api (sekte
Brahmana), baik itu dalam Manusia Yajna,
Dewa Yajna, Rsi Yajna dan Pitra Yajna.
Namun dalam Bhuta yadnya sedapat mungkin menggunakan api takep dan tetabuhan.
Api takep ini taruh bersilangan seperti swastika yang bermakna lambing
keseimbangan. Sedangkan tetabuhan adalah 5 jenis zat cair yaitu arak, tuak,
berem, air dan darah (sekte Bhairawa). Pengunaan
darah ini berfungsi sebagai sabuh rah. Dalam penggunaan zat cair ini harus
terciprat tiga kali, begitu juga halnya dengan sabuh rah. Secara sederhana
tetabuhan ini adalah minuman dari bhuta kala, peri, jin, setan,
dll. Menurut kepercayaan lauk pauk yang disukainya oleh para Bhuta kala
tersebut adalah yang berbau amis, seperti berambang, jae, jejeroan yang mentah (sekte Bhairawa) dll
Berdasarkan fungsi nomor dua di atas
upakara sebagai penyupatan bhuta kala, ada beberapa jenis macam
segehan (segehan kepel, segehan cacahan
penggunaannya misalnya saat purnama tilem, kliwon, piodalan
Bhatara Saraswati, dan segehan agung segehan ini biasanya digunakan dalam
upacara-upacara besar) serta jenis caru (caru manca warna,
caru panca sata, caru ayam brumbun dll) (sekte Bhhairawa).
4. Pelaksanaan Panca
Yajna Bentuk Kristalisasi Sekte-Sekte di Bali
Panca
Yajna adalah lima macam korban suci yang patut
dipersembahkan oleh umat Hindu ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta
manifestasinya. Tujuannya adalah
untuk mewujudkan sradha atau keyakinan, menyampaikan rasa hormat,
memohon kesucian, perlindungan dan menyampaikan rasa syukur atas rahmat,
memohon kesucian, perlindungan dan menyampaikan rasa syukur atas rahmat yang
dianugrahkan-Nya. Pelaksanaan Panca Yajna
merupakan realisasi dari ajaran Tri Rna yaitu tiga macam hutang yang kita
miliki dalam hidup dan kehidupan ini. Umat manusia akan merasa berdosa dalam hidup ini wajib kita bayar. Cara
atau upaya untuk membayar Rna (hutang-hutang) tersebut dirumuskan dalam Panca
Yajna (Sudirga, 2004:97). Dewa Yajna adalah Yajna yang ditujukan kepada Tuhan dan manifestasi-Nya. Pitra Yajna adalah Yajna yang ditujukan kepada orang tua atau leluhur secara sekala
dan niskala. Rsi Yajna adalah Yajna yang ditujukan kepada orang suci
atau Mahaguru. Bhuta Yajna adalah Yajna yang ditujukan kepada semua
makhluk ciptaan Tuhan. Manusia Yajna yaitu
Yajna kepada sesama manusia (Surayin,
1993:3).
Kristalisasi
sekte Brahmana di
Bali adalah seperti yang sudah
disebutkan di atas bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang berasal dari
golongan Brahmana. Setiap pelaksanaan upacara Panca Yajna di Bali memerlukan seorang Brahmana yang sering disebut
dengan pemangku, pandita, pinandita, sri
mpu, sulinggih. Dimana kewajiban seorang sulinggih terhadap masyarakat
yaitu memimpin dan memuput upacara Yajna
atau upacara keagamaan, memberikan dewasa (menunjukkan hari-hari baik) untuk
melaksanakan upacara Yajna (Sukartha,
2002:24).
Kemudian pada sekte Sora dimana pemujaannya terhadap Dewa Surya yang disimbolisasikan sebagai
penguasa Matahari. Dimana matahari menyinari Dunia beserta isinya, merupakan
sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup di dunia. Karena hal inilah di Bali
di setiap rumah kepala keluarga dibuatkan Sanggah
Surya sebagai saksi bahwa seseorang sudah melakukan upacara Yajna.
Pada
Sekte
Waisnawa, karena pemujaannya terhadap Dewa Wisnu dan Dewi Laksmi di mana
disimbolisasikan bahwa Dewa Wisnu itu sebagai penguasa air dan Dewi Laksmi
sebagai penguasa padi/beras. Apabila dikaitkan dengan setiap pelaksanaan Panca
Yajna selalu menggunakan air dan
beras yang kemudian dijadikan tirtha dan bija. Tirtha atau air suci dibedakan
menjadi 2 jenis. Yaitu tirtha yang didapat dengan cara memohon ke hadapan Tuhan
Yang Maha Esa beserta manifestasinya, dan tirtha yang dibuat oleh para
sulinggih melalui pujanya.
Menurut
ajaran agama Hindu tirtha memiliki fungsi sebagai sarana untuk membersihkan
menyucikan lahir dan bathin umat manusia dari kotoran maupun kecemaran atau
leteh. Adapun cara penggunaannya adalah dipercikkan di kepala diminum dan
diraupkan pada muka, masing-masing tiga kali. Hal ini merupakan simbolis
pembersihan dan peyucian dari sabda, bayu, dan idep yang ada pada diri umat
manusia. Selain menggunakan tirtha sebagai sarana peyucian dalam
persembahyangan juga digunakan wija atau bija dan bhasma yang juga disebut gandhaksta. Bija adalah biji beras yang
direndam dengan air cendana. Cara penggunaannya adalah ditempelkan diantara
kedua kening (tengahing lelata) dan pada
tempat lainnya. Bija adalah simbol atau lambang kehidupan sebagai benih dari
Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan bhasma adalah lambang peleburan dosa atau
kekotoran yang terdapat pada tubuh manusia.
Adapun
jenis-jenis tirtha berdasarkan fungsinya dalam pelaksanaan upacara Panca
Yajna secara umum dapat dibedakan
sebagai berikut:
a) Tirtha
Pembersihan: Merupakan tirtha yang difungsikan untuk membersihkan dan
menyucikan para umat yang akan melaksanakan persembahyangan dan juga
membersihkan serta menyucikan berbagai macam upakara persembahan.
b) Tirtha
Pengelukatan: Merupakan tirtha yang difungsikan untuk membersihkan dan
menyucikan para umat yang akan sembahyang dan upakara yang akan dipersembahkan,
agar segala kotoran dan letehnya menjadi suci.
c) Tirtha
Wangsuhpada: Merupakan tirtha sebagai lambang amartha yang merupakan
anugerah dari Tuhan dan Para Dewata, yang dapat dimohon oleh umat. Pada saat
menerima tirtha wangsuhpada sikap tangan tengadah dengan telapak tangan kanan
diatas telapak tangan kiri, siap untuk menerima tirtha yang dipercikkan tiga
kali di ubun-ubun, diminum tiga kali dan diraupkan tiga kali. Dengan tujuan
untuk menyucikan pikiran, perkataan dan perbuatan yang disebabkan oleh sthula,
suksma dan antahkarana sarira.
d) Tirtha
Pemanah: Merupakan tirtha yang dimohon oleh umat pada sumber mata air,
seperti campuhan, yang biasanya dipergunakan dalam rangka upacara Pitra Yajna.
e) Tirtha
Penembak: Merupakan tirtha yang dibuat oleh Sang Sulinggih, Pendeta atau
Sang Dwijati yang difungsikan dalam rangka upacara Pitra Yajna.
f) Tirtha
Pengentas: Merupakan tirtha yang dibuat oleh para Sulinggih yang
difungsikan dalam rangka upacara kematian, Pitra Yajna.
Jenis-jenis
tirtha sebagai lambang atau simbol upacara agama dapat dibedakan, sebagai
berikut:
a) Tirtha
berfungsi sebagai lambang penyucian dan pembersihan
Upacara
atau banten yang akan dipersembahkan dalam rangka upacara agama, seperti panca
yadnya sebelum dipersembahkan hendaknya dibershkan dan disucikan dengan
memergunakan tirtha pembersihan dan penyucian ebagai lambang atau simbol yang
dibuat oleh pendeta atau sulinggih. Kewajiban untuk menyucikan upakara atau
banten yang akan dipersembahkan kehadpan Tuhan beserta manifestasinya.
Disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa Gong Wesi,
“Salwir bebanten yajna matirtha karyan
Pedanda Putus tan katampi
aturannya”.
Artinya :
Segala sajian atau bebanten bila tidak
disuckan dengan tirtha yang dibuat oleh Pendeta utama, tidak akan diterima
persembahannya.
b) Tirtha
yang berfungsi sebagai Pengurip atau Pencipta
Tirtha
yang dipergunakan untuk membersihkan dan menyucikan upakara atau bebanten juga
berfungsi sebagai sarana untuk menjiwai upakara yang akan dipersembahkan oleh
umat ke hadapan Tuhan beserta manifestasinya. Dengan demikian banten yang
dibuat dari kumpulan rangkaian bunga, buah, daun dan jajan setelah diperciki
tirtha pengurip secara resmi menjadi sarana agama yang bernilai sakral dan
memiliki jiwa secara spiritual. Tirtha penguripbiasanya juga dipergunakan oleh
para undagi atau tukang bangunan untuk melaspas atau menghidupkan bangunan yang
sudah selesai dibangun. Tirtha pengurip ini adalah permohonan ke hadapan sang
Hyang Paramasiwa agar sudi menjiwai secara spiritual banten atau bangunan yang
baru selesai dibuat.
c) Tirtha
yang berfungsi sebagai Pemelihara
Tirtha
juga befungsi sebagai pemelhara. Dalam pelaksanaan Yadnya tirtha berfungsi
sebagai lambang berkah uci atau anugrah dari Ia Sang Hyang Widhi Wasa beserta
manifestasinya kepada umatNya. Pada saat dilaksanakannya upacara Puja Wali atau
Patithan di suatu tempat suci setelah dilangsungkannya persembahyangan
dilanjutkan engan pemercikan tirtha, untuk diminum an diraupkan pada wajah
masing-masing umat. Tirtha dam hal ini dijiwai oleh Dewa Wisnu sebagai lambang
sthiti atau kehidupan (Sudirga, 2004:73-77). Jadi sudah jelas, bahwa penyatuan
dari sekte Waisnawa dalam pelaksanaan
Panca Yajna di Bali ditandai
dengan ada tirtha dan bija di setiap pelaksanaannya.
Kemudian
Sekte
Bhairawa seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa sekte ini memuja
Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaannya terhadap Dewi Durga di Pura Dalem
yang ada di setiap desa pakraman di Bali. Kalau di dalam Panca Yajna pengaruh dari sekte bhairawa ini
adalah dilaksanakannya Bhuta Yajna.
Oleh masyarakat Hindu butha kala sering dibayangkan sebagai makhluk halus
dengan rupa yang menakutkan dan sering menimbulkan gangguan serta bencana,
tetapi bila dierhatikan (diberi korban) mereka akan membantu serta melindungi.
Di
dalam kitab Purwaka Bumi Kemulan djelaskan bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa
telah menciptakan:
a) Sang
Kursika berwarna putih, kemudian menjadi Bhuta Dengen berwujud Yaksa
bertempat di Timur.
b) Sang
Garga berwarna merah kmudian menjadi Bhuta Abang berwujud Mong bertempat di
Selatan.
c) Sang
Metri berwarna kuning, menjadi Bhuta Kuning berwujud ular bertempat di
Barat.
d) Sang
Kurusya berwarna hitam, menjadi Bhuta Hireng, erwujud buaya bertempat di
Utara.
e) Sang
Pretanjala berwarna brumbun (wiswa warna) bertempat di arah
tengah bersama dengan Bhatari Uma dan berwujud bhuta disebut Durga Dewi.
Sarana yang biasa digunakan dalam upacara Bhuta
Yajna yaitu banten caru dan juga api.
Api ini memiliki banyak fungsi. Tidak hanya digunakan dalam upacara bhuta
Yajna tetapi digunakan dalam semua jenis Yajna. Adapun jenis-jenis upacara Bhuta
Yajna diantaranya:
a. Segehan serta banten yang
setingkat
1) Segehan kepelan dan segehan
cacahan: Kedua jenis segehan ini dapat digunakan untuk
menyertai upacara Panca Yajna
seperti Kliwon, Saraswati, Galungan, Kuningan, Otonan memujung ke setra dan
upacara-upacara bhuta Yajna.
2) Segehan Agung: Segehan ini digunakan agak khusus misalnya
memendak membuka tanah baru baik untuk perumahan maupun untuk pura dan
digunakan pula dalam upacara-upacara besar seperti caru dan tawur.
3) Gelar Sanga: Banten ini selalu ditaruh dibawah sanggar
pesaksi dalam upacara caru atau tawur, misalnya untuk memendak, ngelebar dan
lainnya.
4) Banten Prayascita: Banten ini berfungsi sebagai pembersihan
terhadap tempat atau bangunan terutama yang baru diperbaiki, pada diri seorang
yang sehabis kecuntakaan, dan lainnya.
b. Caru
Adapun
beberapa jenis caru yang biasa digunakan oleh umat Hindu dalam pelaksanaan
yadnya, diantaranya:
1) Caru
Ayam Brumbun: Caru ini
disebut pula caru pengruak dan caru ini dipergunakan ada waktu piodalan di pura
serta merajan baik sebagai pendahuluan, sebelum mulai bekerja maupun menyertai
piodalan tersebut. Adapun tujuan dari caru ayam brumbun ini adalah untuk
menyucikan tempat-tempat dalam arti membebaskan dari pengaruh buruk yang
disebabkan oleh kekuatan-kekuatan para Bhuta Kala sehingga keharmonisan dapat
diwujudkan.
2) Caru
Panca Sata: Caru ini
adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam yang disesuaikan dengan arah
pengider-ider (arah mata angin). Penggunaan caru Panca Sata ini adalah untuk
upacara melaspas di pura atau di sanggar perumahan serta sebagai dasar dalam
penggunaan biatang-binatang lainnya seperti penggunaan itik, asu bang bungkem,
kerbau, kambing dan lainnya sehingga cara Panca Sata ini dianggap sebagai dasar
caru berikutnya.
3) Caru
Panca Kelud: Caru ini mempergunakan
lima ekor ayam ditambah dengan seekor itik belang kalung dan seekor asu bang
bungkem. Caru ini dipergunakan sebagai dasar dalam upacara-upacara Mapedanan,
ngenteg linggih, odalan, baik disanggar perumahan, di kahyangan bila terjadi
hal-hal yang dianggap kurang baik ada tempat-tempat tersebut.
4) Caru Rsi
Gana: Caru ini tidak
digunakan secara umum melainkan pada tempat-tempat dan bila ada
kejadian-kejadian tertentu misalnya, tempat dianggap angker, sering menimbulkan
bencana, penyakit, dan lainnya.
c. Tawur / Caru Kesanga (untuk Menyambut Tahun
Baru Caka)
salah
satu contoh Tawur adalah Tawur ke Sanga. Tawur ke Sanga adalah upacara Bhuta
Yajna yang bertujuan untuk menyucikan
buana agung (alam semesta) dengan sarana utama api (ngerupuk) dan tirtha.
Sedangkan hari Nyepi adalah penyucian buana alit (diri manusia) dengan
pengendalian diri dan pemusatan pikiran ke hadapan Sang Hyang Widhi (Supartha,
1994:66-69).
Dalam
persembahyangan api itu diwujudkan dengan dhupa (dupa) dan dipa. Dupa
adalah sejenis ramuan yang dibakar sehingga berbau wangi. Dupa dengan nyala
apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi sebagai pendeta pemimpin upacara,
sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja, sebagai
pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jaha dan sebagai saksi upacara yadnya.
Penggunaan api dalam kehidupan beragama Hindu memiliki dasar yang bersumber
dari kitab-kitab suci Wedangga yang terdiri dari kitab Siksa, Wyakarana,
Chandra, Nirukta, Jyotisa dan Kalpa. Api dalam istilah agama Hindu disebut
Apuy, Agni, Wahn. Api sebagai sumber kehidupan dewanya Brahma. Sifat api adalah
menerangi atau menyinari dan “dharmanya” membakar. Adapun fungsi api di dalam
pelaksanaan upacara yadnya di Bali:
a) Api
sebagai pendeta pemimpin upacara
Dhupa
dan dipa adalah sarana pendeta dalam memimpin upacara. Dhupa adalah wangi-wangian yang dipakai dalam upacara. Sarana ini
disamping dpakai oleh pendeta, umat yang akan mengikuti persembahyangan pun
harus menyiapkan dhupa. Sedangkan dipa
adalah lampu yang memakai minyak kelapa dengan bentuk tertentu, di masyarakat
oleh umat sering disebut Pedamaran
Ida Pendanda. Sarana ini hanya boleh dipakai oleh Pendeta dalam memimpin
upacara. Dhupa adalah lambang akasa
tattwa dan dipa merupakan lambang sakti
tattwa.
b) Api
sebagai perantara pemuja dan yang dipuja
Fungsi
api sebagai perantara yang meghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja yang
dipentingkan adalah asap yang berbau harum itu berhembus ke atas, terus luluh
beersatu dengan angkasa.
c) Api
sebagai pembasmi kotoran dan pengusir roh jahat
Karena
sifat api yang sarwa bhaksa yaitu
memakan segala macam benda, dalam upacara-upacara agama Hindu di Bali digunakan
sebagai lambang pengusir atau pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat.
Dalam hal ini api diwujudkan dalam beberapa upacara agama dengan berbagai
bentuk diantaranya:
(a) Api
Takep: Dibuat dari dua belahan serabut kelapa bagian luar dari kulit
kelapa, dibentuk bertumpuk menyilang seperti bentuk tamda tambah atau bentuk
dasar dari swastika, di dalamnya diisi api. Api ini digunakan untuk
menghantarkan upacara segehan di lebuh atau di pintu gerbang rumah. Dihaturkan
di bawah pada pintu keluar masuk rumah. Api ini merupakan lambang dari swastika
yaitu lambang keseimbangan, sedangkan api yang didalamya adalah lambang kekuatan
jiwatman yang dapat menumbuhkan ketahanan diri dalam menghadapi godaan-godaan
yang bersifat negatif.
(b) Api
Prakpak: Api ini yaitu beberapa helai daun janur yang sudah kering (danyuh)
diikat pada ujungnya, kemudian dibakar sehingga berupa obor. Api digunakan pada
hari “Hari Tawur Kesanga” pada sore
harinya setelah menghaturkan upacara segehan di halaman “sanggah atau merajan”
dan dipintu halaman masuk pekarangan rumah lalu dilanjutkan dengan mengelilingi
rumah tiga kali dengan membawa api obor dari daun kelapa yang kering itu.
(c) Api
Tetimpug: Api ini dibuat
dari tiga potong bambu yang masih muda dan hijau lalu diikat menjadi satu diisi
“sampaian sasap” yaitu sampaian yang dibuat dari sepotong janur
yang bentuknya sedemikian rupa, sehingga berisi mata dua. Sampaian ini
bermaksud untuk memberikan jiwa secara simbolis kepada ketiga potong bambu itu.
Lalu bambu itu diletakkan dibawah masing-masing ujungnya dialasi dengan batu
atau bata dan dibawahnya lalu dibakar. Api ini digunakan pada upacara perkawinan
tahap pertama yaitu waktu upacara “mabia kawon” atau “pekala-kalaan”,
upacara “makekelud” upacara ini adalah upacara bhuta yadnya untuk
menghilangkan “cuntaka atau sebel” akibat kematian salah satu anggota
keluarga. Biasanya dilangsungkan setelah penguburan jenasah sudah lewat 12
hari. Fungsinya adalah untuk melenyapkan rasa duka atau bela sungkawa atas
kematian salah satu anggota keluarga.
(d) Api
Tabunan: Bentuknya mirip
dengan api unggun. Apabila ada umat Hindu yang tertimpa kecelakaan sampai ada
darah yang tercecer di tanah atau di jalan, maka darah yang tercecer itu dapat
mendatangkan roh jahat. Darah yang tercecer itu harus disucikan. Api ini juga
berfungsi untuk melepaskan ikatan roh atau jiwa orang yang mengalami kecelakaan
itu, pada darah yang merupakan bagian tubuhnya yang amat penting. Karena
keterikatan roh orang yang kcelakaan itu, baik orangnya masih hidup maupun
meninggal, diyakini akan membawa pengaruh buruk pada orang tersebut.
5) Api
Citagni: Api juga
berfungsi pada upacara Ngaben dimana unsur-unsur Panca Maha Bhuta dibakar oleh
api. Menurut kepercayaan Hindu api ini berfungsi untuk mengembalikan
unsur-unsur Panca Maha Bhuta pada asalnya di Bhuwan Agung, agar Sang Hyang Atma
semakin dekat dengan penciptanya.
Kemudian
dalam upacara Manusa Yajna, ketika bayi baru lahir, ari-arinya (placenta) ditanam di atas gundukan
tanaman. Di atas gundukan itu setiap sore diisi dengan api dalam bentuk lilin
atau lampu tradisinal. Maka api dalam upacara penanaman ari-ari (placenta) tersebut adalah untuk melindungi
ari-ari itu dari gangguan roh jahat. Penggunaan api sebagai pembasmi kotoran
dalam upacara Manusa Yajna
juga lihat pada upacara si bayi berumur tiga bulan wuku atau 105 hari. Bentuk
api dalam upacara ini adalah berbentuk linting.
d) Api sebagai saksi upacara dalam kehidupan
Dupalah
yang berfungsi sebagai saksi persembahyangan. Api dupa lambang api saksi,
sedangkan asapnya lambang gerakan rohani menuju angkasa, lambang stana Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dan Dewa-Dewa manifestasi-Nya. Api dupa adalah angga sarira
Hyang Agni. Api dengan sinarnya adalah penerangan dalam alam ini. Ini berarti
bahwa Hyang Agni adalah maha melihat atau saksi dari segala perbuatan manusia
(Wiana, 2005:69)
Dari
kedua sarana upacara bhuta Yajna
yaitu banten caru dan juga api di sini menunjukkan bahwa sarana-sarana
tersebut saling melengkapi satu sama lain. Dipembahasan di atas dinyatakan
bahwa sekte Bhairawa ini identik dengan kekuatan magic. Biasanya sarana yang
digunakan adalah menyukai darah atau daging mentah. Hal ini masih diwarisi
dalam masyarakat Bali sekarang di mana biasanya disetiap akan melaksanakan
suatu Yajna masyarakat biasa ngelawar. Ngelawar ini adalah realisasi
dari sekte Bhairawa.
Selain
sarana upacara yang telah disebutkan diatas di dalam melaksanakan upacara Panca
Yajna juga tidak terlepas dengan
menggunakan sarana bunga. Bunga sebagai simbol Siwa atau Tuhan dalam
sembahyang, bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua telapak tangan
disaat sembahyang. Setelah selesai sembahyang, bunga tadi biasanya diselipkan
di atas kepala atau disumpangkan pada kedua daun telinga. Bunga berfungsi
sebagai sarana persembahan sehingga bunga dipakai untuk mengisi upakara atau
sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Para Dewata,
Bhatara-Bhatari, dan roh suci leluhur. Bunga merupakan simbol persembahan yang
tulus dan ikhlas, kesucian dan sifat maha kasih.
Dalam
sarana sembahyang bunga dirangkai dalam bentuk canang yang di dalamnya terdiri
dari:
1) Porosan: Merupakan unsur
sarana pokok dalam canang. Posoran dibuat dengan sarana sirih, kapur, dan buah
yang dijepit atau dibungkus dengan bentuk lancip dari potongan janur. Lontar
Yajna Prakerti menyebutkan bahwa porosan adalah lambang untuk memuja Ida Sang
Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Tri Murti. Pinang atau buah
sebagai lambang pemujaan kepada Dewa Brahma, siri sebagai lambang pemujaan
kepada Dewa Wisnu, dan kapur sebagai lambang pemujaan kepada Dewa Siwa.
2) Plawa: Plawa juga disebut daun-daunan.
Berdasarkan penjelasan lontar Yajna Prakerti, plawa melambangkan tumbuhnya
pikiran yang hening dan suci. Umat Hindu di dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa
dalam fungsinya sebagai Sang Tri Murti hendaknya berusaha menumbuhkan pikiran
yang suci dan hening. Pikiran yang tumbuh dengan suci dan hening akan dapat
menangkal atau mengendalikan umat manusia dari pengaruh-pengaruh yang buruk
atau jahat. Tuhan Yang Maha Esa akan menganugrahkan rahmatNya kepada umatNya
yang berpikiran suci dan hening.
3) Bunga: Bunga yang terdapat dalam canang melambangkan
keikhlasan.
4) Tetuwasan, reringgitan dan jejahitan: Tetuwasan, reringggitan dan jejahitan
merupakan lambang keteguhan atau kelanggengan umat manusia. Pada zaman modern
seperti ini, banyak sekali unsur-unsur yang dapat menggoyahkan pikrian umat
manusia. Keteguhan dan kelanggengan pikiran hendaknya tetap dipertahankan untuk
menuju kebaikan dan kebenaran. Pikiran yang teguh dan langgeng tetap dibutuhkan
untuk menuju jalan suci dan kebenaran Tuhan karena godaan-godaan akan silih
berganti datang menggoyahkan cita-cita suci tersebut.
5) Urassari: Dibuat dari garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu sebagai bentuk
sederhana dari Swastka. Hiasan urassari dalam bentuk lingkaran
menjadikanya menyerupai bentuk cakra. Urassari yang tersusun dengan jejahitan
tetuwasan dan reringgitan tertata sedemikian rupa menjadikan bentuk lingkaran
menyerupai bentuk Padma Astadala. Ini merupakan lambang sthana Ida Sang Hyang
Widhi Wasa degan delapan penjuru mata anginnya. Berdasarkan ajaran Hindu alam
semesta ini tercipta oleh Tuhan melalui tiga proses, antara lain: pertama,
Srati adalah proses penciptaan alam semesta beserta isinya melalui evolusi dua
unsur seperti purusa dan predana. Kedua, Swastika adalah proses ketika alam
mencapai puncak keseimbangan yang bersifat dinamis. Kondisi seperti ini yang
dilambangkan dengan jejahitan urassari. Dasar pembuatan dari garis silang atau tampak dara adalah ujung-ujung dari
urassari menunjukkan arah catur loka pala dan hiasan yang melingkar menjadi
bentuk swastika serta menjadi bentuk Padma Astadala. Padma Astadala adalah
lambang perputaran alam yang dinamis dan seimbang sebagai sumber kehidupan
menuju kebahagiaan. Ketiga, Pralaya
adalah proses alam semesta lebur kembali menuju asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha
Esa sebagai Pencipta (Sudirga, 2005:59-62).
5. Tokoh Penyebar Ajaran Sivasiddhanta
Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam
bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu
Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu
memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu
Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran
cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad
ke delapan sampai ke-empat belas yaitu:
a. Danghyang Markandeya
Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di
Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir
(sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur
emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal
lalang Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya
dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua
ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama
Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali
mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali
karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut
petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten.
Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu:
Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang.
Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi
berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan
bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol
matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura
antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari
Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon
yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi,
digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah.
b. Mpu Sangkulputih
Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu
Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat
variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan
menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang,
daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang
komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan,
canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca
warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten
dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar
timbul getaran-getaran spiritual.
Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya
menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga
pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan
batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Tak
kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari
Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya:
Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Abatan resmi beliau adalah Sulinggih
yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah
didirikan oleh Danghyang Markandeya.
c. Mpu Kuturan
Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana
Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di
Bali. Pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagai macam aliran atau sekte
yang berkembang di Bali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai
pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep
Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura
Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg
(Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.
Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal
(pangider-ider).
Seperti disebutkan oleb R. Goris pada masa Bali
Kuna berkembang suatu kehidupan keagamaan yang bersifat sektarian. Ada sembilan
sekte yang pernah berkembang pada masa Bali Kuna antara lain sekte Pasupata,
Bhairawa, Siwa Shidanta, Waisnawa, Bodha, Brahma, Resi, Sora dan Ganapatya. Diantara sekte-sekte tersebut Siwa Sidhanta merupakan sekte yang sangat
dominan (Ardhana 1989:56). Masing-masing
sekte memuja Dewa-Dewa tertentu sebagai istadewatanya atau sebagai Dewa
Utamanya dengan Nyasa (simbol) tertentu serta berkeyakinan bahwa Istadewatalah yang
paling utama sedangkan yang lainnya dianggap lebih rendah. Perbedaan-perbedaan
itu akhirnya menimbulkan pertentangan antara satu sekte dengan sekte yang
lainnya yang menyebabkan timbulnya ketegangan dan sengketa didalam tubuh
masyarakat Bali Aga.
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat yang membawa dampak
negatif pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Akibat yang bersifat negatif ini bukan saja
menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas sampai pada pemerintahan kerajaan
sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar dan terganggu. Dalam kondisi
seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu mendatangkan
rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah dikenal sejak
dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur.
Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan
untuk mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
a) Mpu Semeru, dari sekte Siwa
tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, bertepatan dengan hari
Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka yaitu tahun caka 921
(999M) lalu berparhyangan di Besakih.
b) Mpu Ghana, penganut
aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku Kuningan tanggal 7
tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
c) Mpu Kuturan, pemeluk
agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku
pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau
tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
d) Mpu Gnijaya, pemeluk
Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku Dungulan, bertepatan sasih
kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa dikwitangcu (tahun
caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis (Lempuyang)
d. Mpu Manik Angkeran
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas
beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit
putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke
Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang
menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang
Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek.
e. Mpu Jiwaya
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran
Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).
Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik
yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian
senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll.
f. Danghyang Dwijendra
Datang di Bali pada abad ke-14 dari desa keling di
jawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana
Siwa, ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau
mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham
Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha
Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah
pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah
pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Danghyang Dwijendra mempunyai
Bhiseka lain: Mpu/Danghyang Nirarta, dan dijuluki: Pedanda Sakti Wawu Rawuh
karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong
sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan).
Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan
rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan
peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur
tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi
subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan
karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau
kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain: Sebun bangkung, Sara
kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk
menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif
mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing
umat misalnya: Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit
Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi
(Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki,
Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll. Ke-enam tokoh suci tersebut telah
memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga
terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan
Hindu di luar Bali, karena di bali sesungguhnya Siwa Sidhanta dan Buddha
kasogatan menjadi satu dalam keseharian hidup dan ritual orang Bali.
AJARAN-AJARAN
DALAM SIVASIDDHANTA
1. Sivasiddhanta Dualis
Saivasiddanta Dualis yang diuraikan disini
merupakan suatu aspek dari aliran Siddantha Saivaisme, yang mengakui Autoritas
28 Saivagama, seperti yang diuraikan di depan dan apabila kita bandingkan
dasar-dasarnya dengan sisitem fisafat India lainnya, kita mendapatkan bahwa ia
memiliki dasar yang berbeda dengan Vaisesika, Nyaya, Samkhya dan Vedanta.
a.
Teori metafisika dari Saivasidanta dualis
berbeda dengan teori dari Vaisesika dan ia menerima teori evolusi yang sama
seperti dalam sistem filsafat Samkhya. Ia memandang bahwa maya berkembang
meninggalkan keadaan yang pertama untuk memasuki keadaan yang berikutnya,
seperti susu yang memasuki keadaan dadih susu. Ini merupakan Satkaryavada, yang berpendapat
bahwa dadih susu menjadi berwujud (abhivyajyate). Karena itu ia
menyatakan bahwa maya berkembang menjadi kala, dsb, seperti susu menjadi dadih
susu. Tetapi maya tidak mengeluarkan dirinya sendiri dalam evolusinya seperti
yang dilakukan susu pada dadih susu, evolusinya adalah sebagaian, seperti
perubahan dalam Ghee (mentega), karena dari jatuhnya seekor serangga
kedalamnya, hanya merupakan suatu jumlah yang kecil dari padanya (ghrtakitanyaya);
jadi ini merupakan Satkaryavada, sebagai lawan dari Asatkaryavada, sebagai
lawan dari Asatkaryavada Vaisesika.
b.
Karma menurut Saiva Siddhanta Dualis merupakan
sifat dari Budhi dan bukan sifat dari atman seperti pendapat dari Vaisiseka;
karena mengakui karma sebagai sifat dari atman merupakan pengakuan bahwa atma
tidak abadi, karena adanya perubahan, yang disebabkan oleh perubahan karma.
c.
Demikianlah pula halnya dengan Kala, yang
menurut Saiva Sidhanta dualis tidak
abadi, karena ia tak berjiwa dan banyak, seperti waktu yang lalu, sekarang dan
yang akan datang; namun vaisiseka mengakui bahwa “waktu itu adalah kekal
d.
Ia berbeda dengan vaisiseka, dalam anggapan
tentang asaka menjadi ruang dimana semua materi ada dan dalam uraian tentang Sabda (suara) yang bukan
hanya sifat dari akasa saja seperti seperti pendapat dari Vaisiseka, tetapi
juga sifat dari tanah, udara, air dan api, karena suara-suara tertentu
benar-benar diketemukan pada materi-materi tersebut. Sambil lalu dapat
diketengahkan di sisni bahwa disebabkan konsep tentang Akasa yang dikatakan di
depan, maka Saiva Siddhanta Dualisis berbeda (a) dengan sistem carvaka yang
menolak keberadaan Akasa, (b) dari Mimamsaka, yang berpendapat bahwa hal itu
tak dapat diamati dan (c) dengan Naiyayika, yang menyatakan bahwa Akasa itu
kekal sepanjang ia memiliki keberadaan kekal dan tidak menjadi tanmatra.
e.
Ia tidak mengakui adanya atom-atom abadi,
seperti yang dilakukan oleh vaisesika dan nyaya; karena menurut saiva Sidantha
Dualis, semua yang memiliki kejamakan dan tidak memiliki jiwa merupakan hal
yang tidak kekal.
f.
Ia berpendapat bahwa roh pribadi itu sesungguhnya
dapat merasakan (cit) atau mengetahui sendiri (jnanasvarupa);
karena itu jnana bukanlah sifat dari sang diri seperti yang dinyatakan
oleh Vaisesika Perbedaan antara Saiva
Sidhanta Dualis dengan sistem filsafat samkya adalah sebagai berikut:
1). Saiva Saidantha Dualis yang mengakui bahwa purusa atau
pribadi merupakan keberadaan murni asli (puspakarapalasa-vannirlepah) seperti
yang dipakai oleh filsafat Samkhya. Ia menyatakan bahwa diri pribadi memiliki
ketidak murnian yang tanpa awal, karena dengan caralian pengalaman empiris yang
disebabkan kecendrungan untuk menikmati,
tak dapat dijelaskani. Tetapi apabila kecendrunagn tersebut dikatakan
ada di dalam sang diri, hal itu sukar untuk menjelaskan mengapa pembebasan tidak
memilikinya. Sistem samkya tak dapat megatakan bahwa kecendrungan untuk
menikmati disebabkan oleh raga atau keterikatan, karena keterikatakan (raga)
itu dapat berfungsi dalam hubungan terhadap sang diri saja yang tidak murni.
2) Konsepsinya tentang Bhoga juga berbeda dengan Samkya yang
dapat dinyatakan sebagai berikut:
Bhoga melibatkan 4
hal berikut, yaitu:
a.
Purusa, yang dipersamakan dengan refleksinya,
jatuh apad budhi
b.
Budhi yang menerima pantulan dari purusa dari
dalam serta pantulan benda dari luar.
c.
Pantulan benda pada budhi
d.
Ahamkara merupakan yang
bertanggungjawab seperti Guna penyatuan dua pantulan daro subjek dan objek,
guna menidentifikasikan pantulan dari subjek dengan subjek itu sendiri, guna
mencapai penyatuan subjek dan objek untuk tujuan praktis, dan guna memunculkan
kesadaran “aku mengetahui ini”. (Maswinara, 1999:230).
Adapun prosesnya
adalah yang pertama Budhi menerima pantulan dari objek yang berasal dari luar
dan pantulan dari subjek (purusa)
berasal dari dalam selanjutnya Ahamkara mempersatukannya sehingga kedua
pantualn tersebut menjadi satu maka objek menjadi bersinar yang disebabkan oleh
pantulan subjek yang merupakan titik puncak dari proses tersebut yang disebut
Jnana.
Sivasiddhanta Dualis menolak
penyamaan roh pribadi dengan sang diri semesta bahwa roh pribadi jumlahnya
tidak terhitung. Dengan demikian terdapat tiga kategori sivasiddhanta dualis
yaitu Maya atau mahamaya, purusa dan Siva yang juga dapat
dikatakan sebagai pati, pasu dan pasa dimana pati sebagai penganti siva, pasu
sebagai penganti purusa dan pasa sebagai penganti maya atau mahamaya. Pati
terbagi menjadi siva, sakti, mantra-mahesa, mantresa dan mantra.
Sedangkan pasu terbagi menjadi Vijnanakala, pralayakala dan sakala.
Sedangkan pasa terbagai menjadi Mala, rodhasakti, karma, maya
dan bindu.
Daya-daya dari Siva (pati)
meliputi; daya pengetahuan (jnana sakti) yang berhubungan dengan
bindu yang abadi, daya kegiatan (kriya sakti), kehendak (iccha
sakti), pencipta (srsti sakti), pemelihara (sthiti sakti),
penghancur (samhara sakti), pengaburan atau menyelubungi (tirobhava
sakti) dan pemberi anugrah (anugrah sakti). Sedangkan pasa memiliki pembagian yaitu; mala sebagai
belengu yang pertama yang tidak memiliki awal, maya yaitu kekeliruan, karma
yaitu nasib masa lalu atau perbuatan masa lalu, nirodhasakti yaitu ketergantugan,
dan bindu yaitu ketidak murnian.
Siwa Siddhanta Dualis
juga di bedakan dengan Pasupata Dualis di mana Pasupata Dualis menerima 5
katagori awal, yaitu: (1). Karana (2). Karya, (3). Yoga, (4).
Widhi, (5). Duhkhantar, tetapi Saiva siddhanta dualis hanya
menerima 3 katagori saja, yaitu: (1). Pati, (2). Pasu, dan (3). Pasa.
Tampak bahwa Saivasiddhanta dualis dan yang lebih awal yaitu siva dualis
keduanya dipengaruhi oleh pasupata yang tampaknya lebih awal adanya karena Saiva
Siddhanta dualis tampaknya meminjam konsep karana sebagai “pati”, karena
tidak ada perbedaan konsepsual antara karana dan pati di mana yang membedakan
hanya dalam masalah kata saja dan juga karena didalam pasupata sutra oleh
lakulisa kita menemukan kata “pati” yang dipergunakan untuk menyebut karana.
Penjelasan tentang
pasupata yang didasarkan pada referensi Sankara tentang hal itu, kita tidak
mengetahui apa yang sebenarnya menjadi konsep dari penyebab material, yang
diakui oleh Pasupata. Tetapi, apabila kita mengikuti Ranta Prabha, kita
dituntun untuk berpikir bahwa hal itu adalah “pradhana” (karanam pradhanam
isvarasca), ia menyatakan tujuan dari pengemukakan 5 katagori secara
nyata mengatakan bahwa hal itu menyebabkan pembebasan diri pribadi (pasu) dari
pasa (ikatan)-(pasupasawimoksanaya). Oleh karena itu tampaknya
Saivasiddhanta Dualis dipengaruhi oleh pasupata dualis konsepsi tentang 2
katagori, yaitu pasu dan pasa.
Saivasiddhanta dualis
menerima teori metafisika dari Pasupata, yakni bahwa penyebab material berbeda
dengan penyebab efisien tetapi ia mengadakan perbaikan pada konsepsi tentang
pembebasan, karena sementara terjadi pembebasan menurut pasupata yang
mengandung akhir dari segala penderitaan, saiva sidanta dualis berpendapat
bahwa hal itu merupakan pencapaian kesamaan, yang berkaitan dengan daya-daya
pengetahuan dan kegiatan dengan jiwa.
Filsafat tentang tata bahasa yang mengandung bermcam-macam aspek
pembicaraan seperti para, pasyanti, madhyama dan vaikhari serta masalah-masalah
yang bersangkutan dengannya ditelusuri terhadap alur Veda seperti:
1). Catvari vakparimita padanr
2). Catvari srngastrayo asya
pada
Karya terkenal tentang masalah itu adalah Vakyapadiyam
dari Bhatari, tetapi ia sendiri menyatakan bahwa apa yang dihadirkan itu
didasarkan pada sebuah tradisi kuno. Ia menelusuri tradisi tersebut kembali
pada Panini ia mengemukakan suatu karya yang terdiri dari 100.000 grantha yang
ditulis oleh Vyadi untuk menguraikan sistem dari Panini tetapi sayang karya ini
telah hilang, disebabkan oleh kelalaian para pelajar gramatika, akibat dari
ukuranya yang besar. Oleh karena itu, patanjali menulis mahabhasya,
untuk menjaga tradisi “vyakaranagama smrti” agar tidak hancur
yang secara dekat mengikuti karya dari vyadi, namun karena karya tersebut juga
jarang yang menyentuhnya, maka dikhawatirkan karya tersebut juga akan hilang.
Selanjutnya seorang Brahmawaksaa membawa Vyakaranagama asli yang di tulis oleh
rawana dari suatu tempat pada trilingga di pegunungan trikuta kepada
candracarya dan vasurata yang setelah memahaminya secara layak menguraikanya
dalam berbagai cara kepada para muridnya. Vasurata guru dari Bhartrhari menulis
suatu ikhtisar dari apa yang dikatakan oleh Wyakaranagama yang terdiri dari 5
bab yaitu (1). Brahmakanda, (2). Vakyakanda, (3.padakanda
Bharthrhari dan kritikusnya yaitu somananda,
pendiri sari sistem Pratyabhijna dari Saiva Kasmir, keduanya menghadirkan
tradisi monoistik dari filsafat gramatika tetapi Sivasiddhanta dualis, katagori
awal adalah Siva, yang juga disebut para bindhu dan masalah tentang
filsafat Gramatika, yang berkaitan dengan 4 aspek pembicaraan didiskusikan
dalam konteks katagori ini. Hal ini akan kit bicarakan pada permasalahan
tentang Bindu. Rama kantha II dalam nada karikanya dan srikantha dalam
ratna trayanya berurusan tentang masalah ini dari sudut pandang dualistik.
Konsep Saivasiddhanta Dualis tentang katagori
sangat dekat sekali hubunganya dengan konsepsinya tentang pemusnahan semesta
dan ia berpendapat bahwa satu katagori adalah sesuatu yang ada meskipun terjadi
pemusnahan semesta dan merupakan suatu kondisi, langsung maupun tidak langsung,
dari segala pengalaman empiris maupun non-empiris. Dan pemusnahan semesta
adalah dimana segala suatu yang merupakan hasil dari maya atau mahamaya
bergabung kembali kedalam penyebab materialnya dan memiliki keberadaan disana
dalam keadaadn yang tak terbedakan baik kestuannya yang merupakan kmungkinan
saja dari keanekaragaman ini. Ia mengakui bahwa penciptaan itu ada 2 macam,
yaitu: (1). Yang murni (suddha), (2). Yang tidak murni (asuddha),
dan maya juga ada 2 macam yaitu: satu yang merupakan hasil, berupa kondisi yang
diperlukan dari pengalaman empiris dan disebut maya saja: sedang yang lain
hasil berupa kondisi yang sama yang diperlukan bagi pengalaman transendetal
yang merupakan subjek transedental seperti mantra mantresa dan manta
mahesa dan hal ini disebut sebagai mahamaya karena itu ia berpendapat
bahwa para pemusnahan semesta semua yang menyusun kondisi material dari suatu
pengalaman, bergabung kembali kedalam sakti, yang merupakan salah satu katagori
yang bebas, di mana kita akan menulis dalam konteks yang sesuai, yaitu: sakti
bergabung kedalam konteks yang sesuai yaitu bergabung kedalam mahamaya. Jadi,
Saivasiddhanta Dualis berpendapat bahwa hanya terdapat 3 katagoti awal, yaitu 4
Maya atau mahamaya, 2 purusa dan 3 siva. Yang juga dapat dikatakan sebagai pati,
pasu, dan pasa, di mana dalam hal ini pati sebagai pengaganti Siva,
pasu sebagai pengganti purusa dan pasa sebagai pengganti maya
atau mahamaya meskipun tidak begitu tepat karena pasa sebagai sebuah
katagori awal memiliki 5 katagori bebas yaitu, (1) mala, (2) rodhasakti,
(3) karma, (4) maya, (5) bindu yang juga disebut sebagai mahamaya.
Selanjutnya aliran Sivasiddhanta Dualis mengakui 3
katagori utama di atas, namun membicarakan tentang 36 katagori yang bergantung
kepada ke-3 katagori utama tersebut. Katagori pertma yaitu: pati dibagi
menjadi 5, yaitu: (1) Siva, (2) sakti, (3) mantra mahesa,
(4) mantresa, (5) mantra. Pati atau Siva sebagai katagori
pertama yang bebas merupakan penguasa ternak, yang maksudnya adalah penguasa
segala mahluk hidup atau penguasaha segala sesuatunya sehingga dapat dikatakan
sebagai mahakuasa, ia meresapi segalanya abadi tanpa awal dan tanpa akhir,
bebas dari segala kekotoran terbatas dari sebab dan akibat yang tetap tak
berubah meskipun ia menciptakan alam semesta ini, seperti matahari yang
menyebabkan mekarnya kuncup-kuncup kembang teratai. Ia menciptakan dunia
obyektif yang terbatas ini yang berasal dari penyebab material, yaitu maya,
dengan kekuatanya yang disebut sakti sebagai penyebab instrument.
Daya-daya dari siva (pati)
meliputi berbagai macam kekuatan antara lain:
(1)
Daya pengetahuan (jnana sakti)
yang berhubungan dengan bindu yang abadi
(2)
Daya kegiatan (kriya sakti)
(3)
Daya kehendak (iccha sakti)
(4)
Daya penciptaan (srsti sakti)
(5)
Daya pemeliharaan (sthiti sakti)
(6)
Daya pengahancuran (samhara sakti)
(7)
Daya pengaburan atau menyelubungi (tirobhawa
sakti)
(8)
Daya pemberi anugrah ( anugraha sakti)
Lima kegiatan tuhan (panca kriya)
yaitu, srsti, sthiti, samhara, tirobhawa dan anugraha,
yang secara terpisah dianggap sebagai kegiatan dari Brahman, Visnu, Rudra, Maheswara,
Sadasiva. Alam semesta mengalami evolusi demi kebaikan roh-roh dan kseluruhan
proses pencipta adalah demi untuk pelepasan roh-roh tersebut. Alam semesta
adalah nyata dan abadi, di mana alam materi dan roh membentuk badan Tuhan.
Pasa, sebagai salah satu katagori awal dari sistem filsafat ini adalah belenggu
yang mengikat roh-roh dan bertanggung jawab atas perbedaan pasu dari pati.
Pasa seperti telah diuraikan di depan memiliki 5 sub katagori yaitu: (1)
Mala, (2) Maya, (3) Karma, (4) Nirodhasakti, (5) Bindu.
Katagori yang bergantung dari pasa secara sangat dekat dikaitkan dengan
konsepsi pembebasan di mana karma dan maya adalah 2 belenggu yang
juga diakui oleh para Vedantin yang menunjukan bahwa pembebasan adalah lepasnya
dari ikatan 2 belenggu tersebut tetapi sistem ini berpendapat bahwa pembebasan
yang demikian itu merupakan pembebasan tipe yang lebih rendah atau merupakan
pembebasan sebagaian karena terbelenggu yang lain, yaitu mala, yang juga
disebut sebagai pasupata mala masih tetap ada.
Saivasiddhata Dualis mengakui 36 katagori yang
saling bergantung yang saling bergantung satu sama lainya, dimana bindu atau
siva sebagai katagori pertama yang juga disebut sebagai pati. Katagori
ini jangan dibingungkan dengan Siva transedental, karena akan terjadi kekacaun
evolusi, di mana Parama Siva akan mengikutinya. Ia tidak bersatu padu
dalam jiwa tansedental seperti halnya sakti. Ia menjadi penyebab material
dikaitkan kepadanya sebagai tanah liat terhadap seseorang pengerajin gerabah.
Ia juga dikatakan sebagai kundalini yang merupakan tenaga luar dari Tuhan (parigraha
sakti). Ia tidak bebas, karena tanpa perasaan dan bekerjanya dibawah
pengendalian daya-daya dari Parama Siva seperti iccha dan
sebagainya. Alasan-alasan mengakui bindu sebagai penyebab material dari ciptaan
murni adalah sebagai berikut: siva dan sakti keduanya berperasaan tetapi
keduanya tidak mengalami perubahan sehingga bindu diperlukan sebagai penyebab
material dari Dunia murni. Sistem filsafat ini mengakui bahwa ciptaan ada 2
jenis, yaitu yang murni dan yang tidak murni. Dunia tidak murni diciptakan oleh
ananta dan sebagainya, di mana daya tersebut diberikan pati kepadanya
sedangkan penyebab materialnya adalah maya. Sivasiddhata Dualism mengemukakan
bahwa ada suatu bunyi halus (sabda) yang berkembangan dari Bindu
yang disebut vidya atau nada, sebagai akibat dari gerakan tuhan
yang menyusun badan dari ananta dan menentukan demikiana pada pemikirannya agar
memungkinkannya untuk melanjutkan penciptaan yang tidak murni.
Nada sebagai suatu kondisi dari subjek
pribadi, merupakan evolusi dari bindu yang jumlahnya tak terhitung
seperti halnya roh-roh yang masing-masing kondisinya terbatas dan masing-masing
membentuk keterpisahan. Ia seperti sebuah benih dari keseluruhan pengetahuan
yang ditandai dengan kata-kata pada tingkatan empiris. Daya pengetahuan dari
setiap diri pribadi dikaitkan dari sebuah nada dan dengan demikian ia
memperoleh objek-objek yang ketentuanya pada tingkatan maya. Keaneka ragaman
bentuk pengetahuan adalah wujud dari nada dan sang roh bersinar aneka warna
bukan disebabkan oleh suatu perubahan dalam dirinya tetapi disebabkan oleh
perubahan formal pada kondisi terbatasnya yaitu nada. Pertumbuhan dan
kemerosostan dalam pengetahuan tidak menyebabka perubahan pada roh, kemudian
bukan berarti bahwa ia tak abadi. Karena itu bindu diakuai sebagai penyebab
kebadian dan tanpa perubahan dari jiwa kendatipun pengetahuan berubah.
Sivasiddhanta Dualis mengemukakan bahwa pengetahuan
tertentu tak dapat dijelasakan dalam istilah buddhi karena penentuan
juga dijumpai pada tingkatan itu, yang mengatasi maya. Ananta misalnya milik
pada tingkatan Isvara tetapi ia juga memiliki sejenis pengetahuan tertentu,
karena kalau tidak demikian ciptaan dari dunia emperis tak akan mungkin terjadi.
Selanjutnya fungsi dari budhi adalah untuk menimbang atau memutuskan (adhyavsaya).
Oleh karena itu buddhi mempergunakan kata-kata dan mengandaikan kehadiranya.
Oleh karena itu bindu sebagi penyebab kata-kata melalui nada dan bindu
yang lebih rendah diperlukan. Beberapa berpendapat bahwa bindu
keberadaanya bersatu padu dalam Siva seperti daya pengetahuan. Mereka
menunjukan bahwa ia merupakan daya kegiatan (krya sakti) yang
tidak memiliki keberadaan yang terpisah darinya seperti maya dan
merupakan para kundalini. Mereka berpendapat bahwa daya bersatu padu dalam siva yaitu,
pengetahuan (samvid atau vijana) dan kegiatan (para kundalini).
Melalui yang pertama ia mengetahui dan melalui yang kedua ia menciptakan.
Kedunya tak terpisah, sehingga pada akhirnya segala sesuatu berada dalam bindu
atau dalam siva.
Siva transedental atau pati berpropesi pada
mahamaya memakai daya-dayanya yaitu iccha jnana dan kriya.
Evolusi pertama dari mahamaya di bawah pengearahan daya kehendak (iccha sakti)
adalah dalam bentuk nada dan Dunia damai
(santyadi bhuvanatmaka). Ini disebut sebagai sakti tattva, yang
tanpa bagi-bagian (niravayava), yang merupakan akibat dari bindu atau
mahamaya.
Katagori sadasiva merupakan evolusi kedua
dari bindu di bawah pengendalian daya pengetahuan dan kegiatan dalam
keseimbangan yang sempurna dan merupakan katagori tidak bebas yang ketiga.
Isvara tattva asalah evolusi ketiga dari bindu, apabila ia di bawah
pengendalian daya kegitan dengan daya pengethuan yang menempti posisi bawahan
terhadapnya. Ananta, dsb. Termasuk dalam katagori ini yang tersebut vidyeyas
dan merupakan katagori tidak bebas yang ke empat. Vidya tattva merupakan
evolusi keempat, apabila bindu berkembang di bawah pengendalian atau pengarahan
daya pengetahuan, dengan daya kegiatan sebagai bawahannya. Mahluk-mahluk yang
termasuk katagori ini, maha mengetahui dan disebut vidya karena disini
kemahatauan sang roh diperlihatkan untuk pertama kalinya. Lima katagori ini
merupakan milik dari ciptaan murni, dimana tak ada pembatasan pengetahuan sama
halnya dengan 5 katagori yang diakuai siva monistik, sebagai Siva, sakti,
sadasiva, isvara dan vidya. Perbedaan yang terjadi pada
penyimpulan dasar dari monoisme dan dualis adalah penyamaan atau perbedaan dari
penyebab efesien dan penyebab material. Sang roh pribadi (pasu) dengan
pengalaman yang panjang, belajar bahwa samsara ini penuh dengan
penderitaan dan bersifat sementara dan bahwa ia dapat mencapai kebahagian dan
kekekalan hanya dengan pencapaian sivatva atau hakikat Siva atau
realisasi Tuhan. Ia mengembangkan vairagya (ketidak terikatan) dan Viveka
(pembedaan antara yang nyata dan yang tidak nyata yang tetap dan tidak berubah.
Saivasiddhanta Dualis juga membagi jiva atau pasu
menjadi tiga keadaan yaitu: vijnanakala, pralayakala, dan sakala,.
Pada vijnanakala sang roh hanya memiliki anavamala (keakuan) di mana
maya dan karma telah terlepaskan. Pada pralayakala mereka hanya terbatas
dari maya saja pada tahapan pralaya sedangkan sakala semua cacat
atau ketidak murnian masih ada. Mala-mala tersebut berpengaruh
pada jiva (roh) dan bukan pada Siva. Ketiga belenggu dapat dilepskan hanya
melalui tapas yang ketat disiplin yang kerasa bantuan seorang guru diatas
semuanya adalah karunia dari Siva. Carya (penyelidikan), kriya
(upacara), dan yoga menyusun disiplin tersebut dan dengan pelaksanaan yang
sungguh-sungguh ia mendapatkan karunia dari siva, sehingga roh dapat mewujudkan
hakekatnya sebagai Siva (jnana).
Disiplin dan karunia memuncak dalam jnana yang
merupakan pelepasan tertinggi atau pencapaian kebahagian akhir karma dan
cara-cara lainya hanya merupakan tambahan atau pembantu. Pencapaian sivatva
atau hakekat jiwa bukan dimaksudkan penggabunga sepenuhnya antara roh dengan
siva karena roh yang terbrbas tidak kehilangan kepribadianya sivatva merupakan
realisasi dari identitas inti kedatipun berbeda. Roh mencapai hakekat Siva atau
Tuhan, tetapi dirinya bukanlah Siva atau Tuhan. Konsep moksa yang
diakuai Sivasiddhanta Dualis, ada 2 yaitu seperti diuraikan didepan yaitu para moksa
dan apara moksa atau pembebasan yang lebih tinggi dan pembebasan lebih
rendah.
Jadi Saivasiddanta Dualis berpendapat bahwa
hanya terdapat tiga kategori awal yaitu Maya (mahamaya), Purusa,
dan Siva yang juga dapat dikatakan sebagai pati, pasu dan pasa,
di mana dalam hal ini pati sebagai pengganti Siva, Pasu sebagai
pengganti Purusa dan Pasa sebagai pengganti Maya atau mahamaya,
meskipun tidak begitu tepat karena pasa sebagai sebuah kategotri awal
memiliki lima kategori bebas. Pati atau Siva sebagai kategori pertama
yang bebas merupakan penguasa ternak, yang maksudnya adalah penguasa segala
makhluk hidup atau segala sesuatunya sehingga dapat dikatakan sebagai maha
kuasa. Ia meresapi segalanya, abadi. Tanpa awal dan akhir. Bebas dari segala kekotoran,
terbebas dari sebab dan akibat, yang tetap tak berubah meskipun Ia menciptakan
alam semesta ini, seperti matahari yang menyebabkan mekarnya kuncup-kuncup
kembang teratai. Ia menciptakan dunia objektif yang terbatas ini, yang berasal
dari penyebab material, yaitu maya, dengan daya kekuatannya yang disebut
sakti, sebagai penyebab instrument.
2. Lakulisa Pasupata
Sistem nilai filsafat Lakulisa Pasupata berbeda dengan pasupata yang bersifat Dualis, walaupun keduanya mengakui
adanya kategori utama yaitu: (1) Karana, (2) Karya, (3) Yoga, (4) Vidhi, (5)
Duhkhanta. Perbedaan sistem ini
dengan Pasupata dualis tampaknya telah ditunjukkan dalam ulasan yang disebut Ratna Tika pada Gana Karika dari Bhasarvajna, ketika ia membahas tentang perbedaan Lakulisa Pasupata dengan sistem filsafat
lainnya (Sastrantare). Pernyataan
tentang gambaran yang berbeda itu kelihatanya menjadi sangat perlu, karena hal
itu dikutip oleh Madhva dalam Sarva Darsana Samgraha-nya. Hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
1)
Pada sistem filsafat lain, masalah pembebasan
tiada lain merupakan akhir dari segala kesengsaraan, tetapi menurut sistem
filsafat Lakulisa Pasupata, pembebasan merupakan
pencapaian keunggulan atau kesempurnaan illahi. Di sini perbedaan Lakulisa Pasupata dengan pasupata dualis dinyatakan; karena Lakulisa tampaknya mengawali Pasupata Sutra nya dengan objek tentang
pernyataan perbedaan dari sistem filsafatnya dengan Pasupata lebih awal, karena tujuan karya tersebut, seperti yang
dinyatakan dalam sutra pertamanya,
adalah untuk menghadirkan disipln spiritual yang berguna dalam penyatuan dengan
Tuhan, seperti yang dikemukakan oleh Tuhan sendiri (athatah pasupateh pasupatem yogavidhim vyakhasyamah). Kita
mengetahui bahwa konsepsi Pasupata
tentang pembebasan dipakai oleh Nyaya
dan Vaisesika, karena Nyaya Sutra dari rsi Gautama
secara jelas menunjukkannya dalam sutra yang
kedua dan rsi Vatsyayana dalam
ulasannya memperjelas hal itu ketika ia mengatakan :”kathan buddhiman sarva duhkhocchedam sarvaduhkha samvidam apavargam na
rocayet” yang artinya “Bagaimana
seorang bijak dapat tidak menyukai pembebasan (apavarga) ini, yang dicirikan
dengan penghentian total dari segala kesengsaraan”.
2)
Sistem filsafat lain mengakui akibat (Karya) tak akan terjadi sebelum terjadi,
tetapi menurut sistem filsafat Lakulisa
Pasupata, akibat (Karya) yang terbagi
menjadi 3 kategori, yaitu: Kala, Vidya dan
Pasu, adalah abadi. Pada keadaan
kehadiran pengetahuan kita tentang sistem Pasupata
yang kita peroleh dari refrensi tentang hal tersebut oleh Sankara dari para pengulasnya, kita tak dapat mengatakan secara
tegas sejauh mana masalah ini menyebutkan tentang sistem Pasupata. Tetapi apabila kita mengetahui bahwa pandangan Vaisesika tentang ketiadaan akibat
sebelum ada kejadian (asat karyavada)
diambil dari Pasupata, seperti
konsepsi tentang pembahasan sebagai akhir dari segala kesengsaraan, kita dapat
mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah perbedaan lain dari Lakulisa Pasupata terhadap Pasupata dualis; karena yang pertama
berpendapat bahwa semua akibat ada dan sepertinya sama dengan daya (sakti) Tuhan, dari mana ia mewujudkannya
seketika.
3)
Menurut sistem filsafat lain, Isvara dan Pradhana, yang merupakan 2 penyebab, yaitu penyebab efesien dan
penyebab material, tidak bebas, karena penciptaan tak akan dapat mulai
ketidakhadiran salah satunya. Tetapi menurut Lakulisa Pasupata, Tuhan adalah bebas, karena seperti yang akan
kita saksikan secara metafisika sistem ini merupakan kebebasan yang
rasionalistik. Masalah ini secara jelas ditunjukkan dalam sistem Pasupata, karena seperti yang kita
nyatakan sebelumnya mengenai authoritas dari Ratna Prabha, Pasupata mengakui
2 penyebab, yaitu Isvara dan Pradhana. Dua titik perbedaan yang
dinyatakan disana tampaknya untuk menunjukkannya terhadap sistem yoga dan Mimamsa.
Tradisi tentang sistem
filsafat Lakulisa Pasupatai, tidak
hanya diketemukan dalam berjeninis-jenis bagian dari Taittiriya Aranyaka pada anuvakah
5, sloka 17 sampai 21, tetapi juga
dalam bagian terbesar dari buku tersebut, pada anuvakah, 5 dari sloka 43
sampai sloka 47. Mantra-mantra yang
menyusun naskah anuvakah ini telah
diambil oleh Lakulisa dalam Pasupata
Sutra-nya, dengan sedikit sekali perubahan untuk menggambarkan Brahman atau Siva, karena ia direnungkan pada berbagai tahap dari jalan
pembebasan. Sayana, dalam ulasannya
tentang Taittriya Aranyaka
menunjukkan hal-hal berikut, yang merupakan gambaran yang penting tentang
sistem filsafat Lakulisa Pasupata.
Tampak bahwa pada saat
munculnya sistem filsafat Lakulisa
Pasupata, kata “Brahman” tidak
secara ekslusif berarti realistis tertinggi bagi konsep Vedantin, karena dalam Pasupata
Sutra dari Lakulisa, kita
menemukan kata “Brahman” dipergunakan
untuk realitas sebagai objek perenungan pada tingkatan yang berbeda. Apabila
kita membaca ulasan Sayana, kita
menemukan bahwa apa yang dikatakan tentang Brahman,
kebanyakan seperti yang dinyatakan pada sistem Lakulisa Pasupata, sebagai Pati,
yaitu kategori pertama.
Jadi dengan demikian Taittirya Aranyaka, menurut sayana mengakui hal-hal berikut:
a)
Bahwa Brahman
merupakan penyebab dari dunia obyektif dan yang merupakan penyebab material
sepanjang sebagai Maya yang merupakan
daya yang tak terpisahkan dengan Brahman.
Oleh karena itu, ia merupakan Mayin yang
Saguna dan Mayavisista.
b)
Babwa seperti sifat dari Nirguna Brahman yang menjadi kesatuan dari Saccidananda, demikianlah ia merupakan Saguna Brahman untuk
menciptakan, memelihara dan menghancurkan alam semesta ini (svabhava)
c)
Bahwa Isvara
lah yang memberikan buah kegiatan dan bukan Karma
itu sendiri.
d) Bahwa, dunia
objektif dan sang diri yang terbatas merupakan akibat dari Brahman yang dibatasi oleh Maya.
e)
Bahwa akibat tak dapat terjadi di luar dari
penyebab, karena itu Brahman
merupakan penyerap segalanya dan Ananta.
f)
Bahwa Brahman
adalah Sat, yang menciptakan dunia
dan kemudian memasukinya, seperti seseorang yang membangun sebuah rumah,
kemudian masuk ke dalamnya dan berdiam di sana. Brahman sebelah menciptakan semuanya, dari Akasa sampai Purusa
masuk ke dalamnya, karena Ia didapatkan sebagai yang menerima dan yang
mengetahui di dalam Buddhi, dalam
teratai hati.
g)
Bahwa Brahman
menjadi segala sesuatu yang dapat diamati dan yang tak dapat diamati, yang
tetap dan yang tidak tetap, yang berjiwa dan yang tak berjiwa, yang benar dan
yang tidak benar.
h)
Bahwa Brahman
adalah Sukrta, karena ia menciptakan
segala sesuatu secara bebas. Pemikiran ini dinyatakan melalui kata “Svatantra” dalam Pasupata Sutra.
i)
Bahwa Rudra
adalah segala sesuatu; Ia merupakan diri dari semua mahluk hidup; Ia adalah
‘keberadaan; Ia adalah yang mengatasi segalanya; Ia adalah semua yang telah
ada, yang sekarang ada dan yang bakal nantinya; Ia adalah Umapati, yaitu penguasa ajaran
j)
Bahwa Brahman
adalah penyebab sumber, pemantap dan kehancuran dari dunia objektif.
k)
Bahwa Brahman
berbeda dengan kelima Kosa, yaitu Anna, Prana, Manas, Vijnana dan Ananda.
l)
Bahwa Brahman
memiliki bermacam-macam wujud Jyestha,
dsb yang jumlahnya 9 dan penguasa dari 9 daya, Vama, dsb.
m) Bahwa Brahman memiliki 3 wujud sehubungan
dengan 3 sifat dari Sattva, Rajas dan
Tamas, yaitu (1) yang lebih banyak sattvanya menjadi tenang (santa) disebut aghora, (2) yang lebih banyak rajasnya
menjadi menakutkan, disebut Ghora, (3)
yang lebih banyak tamasnya, menjadi
sungguh-sungguh mengerikan, disebut Ghoratara.
Konsepsi tentang Moksa, menurut Sayana,
Taittiriya Aranyaka mengakui hal-hal berikut :
a) Bahwa Moksa terkandung dalam Jivai yang memiliki Pratistha dalam Brahman yang
tak dapat diamati.
b) Bahwa Pratistha tersebut artinya kemantapan
pemikiran mengenai identitas pribadi yang semesta atau realisasi bahwa Brahman merupakan diri sejati dari diri
seseorang.
c) Bahwa seseorang
yang mengetahui identitas dari Anandai yang
merupakan perseorangan yang ada pada Brahman,
secara perlahan-lahan mendapatkan penyatuan dengan Brahman (upasankramati), tanpa
meninggalkan kepribadiannya. Yang bebas termasuk kategori tertinggi, sehingga
pembebasan terkandung dalam perembesan jiva
ke dalam Brahman sehingga daya Brahman lolos ke dalamnya, persis
seperti darah dari suatu organism hidup yang lolos ke dalam perut seekor
lintah. Naskah-naskah ini tampaknya telah menjadi dasar dari persepsi tentang Sayujya Moksa dalam sistem filsafat Lakulisa Pasupata, tetapi authoritas
yang lebih awal di bawah pengaruh Vedanta
monistik, seperti yang dinyatakan oleh sayana
berpendapat bahwa kata “Sankramati”
di dalam naskah dipergunakan dalam pengertian yang kedua dari buah pengetahuan,
yang menghancurkan khayalan.
d) Bahwa yang
terbebas (mukta)pergi kedunia Brahman.
e) Bahwa objek
perenungan mungkin Brahman atau suatu
aspek dari pada-Nya, yang dapat membuat perenungan menjadi kuat atau lemah.
Karena itu, apabila perenungan menjadi kuat dan objeknya menjadi Brahman, sang perenung mendapatkan
penyatuan (sayujya) dengan Brahman. Tetapi apabila menjadi lemah,
ia mendapatkan dunia Brahman (salokata). Demikian pula apabila objek
perenungan menjadi suatu aspek dari Brahman
dan perenungan menjadi kuat, menengah atau lemah, si perenung mendapatkan
penyatuan dengan daya yang sama (sarstika-samanaisvaryata)
atau dunia ke-Ilahian (samalokata)
f) Bahwa pembebasan
akhir dicapai melalui bermacam-macam tahapan dan pada tahapan akhir yang
terbebas mencapai keagungan Brahman (mahima).
Beberapa hal yang senada bagi filsafat Lakulisa Pasupata dari Taittiriya Aranyaka, menurut penafsiran Sayana, adalah sebagai berikut :
a)
Bahwa sang diri di dalam Guha, terbuat dari lima kosa, yang utamanya identik dengan Brahman dan orang yang mewujudkan hal
ini, mengalami keseluruhan objektifitas secara terus menerus
b)
Bahwa Purusa merupakan suatu akibat (annat
purusah)
c)
Bahwa, Akasa adalah ruang dan bahan, di mana suara ada di dalam atau
bersamanya.
d)
Bahwa, penciptaan
memungkinkan bagi subyek yang terbatas untuk menikmati dan menderita buah
karma.
e)
Bahwa, tak ada pertentangan
yang mendasar antara identitas dan perbedaan; di mana identitas menunjukkan
intisari, yaitu Brahman dan perbedaan
terhadap wujud saja (akara) brahmakarena advaitam, bhoktrbhogyakarena
dvaitam.
Jadi dengan demikian Taittiriya Aranyaka menghadirkan
dasar-dasar pengertian Dvaitadvaita atau
Bhedabheda.
Kita telah merujuk pada 5
anuvakah dalam Taittiriya Aranyaka,
yang merupakan dasar dari sistem filsafat Lakulisa
Pasupata. Sayana dalam
penafsirannya tentang naskah ini setuju bahwa mereka mengemukakan tentang Saivaisme secara umum, baik sebagai
sebuah agama (aliran) maupun sebagai sebuah filsafat. Jadi, ia menyatakan bahwa
5 mantra, yaitu: Sadyojatam, Vamadevaya, Aghrebhyah, Tatpurusaya, dan Isanah, menghadirkan 5 muka (vaktra) dari Mahadeva atau Siva, di
mana empat yang pertama, menghadap keempat arah dan yang kelima menghadap ke
atas (urdhva).
Penafsirannya dapat di
ketengahkan sebagai berikut :
1)
“Hamba mendekati Sadyojata, yang mengarah ke Barat,
penguasa dalam wujud tersebut; hamba bersujud pada Sadyojata. Ya Tuhan! doronglah hamba, bukan kepada keberadaan yang
berpindah-pindah, tetapi untuk mengatasinya. Hamba
bersujud kepada mereka yang bebas dari siklus kelahiran dan kematian.
2)
Hamba bersujud kepada Vamadeva yang menghadap utara, yang
memiliki 9 aspek, yang dilengkapi 9 daya, yaitu: (1) Jyestha, (2) Srestha, (3)
Rudra, (4) Kala, (5) Kalavikarana, (6) Balavikarana,
(7) Balapramathana, (8) Sarvabhutadamana, dan (9) Manonmana.
3)
Hamba bersujud kepada Aghora, yang menghadap ke selatan, yang
memiliki 3 macam wujud, sesuai dengan Guna
yang lebih banyak mempengaruhinya.
4)
Hamba bersujud kepada Tatpurusa, yang menghadap ke Timur,
hamba merenungkan Tuhan yang agung (Mahadeva);
semoga Rudra mendorong hamba untuk
mengetahui pengetahuan dan perenungan.
5)
Isana, yang menghadap ke atas (urdhva-vaktra) merupakan penguasa pengetahuan, pengendali semua
mahluk, pelindung Veda. Sang diri
yang mengatasi segalanya lebih tinggi dari pada Hiranyagarbha Brahman sekalipun; semoga Ia berkenan mewujudkan
aspek yang penuh kedamaian kepada hamba. Hamba adalah sadasiva.
Kita akan menunjukkan perbedaan antara
penafsiran dari Sayana mengenai mantra ini dengan yang diberikan Lakulisa dalam Pasupata Sutra-nya dan perbedaan antara teks-teks (naskah) dari mantra ini, seperti yang dijumpai dalam Taittiriya Aranyaka, dengan yang
dipergunakan oleh Lakulisa.
1)
Menurut Lakulisa
Pasupata, Moksa tak terkandung
dalam penghentian dari semua kemalangan (duhkhanta)
saja, seperti yang dinyatakan oleh Nyaya,
tetapi juga dalam pencapaiannya daya-daya pengetahuan dan kegiatan.
2)
Akibat, menurut beberapa sistem lain, misalnya Vaisesika, adalah yang tidak dapat
sebulan hal itu terjadi (asatkaryavada);
tetapi menurut sistem ini, akibat tersebut sifatnya abadi, sehingga Kala, Vidya dan Pasu semuanya abadi.
3)
Menurut beberapa sistem lain, penyebab efesien
tergantung pada sesuatu diluar, berkenaan dengan masalah penciptaan dan akibat.
Misalnya Nyaya dan Vaisesika tentang Isvara yang tergantung pada atom
dan Karma, tetapi menurut sistem ini,
penyebab itu selamanya bebas sama sekali.
4)
Upacara-upacara, yang diuraikan oleh beberapa
sistem lain membawa menuju surga, dsb, dari mana dapat dipastikan akan jatuh
kembali dan setelah habis menikmati pahala; tetapi upacara Pasupata membawa pada tahap samipya,
di mana mereka yang telah mencapai tahapan ini tak akan kembali ke dalam
keberadaan yang berpindah-pindah.
5)
Lakulisa Pasupata menolak
konsepsi Moksa seperti yang
dikemukakan oleh Ramanuja dan Ananda Tirtha yang secara teknis disebut
“perbudakan” (dasatva), karena
perbudakan bukanlah akhir dari segala kesengsaraan. Oleh karena itu ia
menyatakan bahwa pembebasan adalah pencapaian atribut dari yang tertinggi.
Perbedaan
antara Saiva Dualis dengan Lakulisa Pasupata adalah sebagai berikut
:
1)
Menurut Lakulisa
Pasupata Tuhan terlepas (bebas) dari Karma
dalam kegiatan penciptaan-Nya, tetapi menurut Saiva Dualis, Dia tergantung pada karma.
2)
Menurut Lakulisa
Pasupata, daya pengetahuan dan kegiatan lolos dalam pembebasan (sankranti), tetapi menurut saiva Dualis daya-daya tersebut berwujud
(abhivyakti). yang satu berpendapat
bahwa daya-daya tersebut bukan milik dari Pasu,
sedang yang lain berpendapat bahwa daya-daya tesebut adalah milik Pasu, tetapi diselubungi (di kaburkan).
3)
Saiva Dualis Siva sebagai si pencipta berdasarkan
penyimpulan, sehingga argumentasinya merupakan kosmologi. Ia berpendapat bahwa
ketergantungan pada cara, seperti karma
misalnya, tidak bertentangan dengan kebebasan si pencipta, karena kebebasan
seorang raja memberi hadiah tak terpengaruh walaupun ia melakukannya lewat
harta benda. Kebebasan si pencipta terkandung dan tak membiarkannya untuk
mendorong-Nya berbuat serta dalam penggunaan peralatan dan bukan menjadi bebas
dari padanya. Namun, Lakulisa Pasupata berpendapat
bahwa Tuhan bebas dari karma pada
kegiatan penciptaan-Nya dan bahwa objek penciptaan terjadi dalam diri-Nya
sebagai daya-daya-Nya. Karena itu Dia terbebas dari segala sesuatu secara abadi
dalam kegiatan penciptaan (svatantra). Ia mewujudkan akibat atas kehendak-Nya.
Lakulisa
Pasupata tidak mengakui
materi yang menjadi hakekat pikiran, menjadi sifat dari pemikiran, tetapi bukan
pemikiran yang tetap di dalam dari apa yang sesungguhnya merupakan sifat dari
pikiran (cit). Materi terjadi dalam
kemampuan (sakti) dari Tuhan, yang
tidak berbeda dari-Nya dan merupakan aspek dari-Nya seperti panas yang
merupakan aspek dari api. Dengan demikian ia merupakan dvaitadvaita (bhedabhedavada);
karena walaupun ia mengakui perbedaan pokok antara pikiran dan materi, antar
yang pribadi dan yang semesta, namun ia berpendapat bahwa materi bukan berada
di luar (cit), atau Tuhan, tetapi di
dalam-Nya, yang merupakan Saguna Brahmavada.
ia mengakui bahwa para dewa dan makhluk-makhluk surgawi juga merupakan
keberadaan yang berasal daridaya Rudra
sebagai objek kegiatan penciptaan dan penghancuran-Nya.
Komentar atau ulasan mengenai Pasupata Sutra-Nya oleh Lakulisa oleh Kaundiya, disebut Pancartha
Bhasya, karena ia berkaitan dengan lima kategori utama dari sistem
filsafat Lakulisa Pasupata, di mana 2
kategori berdasarkan metafisika dan 3 kategori berdasarkan agamis sehingga
dalam sistem ini tak dikenal pencabangan antara filsafat dan agama. Kelima
kategori tersebut adalah: (1) Karana
(Pati); (2) Karya (Pasu); (3) Yoga; (4) Vidhi dan (5) Duhkantha,
atau Tuhan (penyebab), Akibat, Pensatuan, Ritual dan Pembebasan.
Tampak bahwa ketika sistem filsafat Lakulisa Pasupata muncul, tak banyak
pertentangannya dengan sistem Vedanta.
Dalam Pasupata Sutra, perkataan ‘Brahman’ digunakan sebagai objek
perenungan dan kata Pati, Karana dan Brahman artinya sama; karena sutra
“Atredam Brahma Japet” di ulang-ulang lima kali pada permulaan dari
pengenalan Brahman atau pati pada dasar dari setiap mantra dari kelima mantra, “Sadyojatam” dsb.
Pati atau Brahman
adalah Sat (keberadaan), yang berbeda
dengan Asat (bukan keberadaan).
Sifatnya yang abadi berbeda dengan pembebasan, karena Lakulisa Pasupata berpendapat bahwa keabadian ada dua jenis, yaitu:
yang tidak memiliki awal dan akhir, serta yang memiliki awal tetapi tidak
memiliki akhir. dan jenis yang pertama merupakan milik dari penyebab atau Pati dan jenis yang kedua merupakan
milik dari yang terbebaskan atau Moksa,
karena ia memiliki awal tetapi tidak memiliki akhir. Pati merupakan penyebab tanpa sebab yang abadi, yang tanpa awal-Nya
berbeda dengan Purusa, seperti yang
dinyatakan oleh Samkhya dan Yoga. Purusa merupakan subyek kelahiran dan kematian, tetapi Pati bebas dari hal-hal semacam itu.
Uraian di atas tadi merupakan penafsiran Kaundiya tentang kata “sadyojatam”. Tetapi, menurut Sayana, kata ini hanya merupakan satu
nama dari Siva yang menghadap ke
Barat, yang secara artistik diterima oleh pikiran keagamaan sebagai lima muka (pancavaktra).
Sadyojata ini harus dicapai secara mental untuk pengecualian dari segala sesuatu
lainnya dan si perenung harus mempersembahkan seluruh keberadaannya kepadanya.
Objek persembahan ini melampaui ciptaan, akibat, yang merupakan landasan di
bawah kategori yang secara teknis disebut ‘Karya’
dan yang patut mendapat “Anugerah”.
Pati meresapi diri pribadi melalui daya
pengetahuan (jnana sakti) dank arena
kehendak-Nya lah maka pribadi dihubungkan dengan kepribadian dan hubugan
pribadi dengan badan, kegiatan dengan tanpa kegiatan dsb. Bergantung kepada
kehendak-Nya. Pati bertanggung jawab
terhadap penceraian serta penggabungan alam dunia, yang terdiri dari 14 macam
keberadaan, objek-objek serta tempat kediamannya. Ia mengendalikan semua daya
yang bertanggung jawab terhadap keterkaitan yang timbul terhadap badan, indra,
obyek-obyeknya serta rumah, dalam segala makhluk yang terbatas, kecuali para Siddha. Ia tidak dibatasi oleh Manas, yaitu semua yang berada di bawah Kala, seperti 13 indriya, 5 tanmatra, dan
5 unsur. Ia merupakan si pengendali, si pengaruh dari semua akibat dan cara (Karya dan Karana dalam pengertian Samkhya). Oleh karena itu, ia dikatakan
sebagai sakala, hanya oleh pemindahan dari sifat; tetapi sesungguhnya ia
melampaui dan mengatasi semuanya, sehingga dikatakan sebagai Akala atau Amanas. Ia merupakan penyebab dari berbagai-bagai obyek dari sifat
yang berlawanan, oleh karena itu Ia digambarkan menjadi berbagai-bagai wujud,
baik yang menakutkan maupun yang penuh kedamaian dan merupakan tempat bagi
semua yang berada di bawah kategori “Karya”,
yaitu: Vidya, Kala dan Pasu.
Pati juga dikatakan sebagai Mahadeva, penguasa para dewa dan kejenakaan
merupakan sifat utama-Nya. Ia lebih tinggi dan jauh lebih kuasa dari pada
makhluk apapun. Ia berada dengan diri-diri pribadi dan Ia menciptakan semua
sifat dari akibat, yaitu Kala, Vidya dan Pasu, karena kejenakaan-Nya. Ia merupakan penyebab penciptaan,
pemeliharan dan penghancuran, pengaburan serta anugerah. Ia cuma satu-satunya
walaupun secara berbeda dikatakan sebagai Pati
dan Adya, karena berbagai atribut
dan fungís-Nya. Ia disebut Pati,
karena Ia memiliki daya-daya pengetahuan dan kegiatan yang mengatasi segalanya (niratisaya drkkriyasaktimattvam), yang
tanpa awal dan tanpa akhir.
Daya-daya-Nya terwujud dalam semua
yang terbatas, yang tak terbatas atau terbatas pada satu aspek dan tak terbatas
pada aspek lainnya, baik yang indah maupun yang buruk. Ia merupakan deva Rudra, lautan, matahari, ether,
sang diri, Brahman dan tak satupun
yang dapat dipandang sebagai berbeda dengan-Nya (na sakyam bhedadarsanam).
Tuhan dikatakan sebagai tanpa awal
dan tanpa penyebab yang menyebabkan, yang pada pokoknya merupakan sifat
(hakekat) dari “keberadaan”, dalam bab pertama sutra 58, 40, 44. Ia juga dikatakan sebagai banyak, karena
keberadaan-Nya yang memiliki banyak atribut dan melakukan fungsi yang bermacam-macam
seperti yang dinyatakan dalam bab 2, sutra 1, 4, 5, 20, 23, sampai 27. Ia juga
diakui memiliki sifat-sifat yang berlawanan seperta Ghora, Aghora dan Ghoratara.
Karena itu timbul satu pertanyaan: “Apakah
menurut sistem realitas terakhir merupakan kejamakan?”. Jawabnya adalah:
Tuhan itu satu dengan wujud yang banyak, yaitu realitas terakhir itu merupakan
kesatuan dalam kejamakan (tatpurusa).
Ia dikatakan rsi karena ia mengendalikan semua yang merupakan sifat dari akibat
(karya). Ia disebut “Vipra”, karena Ia mahatahu. Daya
pengetahuan-Nya berlanjut mengatasi segenap medan pengetahuan.. Ia merupakan
yang agung (mahan) karena daya-daya
pengetahuan dan kegiatan-Nya alamiah dan tak terjangkau serta jauh melampaui
yang dimiliki keberadaan lainnya, yang merpakan milik-Nya sebagai sifat-sifat-Nya.
Dalam kenyataanya Ia disebut Isvara,
karena sifat-sifat ini berada di dalam-Nya (aisvaryam
tad gunasadbhavah). Ia
mengamati sesuatu yang dapat diamati dan lebih tinggi dari Purusa. Ialah
yang menjadi sasaran meditasi yang berasal dari perkataan dan Manas, karena Ia mengatasi pencapaian
kata-kata dan Manas. Ia adalah Niskala, namun berbeda dengan Pralayakala. Walaupun Niskala, Ia memiliki sifat mahatahu dan
mahakuasa.
Ia adalah penguasa segala ajaran yang
membawa pada pencapaian empat tujuan umat manusia yang dikenal. Ia merupakan
penguasa semua makhluk hidup kecuali para Siddha
dan Isvara. Ia disebut Brahman karena Ia bertanggung jawab
terhadap pengkasaran dari Vidya, Kala, dan Butha, namun Ia tetap mengatasinya. Ia
adalah penguasa dari Brahma, makhluk
pertama yang berbeda dengan semua subyek yang terbatas yang dikatakan sebagai Virinci. Ia disebut Siva karena ia bebas dari segala kemalangan dan dengan demikian
menyatakan pengalaman bebas yang abadi (nitya).
Konsepsi tentang akibat atau Karya, menurut Lakulisa Pasupata, sangat berbeda dengan sistem filsafat lainnya.
Ia bukanlah Vikrti, sebagai lawan
dari Prakrti menurut sistem Samkhya, karena di dalamnya bukan saja “Vikrti” tetapi juga Purusa atau subyek, yang bukan Prakrti
(penyebab) maupun Vikrti
(perubahan). Selanjutnya, Ia tidak mengakui teori evolusi bahwa Mahan berasal dari Prakrti dsb, sebaliknya ia berpendapat bahwa segala sesuatunya ada
dalam sakti (daya) Tuhan dan penciptaan tidak lebih dari pengkasaran dari apa
yang ada dan penyelenggaraan dari apa yang terpisah adanya menjadi keseluruhan
ini, sesuai dengan kehendak-Nya.
Akibat juga bukanlah cuma sifat dari “pemikiran”
dalam Pikiran Universal, seperti pandangan dari Monistik Kasmir, karena Lakulisa Pasupata menemukan perbedaan
antara yang berjiwa dengan yang tak berjiwa (Cit dan Acit) walaupun
mereka ada dalam daya Tuhan. Akibat juga bukan Cuma khayalan seperti yang
dikemukakan oleh para Vedantin,
karena Lakulisa pasupata bukanlah
monistik, tetapi dualisme yang monistik. Ia mengakui bahwa realitas bukanlah
kesatuan yang murn tetapi kesatuan dalam kejamakan, sehingga menurutnya
kejamakan ada dalam kesatuan seperta yang dilakukan bintang-bintang di surga.
Akibat juga bukannya tak terjadi sebelum sesuatunya terjadi seperti asatkaryavadin-Nya Nyaya dan Vaisesika, karena
akibat sebagai sebuah kategori menurut Pasupata
Lakulisa, adalah abadi.
Tampak bahwa Lakulisa Pasupata dipengaruhi dalam konsepsi tentang kategori utama
yang kedua, yaitu akibat, oleh konsepsinya tentang kategori utama yang pertama,
yaitu Pati, yang kemungkinan hanya
pada suatu tahapan yang berikutnya dalam pengembangan sistem, yang disebut
penyebab (Karana), karena “Pati” hanya kata yang dipergunakan
sebagai kategori pertama dalam Pasupata
Sutra, pada sutra pertama; demikian pula kata “Pasu” dipergunakan untuk kategori kedua yang tampaknya menjadi apa
yang dikendalikan oleh Tuhan (pasanat
pasuh). Dan kemuadian dua yang pertama, yang hany merupakan kategori
metafisika yang diberi nama yang lebih bersifat filsafat yaitu penyebab (karana) dan akibat (karya). Kata Karya sebagai nama dari kategori yang kedua dalam
filsafat ini, bukan berarti“ yang diakibatkan atau hasil yang belum ada sebelum
dihasilkan”; tetapi yang merupakan obyek dari kehendak Tuhan yang bebas, yaitu
yang “tidak bebas” (asvatantra)
sebagai lawan dari Tuhan (Tuhan).
3. Siva Nandhi
Siva sebagai Mahadeva, yaitu Siva sebagai dewa tertinggi menurut kitab Silparatna
dalam perwujudannya digambarkan bertangan empat, delapan,
sepuluh dan enam belas. Bermata tiga (trinetra), berpakaian kulit harimau, memakai tali kasta (upavita) ular, mengenakan hiasan telinga (kundala) dan hiasan kepala (jatamakuta), kadang-kadang digambarkan berkendaraan sapi (Nandi) (Dubreuil 1937:18-22, Rao 1968:114-115). Di Jawa Siva Mahadewa digambarkan dalam sikap duduk atau berdiri di atas padmasana atau asana polos, bertangan dua atau empat.
Siva
memiliki binatang kesayangan
yang menjadi kendaraannya, yaitu seekor lembu bernama Nandini. Siva juga
memiliki pakaian kulit harimau, melambangkan instink atau sifat binatang yang
ada dalam diri manusia, yang telah mampu ditaklukkan oleh Siva. Kata sandi bagi Siva adalah
"HARA" dan untuk Visnu
adalah "HARI". Senjata Siva
adalah trisula, atau tombak pendek bermata tiga. Ketiga mata trisula itu
diartikan dengan berbagai makna mewakili tiga phase waktu (dulu, sekarang, masa
yang akan datang); ketiga aspek yaitu penciptaan, pemeliharaan dan peleburan,
ketiga guna (tiga sifat dasar suatu
benda), yaitu satvam (kesucian), rajas (sifat yang aktif), tamas (sifat bodoh dan dungu). Ketiga
guna inilah yang membuat wujud-wujud baru dari suatu bentuk. Dan untuk mencapai
persatuan dengan Siva maka seseorang
harus membakar habis semua sifat-sifat yang diwakili oleh ketiga guna itu.
Semua konsep ini telah membentuk satu wujud yang maha memenuhi, universal dari Siva, yang merupakan penguasa hidup dan
mati, baru dan yang lama, baik instink binatang maupun manusia. Keberadaan Siva yang bersifat abadi dinyatakan
dalam istilah atau gelar Sadasiva.
Nandini (Sansekerta "yang
menyenangkan") adalah seekor lembu betina. Lembu ini dipakai sebagai
wahana Batara Siwa. Nandini juga melambangkan sebagai lembu
kekayaan, milik Bagawan Wasista, konon terlahir dari Surabhi, sang lembu kemakmuran yang muncul ketika samudra diaduk. Nama lain Nandini yang dikenal di Indonesia adalah Andini dan Handini.
Patungnya ada di Candi Prambanan. Lembu Nandini dikenal mempunyai sifat tak kenal takut. Nama Nandini juga umum dipakai untuk nama
perempuan di India dengan harapan agar yang diberi nama akan menjadi kuat. Semakin giat Dewa
Nandi melayanani Dewa Siwa, semakin gembiralah dia. Estasi dalam tugas
pelayanan selalu saja diperolehnya secara akumulatif. Kekuatan dewanya mulai
dirasakan tiada cukup lagi untuk menopang tugas yang dicintainya, Nandi merubah
tubuhnya menjadi seekor lembu yang luar biasa, dengan keempat kaki sekokoh sari
keempat kitab Weda, bergerak, berjalan bahkan menari-nari kecil seiring
Tandava Sang Nataraja. Bicaranya disampaikan dengan lafal jelas dan
mencerahkan. Improvisasi adalah bagian dari keindahan yang selalu dinanti nanti
Iswara. Lembu Nandi sungguh jugalah sastrawan, sejarawan, seniman, dan
penghibur, ia membawa pendengarnya untuk melihat, menyelami dan merasuki sampai
ke inti samudera semesta, sambil mengagungkan Brihaspati, dan lidahnya digerak
gerakan oleh Dewi Saraswati. Ritme suaranya bagai kicau burung Kalavinka
di telinga Shambu, membuat Sadyojata tak tahan ikut berbagi; tentang
dharma, karakter, etika dan estetika. Tentang yang rasional dan yang
empiristis, penciptaan dan pemeliharaan, perubahan yang seharusnya, tentang
kesejahteraan lahir dan ketentraman batin. Lembu Nandi mengerti tuannya adalah
sang Anugerah Murti, dan lewat pelayanan, pada diri sendiri juga yang dilayani,
seisi semesta. Vocasional Lembu Nandi tidak sebatas penutur, tenaga fisik dan
terlebih pikiran, berada didalam satu kesatuan peran profesionalisme. Sang
pelayan yang selalu ingin membuat senang hati tuannya. Dan tak hendak membuat
Bethara Guru menjadi Samhara Murti. Lembu Nandi siap bekerja siang malam,
dengan dikawal Surya dan Chandra.
Nandi atau Nandiswara adalah lembu yang menjadi kendaraan dari dewa Siwa dalam mitologi Hindu. Candi yang mempunyai arca Nandi biasanya dikategorikan sebagai candi untuk pemujaan agama
Hindu Siwa.Candi yang mempunyai arca Nandi biasanya dikategorikan sebagai candi
untuk pemujaan agama Hindu Siwa. Nandhi adalah lembu putih kendaraan Ciwa (Siwa) sehingga dalam satu
perwujudannya siwa disebut Nandiswara.
Candi yang mempunyai arca Nandhi
biasanya dikategorikan sebagai candi untuk pemujaan agama Hindu aliran Siwa.
Melintas dihadapan Lembu Nandi yang sedang rebahan. Tempatnya tepat di ujung lapangan
hijau yang luas terbuka. Di hadapannya ada kolam besar yang dipenuhi bunga
teratai. Begitu anggun seperti yang selama ini digambarkan orang-orang. Konon
kabarnya Lembu Nandi adalah penjaga
gerbang dan kendaraan Siwa. Disebut
sebagai binatang suci walaupun ada juga bangsa yang menyebutnya sebagai berhala.(Google:
18 Maret 2011:19.30)
NANDI atau Nanda
merupakan nama lembu gumarang (lembu yang mempunyai dasar warna bulunya putih
bertaburkan merah kuning keemasan). Dalam cerita pewayangan, Nandhi dikenal pula dengan nama Nandini atau Handini. Nandhi adalah anak raja jin bernama Prabu Patanam di negara Dahulagiri, sebelah timur laut Pegunungan Tengguru/Himalaya. Ia
mempunyai saudara sekandung yang dilahirkan kembar berwujud raksasa
masing-masing bernama Cingkarabala dan Balakupata, yang menjadi penjaga pintu gapura Selamatangkep di kahyangan Jonggringsaloka.
Nandi
sangat sakti, kuat dan
bengal. Karena kesaktiannya itu ia menobatkan diri sebagai penguasa jagad raya,
disanjung dan dipuja rakyat di jasirah Dahulagiri. Mendengar pemujaan Nandi yang berkebihan itu, Sanghyang Manikmaya/Bathara Guru menjadi
sangat murka. Karena di seluruh Tribuana (jagad
Mayapada, Madyapada dan Arcapada)
seharusnya tidak ada yang pantas dipuja dan disembah kecuali dirinya sebagai
raja Dewata. Nandi
sang lembu, wahana Dewa Siwa,
melambangkan kekuatan dan kejantanan.
Bathara
Guru kemudian datang ke
Dahulagiri untuk memerangi Nandi.
Peperangan pun tejadilah. Dengan Aji
Kamayan, Bathara Guru berhasil menundukkan Nandi. Ia menyerah dan mohon pengampunan. Oleh Bathara Guru, Nandi
diampuni dan diboyong ke Suralaya,
dijadikan tunggangan pribadi Bathara
Guru. Nandi pernah dipinjam oleh Prabu
Pandu, raja negara Astina,
memenuhi permintaan Dewi Madrim,
istrinya yang waktu itu sedang mengandung Nakula
dan Sadewa, untuk dinaiki terbang
berputar-putar di atas taman Kadilengleng negara Astina.
Sapi dalam Agama Hindu adalah binatang suci
“Nandini” sebagai palinggihan Ida Bhatara Siwa oleh karenanya disakralkan,
bukan diharamkan seperti babi dalam Agama Islam. Pantangan menyakiti, membunuh, memakan dagingnya
adalah dalam kaitan sujud bhakti kita ke hadapan Ida Bhatara Siwa (Tuhan Yang
Maha Esa). Bagaimana mungkin setiap hari kita memuja-Nya, lalu di kesempatan
lain kita memakan daging binatang suci kesayangan-Nya? Aturan-aturan mengenai
tidak menyakiti, membunuh, dan memakan daging sapi ada dalam Parasara
Dharmasastra (Smrti Kaliyuga) Bab IX.
Pasal 37:
Ia yang mendorong
seekor sapi ke dalam kolam atau sumur atau menindih punggungnya dengan pohon
atau menjualnya kepada penggemar daging sapi dinyatakan berdosa membunuh sapi.
Pasal 62:
Ia yang telah membunuh
seekor sapi mencoba menyembunyikan dosanya dalam kehidupan ini setelah mati
dicampakkan dalam kepedihan neraka kalasutram.
Pasal 63:
Terlepas dari neraka
itu ia dilahirkan sebagai seorang yang dikebiri (wandu?) Atau seorang penderita
penyakit kusta (atau aids?) Atau sebagai seorang yang miskin pada tujuh
penjelmaan secara berturut-turut.
Bagi seorang Pendeta/ Pandita (Brahmana Dwijati) tercantum dalam Bab XI
Pasal 1:
Setelah (dengan tidak
sengaja) makan daging sapi atau nasi seorang candala atau materi organik kotor
seperti sperma dsb. Seorang brahmana harus melakukan upacara penebusan dosa
candrayana.
Selanjutnya unsur-unsur sapi disakralkan dalam
upacara pembebasan dosa antara lain tercantum dalam Bab XI
Pasal 27:
Kesucian dan pembebas
dosa adalah pancagavyam, yang merupakan campuran dari air kencing sapi, tahi
sapi, susu sapi, susu sapi beku, mentega murni dari susu sapi, dan air cucian
rumput kusa.
Dalam lontar-lontar Kusumadewa dan Silakrama
dicantumkan bahwa seorang Ekajati (Jero mangku) apalagi seorang Dwijati
(Pandita) dilarang untuk: memegang tali sapi, melangkahi tali sapi, menginjak
tahi sapi, dan kencing di atas tahi sapi, di samping larangan-larangan dalam Parasara
Dharmasastra tersebut di atas. Sikap kita adalah menjalankan swadarma sebagai
pemeluk Hindu yang baik antara lain meyakini kebenaran sastra Agama tersebut. Untuk
kesehatan dan pertumbuhan badan masih banyak sumber protein selain daging sapi
yang bisa dimakan. Susu, mentega, dan keju dari sapi boleh diminum-dimakan.
Juga masih ada kambing, bebek, ayam dan hewan lainnya.
Bagi mereka yang sudah mewinten (Ekajati)
dan yang sudah madiksa (Dwijati) selain daging sapi juga dilarang
memakan daging babi, ayam, binatang melata, dan binatang lain yang tidak wajar
dimakan dagingnya seperti anjing, kucing, tikus, dll. Daging yang dimakan
mempengaruhi perilaku yang memakannya, misalnya jika memakan daging babi akan
menjadi malas seperti babi (tamas); jika makan daging ayam akan suka
berkelahi seperti ayam (rajas); jika makan daging anjing akan terjangkit
sipilis, dll. Sesungguhnya menjadi vegetarian bagus, selain mencegah penumpukan
kolesterol, juga menurut beberapa akhli kedokteran dikatakan bahwa manusia
diciptakan sebagai mahluk yang tidak memakan daging karena susunan gigi dan
sistem pencernaan ususnya tidak sesuai. Yang cocok adalah makan biji-bijian
(beras, ketan, injin, tahu, tempe, dll), umbi-umbian (kentang, ubi, wortel,
dll), sayur-sayuran, buah-buahan, susu, dan madu.
Arca
Nandi adalah pertanda
keberadaan agama Hindu Saiwa, Kuil Nandi
selalu berada di depan Kuil Maha Dewa
dan pemujaan terhadap Nandi merupakan
awal pemujaan terhadap Siwa. Penemuan
arkeologi arca arca pemujaan dari batu beralih ke perunggu membuktikan bahwa
praktek menyembahan terhadap para dewa telah berkembang seiring dengan
perkembangan teknologi pengecoran logam pada masanya.
Semakin giat Dewa
Nandi melayanani Dewa Siwa, semakin gembiralah dia. Estasi dalam
tugas pelayanan selalu saja diperolehnya secara akumulatif. Kekuatan dewanya
mulai dirasakan tiada cukup lagi untuk menopang tugas yang dicintainya, Nandi
merubah tubuhnya menjadi seekor lembu yang luar biasa, dengan keempat kaki
sekokoh sari keempat kitab Veda, bergerak, berjalan bahkan menari-nari
kecil seiring Tandava Sang Nataraja. Bicaranya disampaikan
dengan lafal jelas dan mencerahkan. Improvisasi adalah bagian dari keindahan
yang selalu dinanti nanti Iswara. Lembu Nandi sungguh jugalah sastrawan,
sejarawan, seniman, dan penghibur, ia membawa pendengarnya untuk melihat,
menyelami dan merasuki sampai ke inti samudera semesta, sambil mengagungkan
Brihaspati, dan lidahnya digerak gerakan oleh Dewi Saraswati. Ritme
suaranya bagai kicau burung Kalavinka di telinga Shambu, membuat Sadyojata
tak tahan ikut berbagi; tentang dharma, karakter, etika dan estetika. Tentang
yang rasional dan yang empiristis, penciptaan dan pemeliharaan, perubahan yang
seharusnya, tentang kesejahteraan lahir dan ketentraman batin. Lembu Nandi
mengerti tuannya adalah sang Anugerah Murti, dan lewat pelayanan, pada diri
sendiri juga yang dilayani, seisi semesta. Vocasional Lembu Nandi tidak
sebatas penutur, tenaga fisik dan terlebih pikiran, berada didalam satu
kesatuan peran profesionalisme. Sang pelayan yang selalu ingin membuat senang
hati tuannya. Dan tak hendak membuat Bethara Guru menjadi Samhara
Murti. Lembu Nandi siap bekerja siang malam, dengan dikawal Surya dan
Chandra. (Google: 27 Maret
2012:18.30)
Candi
Nandi. Candi ini
mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat, yaitu ke Candi Syiwa. Nandi adalah lembu suci
tunggangan Dewa Siwa. Jika dibandingkan dengan Candi Garuda dan Candi Angsa yang berada di sebelah kanan dan kirinya, Candi Nandi mempunyai bentuk yang sama,
hanya ukurannya sedikit lebih besar dan lebih tinggi. Tubuh candi berdiri di
atas batur setinggi sekitar 2 m. Seperti yang terdapat di Candi Syiwa, pada dinding kaki terdapat dua motif pahatan yang
letaknya berselang-seling. Yang pertama merupakan gambar singa yang berdiri di
antara dua pohon kalpataru dan yang kedua merupakan gambar sepasang binatang
yang berteduh di bawah pohon kalpataru. Di atas pohon bertengger dua ekor
burung. Gambar-gambar semacam ini terdapat juga pada candi wahana lainnya.
(Google: 27 Maret 2012: 18.30)
Lembu dipandang sebagai penjelmaan dewa, dan
dianggap sama dengan kasta Brahmana. Di sorga lembu mendapat penghormatan yang
tertinggi, sehingga Sorga Wisnu yang tertinggi, Golaka sebenarnya disebut
menurut sebutan Lembu itu. Lembu jantan, Nandi dianggap suci juga, sebab
menjadi kendaraan dewa Siwa. (Hadiwijono, 2002:46-47)
Ketika orang-orang Arya menetap
di India, sapi adalah satu-satunya binatang yang dapat mereka ternakan. Pada zaman Weda, sapi
adalah anugrah yang sangat berharga bagi masyarakat. Sapi menyediakan bagi
mereka susu, daging, keju dan yogurt. Kulit sapi yang mati dipergunakan utuk
tempat berteduh dan pakaian. Jadi masyarakat dalam zaman Weda sungguh-sungguh
berhutang budi dalam banyak hal kepada sapi. Ini kemudian membuat mereka
memandang sapi dengan penuh penghormatan. Mythologi berbicara tentang seekor
sapi abadi (celestial cow) bernama Kamadhenu yang dapat memberikan dan memenuhi
semua keinginan. Krishna adalah pengembala dan dia menghabiskan masa
kanak-kanak dan masa mudanya memelihara sapi. Sejalan dengan waktu, sapi
dipandang sebagai sebuah simbol ibu. Bahkan dalam tulisan Manu ada referensi
khusus kepada sapi, dan melarang pembunuhan sapi. Reg Weda (6:28) mengatakan,
"Sapi-sapi adalah Tuhan; mereka tampak bagiku menjadi Indra, Dewa
Surga." Masyarakat Hindu diharapkan menjadi vegetarian. Bagi orang-orang
Hindu fanatik, sapi masih merupakan segala sesuatu. Tentu saja mayoritas orang
Hindu menghindari makan daging. Namun bagaimanapun, diantara massa fanatik di
India, membunuh sapi akan merupakan masalah yang sangat kontroversial untuk
masa-masa yang akan datang.
Sapi-sapi disebutkan dalam Reg
Weda sebagai "aghya," atau tidak untuk dibunuh, adalah sapi
yang memberi susu. Rig Weda tidak mengesampingkan pembunuhan banteng dan sapi
pada berbagai kesempatan keagamaan. Aitareya Brahmana berbicara mengenai
pengorbanan anak sapi kepada para dewa. Dalam Griha Sutra, pengorbanan sapi
dikaitkan dengan banyak upacara keagamaan, bahkan Manu, yang dalam berbagai
peraturannya melarang makan daging, mengatakan, "Seseorang boleh makan
daging bila daging itu sudah diperciki air suci dan dimantrai, ketika seseorang
terlibat dalam menyiapkan suatu upakara sesuai hukum, dan bila hidup seseorang
dalam bahaya (Manusmriti 5:27).
Dalam Ramayana, Maharesi Agastya
memakan kambing jantan sehingga dia mampu menghilangkan raksasa Vatapi. Dalam
Mahabharata dikatakan bahwa dalam istana Rantidewa, kurang lebih dua ribu sapi
dibunuh tiap hari untuk memberi makan para Brahmin. Segala macam daging
disediakan pada perkawinan Panjali (Pancahali, Darupadi, pen) dalam
Mahabharata.
Fungsi petulangan dalam
upacara ngaben sangat erat kaitannya de-ngan kepercayaan nenek
moyang terhadap binatang-binatang yang dianggap suci, keramat, memiliki
kekuatan dan dijadikan lambang-lambang tertentu. Seperti kerbau yang terdapat
diseluruh tanah air dipandang sebagai lambang kesuburan, sebagai penolak
roh-roh jahat dan sebagai tunggangan roh le-luhur di akhirat (Hoop, 1949:136).
Di daerah Toraja, Sulawesi pada waktu peralatan penjenasahan banyak kerbau
dipotong, satu di antara kerbau tersebut dianggap sebagai kendaraan orang yang
meninggal di akhirat. Hias-an rumah masyarakat Toraja dibuat dari kayu
berbentuk kerbau. Hal ini ada persamaan dengan petulangan berbentuk
lembu pada upacara ngaben di Ba-li. Binatang kerbau mempunyai
arti yang sangat penting dalam upacara penjenasahan (Hoop, 1949:138).
Kepercayaan terhadap binatang menjangan yang
disucikan, digam-barkan dalam bangunan bagian muka dari Menjangan Seluang
Mospait, ru-mah suci untuk dewa Mojopahit dalam kuil di Pura Desa Singaraja
Bali, sua-tu peringatan terhadap perpindahan orang Hindu Jawa ke Bali setelah
jatuh-nya Majapahit (Hoop, 1949:156). Di Bali kepercayaan terhadap binatang
lembu sebagai binatang yang disucikan. Lembu dipercaya sebagai wahananya Dewa
Siwa. Dewa Brahma dipandang sebagai dewa pencipta segala yang ada, wahananya
binatang singa. Sedangkan Dewa Wisnu ber-fungsi sebagai pemelihara, wahananya
naga. Binatang-binatang tersebut disucikan, dihormati, sebagaimana menghormati Dewa-Dewa
dengan manifestasinya masing-masing.
Menurut Drs. Ida Bagus Purwita dari Griya Yang
Batu Denpasar, (sekarang sulinggih) meninjau dari segi filosofinya bahwa
perwujudan petu-langan dengan motif binatang, mengandung arti
sebagai petunjuk jalan ke sorga bagi roh orang yang telah meninggal. Binatang
nama lainnyasattwa terdiri dari kata sat dan twa. Sat berarti
inti (esensiil); twa berarti sifat. Jadi sattwaberarti
bersifat esensiil dalam agama ialah Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Dengan menggunakan petulangan berbentuk binatang, mengandung
maksud agar roh secepatnya menuju Siwa Loka (Ida Sang Hyang
Widhi Wasa). Sedangkan binatang tersebut sebagai perwujudan petu-langan sesuai
dengan keyakinan dan kepercayaan umat terhadap kesucian dari binatang tersebut.
4. Cetana Dan Acetana
Wrhaspati Tattwa menyebutkan
bahwa ada dua unsur element utama yang menjadi sumber adanya segala sesuatu
yang disebut ”Rwa Bhineda tattwa”, yakni terdiri dari ”Cetana”
dan ”Acetana”. (Pudja, 1983:7). Kedua elemen pokok inilah yang menjadi
pokok pembicaraan dalam ajaran filsafat Wrhaspati Tattwa tersebut. Istilah
Cetana adalah kata dalam bahasa sansekerta yang berasal dari kata ”cetas”
yang merupakan kata benda netrum yang bearti ”jiwa, kepribadian atau kesadaran
(konsciousenss). Sedangkan Acetana bermakna tanpa keperibadian atau
kesadara konsciousenss, maka Acetana adalah berupa kata bukan kebendaan yang
sifatnya maya (Pudja, 1983:7).
Kedua unsur atau element yang
disebut Cetana dan Acetana ini sifatnya seba gaib (suksma) yang menjadi
asal mula dari segala sesuatu. Oleh karena itu keduanya tidak dapat
terpisahkan. Cetana adalah unsur kesadaran atau kejiwaan atau spritualitas yang
mutlak tetap ingat, tidak pernah lupa, tiada berawal dan tiada berakhir, kekal
abadi serta menjadi sumber atau benih kesadaran atau kejiwaan yang tertinggi
dari alam semsta dan segala mahkluk. Sedangkan Acetana adalah unsur yang tanpa
kesadaran atau tanpa jiwa, tetap bersifat lupa dan tiada pernah ingat, serta
menjadi benih atau sumber asal mula
material dari pada alam semesta dengan segala isinya dan sebala mahkluk.
Cetana sebagai sumber
kejiwaan atau spiritual atau kesaran yang suci murni maka sifatnya adalah
mutlak dan kekal abadi, sehingga dalam hinduisme cetana disebut denga Siva
tattwa. Sedangkan Acetana adalah elemen dasar material yang membentuk berbagai
wujud sesuatu beserta dengan sifatnya masng-masng, dari tingkat yang terhalus
sampai dengan tingkat yang terbesar yang disebut dengan Maya tattwa.
Istilah Siva berasal dari
bahasa sansekerta yang dalam bentuk ajektivenya berarti mulia, dan dalam bentuk
noun masculinenya bermakna dewa atau Tuhan (Sumawa, 1996:301). Dari sudut
pandang filsafat dengan banyak sedikitnya pengaruh maya terhadap cetana maka ia
digolongkan menjadi tiga wujud Tri Purusa yaitu: Parama Siva atau Tuhan dalam
keadaan Nirguna Brahman (tidak terpikirkan), Sada Siva atau Saguna Brahma,
Tuhan dalam keadaan Sagunam atau berkeinginan dan Siwatma atau Tuhan dalam
pengaruh maya yang menjadi jiwa semua mahkluk. Perbedaan wujud seperti di atas
bukanlah mengandung arti politheis karena ini pokoknya atau sumbernya tetap
satu atau tuggal namun digolongkan menjadi tiga wujud yang didasarkan atas
sifat, fungsi, dan aktivitas tertentu sebagai akibat ada tindakan pengaruh
maya.
Pada hakekatnya Parama Siva,
Sada Siva dan Sivatma itu adalah tunggal dan adanya perbedaan berupa tiga wujud
itu semata-mata karena adanya pengaruh maya. Sebagai contoh seorang dosen yang
mengajar mata kuliah Sivasiddhanta, jika dalam keadaan mengajar di kampus maka
orang tersebut disebut dengan dosen, jika orang tersebut pulang kerumah maka ia
menjadi suami bagi istrinya, dan ayah atau bapak bagi anaknya, jika orang itu
sedang berbaur bersama-sama dengan warga lainnya disebut anggota masayrakat,
jika sedang berada di sawah disebut degan petani, jika sedang berada di laut
memancing ikan maka disebut nelayan dan seterusnya. Dari semua sebutan nama
tadi sebenarnya oragnya adalah satu tetapi karena pekerjaannya banyak maka
orang tersebut mempunyai banyak nama sesuai dengan pekerjaannya, sifatnya,
tempatnya dan juga tanggung jawabnya, demikianlah juga dengan Tuhan yang
memiliki tiga fungsi yang pada dasarnya Tuhan hanya satu. Untuk lebih jelasnya
berikut dijeaskan masing-masing sifat Tuhan dalam bentuk parama Siva, sada Siva
dan Sivatma sebagai berikut: Paramasiva yang juga disebut cetana/purusa atau
kejiwaan kesadaran tertinggi tetapi belum sama sekali kena pengaruh maya,
sadasiva tuhan sudah mulai mengambil fungsi atau kena imbas dari acetana atau
maya karena sudah beraktivitas sedangkan Siva yang berasal dari bahasa
sansekerta yang dalam bentuk ajektifnya yang berarti mulia, atau Tuhan yang
benar-benar terpengaruh atau berada di dalam maya itu sendiri.
5. Siwa Kasmir
Para praktisi dari Shaivism nondualistik Kashmir
sistematis ajaran Shaivite kuno. Mereka datang untuk melihat dunia sebagai
Kesadaran mutlak, yang mereka sebut Siwa. Kesadaran
ini, menjadi satu baik dan bebas, kreatif dan self-reflektif, terungkap sebagai
saya fundamental, atau Diri Ilahi. Dengan demikian, Kashmir Shaivism menekankan
Diri batin. Pertumbuhan sistematis Kashmir Shaivism
dilipat sebagai praktisi tercermin pada sifat realitas tertinggi,
menggambarkannya sebagai kesadaran murni. Kesadaran
ini murni dipahami sebagai tidak inert, tetapi dinamis, dengan dinamisme
menjadi kualitas yang tidak terpisah dari Kesadaran itu. Penegasan filosofis mendasar
dari Kashmir Shaivism adalah bahwa keberadaan kita tidak lain adalah energi tak
terbatas Kesadaran. Ini adalah perayaan kekuatan kreatif dalam setiap individu dan
pengakuan kekuasaan setiap orang pilihan bebas.
Ketika awal Trika master mencari cara untuk berbicara
tentang pengalaman mereka Kesadaran, mereka menunjuk pertemuan yang berbeda
dengan Dunia di sekitar mereka untuk menggambarkannya. Wawasan mereka yang paling
dasar adalah bahwa tak terbatas bukan hanya energi, tetapi energi sadar. Ini adalah dasar dari semua realitas yang kita kenal. Hal ini, mereka melanjutkan
dengan mengatakan, kesadaran murni yang sama sekali diam. Pada saat yang sama, ini sadar
energi adalah dinamis. Hal ini karena hidup ini tidak hanya keheningan tetapi juga
gerakan dan vitalitas. Jadi sejak awal mereka menegaskan sebuah paradoks tentang Yang
Mutlak, mengatakan bahwa itu adalah keheningan dan vitalitas yang dinamis. Tuhan, kata mereka, adalah
keheningan dinamis.
Diantara
berbagai filsafat Hindu, Kashmir Shaivism (Kasmir Saivism) adalah sekolah Saivism terdiri dari Trika dan Pratyabhijña artikulasi filosofisnya. Hal ini dikategorikan oleh berbagai
akademisi sebagai monistik idealisme (idealisme absolut,
monisme teistik, idealisme
realistis, transendental
fisikalisme atau monisme beton. Sikap tertentu adalah
Kesadaran bahwa adalah hal yang mendasari alam semesta. Ini berbeda dari Vedanta Advaita dari Shankara, yang juga memberikan keunggulan
untuk Kesadaran Universal (Brahman), tetapi menyatakan bahwa Dunia fenomenal
adalah ilusi (maya). Tidak sebut Dunia nyata yang fenomenal,
tetapi melihatnya sebagai permainan Kesadaran, yang berarti bahwa segala
sesuatu ada dan memiliki keberadaan dalam Kesadaran. Dengan demikian, filsafat Kashmir Shaivism, juga disebut
Trika, bisa dilihat sebagai penyempurnaan atau penyesuaian Shankara yang
Advaita.
Tujuan dari Kashmir Shaivism adalah untuk bergabung dalam
Kesadaran Shiva atau Universal, atau menyadari satu sudah ada dengan identitas
Siwa, melalui kebijaksanaan, yoga dan kasih karunia. "Kashmir Shaivism
telah merambah kekedalaman pemikiran yang hidup di mana arus beragam hikmat
manusia bersatu dalam sebuah sintesis bercahaya". Kashmir Shaivism muncul
selama delapan atau kesembilan
abad Masehi. di Kashmir dan membuat langkah
signifikan, baik filosofis dan teologis, sampai akhir abad kedua belas Masehi. Sebuah rumah tangga agama, itu didasarkan pada interpretasi yang monistik yang kuat dari Tantra Bhairava (dan subkategori yang dimiliki oleh Tantra Kaula), yang ditulis oleh tantra Kapalikas. Ada tambahan wahyu dari Sutra Siva untuk Vasugupta. Kashmir
Saivism mengaku menggantikan Siwa Siddhanta, tradisi dualistik yang
sarjana mempertimbangkan normatif tantra Shaivism. Para
Siwa Siddhanta tujuan menjadi sebuah Siwa ontologis yang berbeda (melalui
anugerah Siwa) digantikan dengan
mengenali diri sendiri sebagai Siwa yang, di Kashmir monisme Saivism, adalah
keseluruhan dari alam semesta. Somananda,
teolog pertama Saivism monistik, adalah guru dari Utpaladeva, yang merupakan
grand-guru Abhinavagupta , yang pada
gilirannya adalah guru dari Ksemaraja.
a. Ikhtisar Filosofis
Titik pandang Kashmir Shaivism
dapat diringkas dengan konsep Citi, mala, upaya dan moksha,
sebagai berikut.
1. Citi: Kesadaran Universal (Citi) adalah hal-hal mendasar dari alam
semesta. Kesadaran ini adalah salah
satu dan termasuk seluruh. Hal
ini juga bisa disebut Tuhan atau Siwa.
2. Mala: kontrak Kesadaran itu sendiri. Yang
satu menjadi banyak. Shiva
menjadi individu (jiwa). Kontraksi ini disebut mala (kotoran). Ada tiga Malas, maka mala individuasi (anava mala), maka mala dari pikiran terbatas (māyīya mala), dan mala tubuh (karma mala).
3. Upāya: Seorang individu terjebak dalam penderitaan keberadaan diwujudkan,
menderita oleh tiga Malas, akhirnya merindukan untuk kembali ke keadaan
primordial nya dari Kesadaran Universal. Untuk mencapai ini, ia melakukan
praktek sadhana atau spiritual. Kashmir Shaivism menjelaskan empat
metode (upāya-s): ānavopāya, metode tubuh, saktopāya, metode pikiran, sāmbhavopāya, metode Kesadaran, dan anupāya yang 'methodless' metode.
4.
Moksa: Buah dari sadhana individu adalah pencapaian
realisasi diri (moksa). Di Kashmir Shaivism, keadaan
pembebasan (mukti) disebut Sahaja samadhi dan ditandai dengan pencapaian
kebahagiaan teguh kesadaran ketika tinggal kehidupan biasa seseorang.
b. Anuttara, Agung
Anuttara adalah prinsip utama di Kashmir Shaivism, dan dengan
demikian, itu adalah realitas fundamental bawah seluruh alam semesta . Di antara multitafsir dari Anuttara adalah: "tertinggi",
"di atas semua" dan "realitas yang tak tertandingi". Dalam bahasa Sansekerta alfabet Anuttara dikaitkan dengan huruf pertama "A"
(Devanagari). Sebagai prinsip utama, Anuttara diidentifikasi dengan Siva, Sakti (Sakti sebagai
identik dengan Siva), kesadaran tertinggi (cit), cahaya tidak diciptakan (Prakasa), tertinggi subjek (aham) dan getaran temporal (spanda). Praktisi yang menyadariAnuttara melalui cara apapun, baik dengan usaha
sendiri atau dengan transmisi langsung oleh Rahmat Siwa/shakti, dibebaskan dan
merasakan sekali tidak ada perbedaan antara dirinya dan tubuh semesta. Menjadi dan makhluk menjadi satu dan
sama berdasarkan dari "gesekan erotis", dimana subjek memandang objek
dan yang bertindak persepsi diisi dengan nondual menjadi/kesadaran/kebahagiaan. Anuttara berbeda dari konsep transendensi dalam hal
itu, meskipun itu adalah di atas segalanya, tidak berarti keadaan pemisahan
dari Universe. Aham adalah
konsep realitas tertinggi sebagai jantung. Hal
ini dianggap menjadi ruang non-dual interior Siwa, dukungan untuk manifestasi
keseluruhan, mantra tertinggi dan identik dengan Sakti.
Pratyabhijña adalah artikulasi
filosofis Kashmir Saivism. Pratyabhijña
secara harfiah berarti "pengakuan spontan", karena tidak memiliki upāyas (berarti), yaitu, tidak ada yang
praktek; satu-satunya hal yang harus dilakukan adalah mengenali siapa Anda . Ini "berarti" benar-benar
bisa disebut anupāya, bahasa Sansekerta untuk
"tanpa berarti". Ksemaraja,
mahasiswa dari Abhinavagupta, menggunakan analogi
cermin untuk menjelaskan Pratyabhijña. Meskipun peliharaan ke dalam tradisi
rumah tangga, Kashmir Saivism merekomendasikan kinerja rahasia praktek Kaula sesuai dengan warisan. Hal ini harus dilakukan dalam
pengasingan dari mata publik, karena itu memungkinkan seseorang untuk menjaga
penampilan seorang perumah tangga khas.
Konsep kehendak bebas memainkan
peran sentral di Kashmir Shaivism. Dikenal
dengan nama teknis svātantrya itu adalah
penyebab dari penciptaan alam semesta kekuatan primordial yang membangkitkan
mutlak dan memanifestasikan Dunia di dalam kesadaran tertinggi dari Dewa Siwa. Svātantrya adalah satu-satunya milik Allah, semua
sisa subyek sadar menjadi rekan peserta dalam berbagai derajat pada kedaulatan
ilahi. Manusia memiliki tingkat
yang terbatas kehendak bebas berdasarkan tingkat kesadaran. Pada akhirnya, Shaivism Kashmir
sebagai monistik idealis sistem
filsafat memandang semua mata pelajaran menjadi identik "semua adalah
satu" dan yang satu adalah Siva, kesadaran tertinggi. Dengan demikian, semua mata pelajaran
memiliki kehendak bebas tetapi mereka bisa tahu tentang kekuatan ini. Ketidaktahuan juga adalah kekuatan
yang diproyeksikan oleh svātantrya dirinya pada penciptaan dan hanya
dapat dihapus oleh svātantrya.
Sebuah fungsi dari svātantrya adalah bahwa pemberian rahmat ilahi śaktipāt . Dalam sistem filsafat pembebasan
spiritual tidak dapat diakses oleh usaha belaka, tapi tergantung hanya pada
kehendak Allah. Dengan demikian,
murid hanya bisa menyerahkan diri dan menunggu rahmat ilahi untuk turun dan
menghilangkan keterbatasan yang memenjarakan kesadarannya. Kausalitas di
Kashmir Shaivism dianggap diciptakan oleh Svātantrya bersama dengan alam semesta. Dengan demikian tidak ada kontradiksi,
pembatasan atau aturan untuk memaksa Siva bertindak salah satu cara atau yang
lain Svātantrya selalu ada di luar perisai membatasi
ilusi kosmis,. maya . Para inisiat besar pertama tercatat dalam sejarah ini
jalan spiritual adalah Vasugupta (c. 875-925). Vasugupta dirumuskan untuk pertama
kalinya dalam menulis prinsip-prinsip dan doktrin-doktrin utama dari sistem
ini. Sebuah karya fundamental Shaivism, secara tradisional dikaitkan dengan
Vasugupta, adalah Shiva Sutras dari Vasugupta . Secara
tradisional, ini sutra dianggap telah diwahyukan kepada
Vasugupta oleh Siwa. Menurut mitos, Vasugupta memiliki mimpi dimana Siwa menyuruhnya pergi ke gunung Mahadeva di Kashmir. Di
gunung ini dia dikatakan telah menemukan ayat-ayat tertulis di batu, Shiva
Sutras, yang menguraikan ajaran monisme Siwa. Teks
ini adalah salah satu sumber utama bagi Kashmir Shaivism. Pekerjaan adalah kumpulan kata-kata mutiara . Sutra-sutra menjelaskan sebuah (murni non-dual advaita ) metafisika.
Ini sutra, yang diklasifikasikan sebagai jenis
Sastra Hindu dikenal sebagai agamas , juga
dikenal sebagai Siwa Upanishad
Samgraha (Sansekerta: śivopaniṣad sangraha) atau Shivarahasyagama
Samgraha.
Para krama istilah berarti 'kemajuan', 'gradasi'
atau 'suksesi' masing-masing 'perkembangan spiritual' arti atau 'bertahap penyempurnaan
dari proses mental' (vikalpa), atau 'berturut penyingkapan yang
terjadi di tingkat akhir', dalam Kesadaran Agung (cit). Bahkan jika sekolah Krama merupakan bagian integral dari Kashmir
Shaivism, juga sistem independen baik secara filosofis dan historis. Krama adalah signifikan sebagai sintesis
dari Tantra dan Śākta tradisi berdasarkan monistik Saivism. Sebagai Tantra dan Sakti
berorientasi sistem dari mistik rasa, Krama mirip dalam beberapa hal Spanda baik sebagai pusat pada aktivitas Sakti, dan juga mirip dengan Kula dalam pendekatan Tantra mereka. Di dalam keluarga Kashmir Shaivism, sekolah Pratyabhijñā adalah Krama bentuk yang paling berbeda.
Fitur yang paling khas dari Krama adalah monistik-dualistiknya (bhedābhedopāya) disiplin dalam tahap mendahului untuk
realisasi rohani. Bahkan jika Kashmir Shaivism adalah monisme idealistik, masih ada
tempat untuk aspek dualistik sebagai tahap mendahului pada jalan spiritual. Jadi dikatakan bahwa dalam praktek Krama mempekerjakan
dualistik-cum-nondualistik metode, namun dalam filsafat yang mendasari tetap
nondualistik. Krama memiliki
bias epistemis positif, ditujukan untuk membentuk sebuah sintesis dari
kenikmatan (bhoga) dan penerangan (moksa).
Sistem Spanda, diperkenalkan oleh Vasugupta (c. 800 AD),
biasanya digambarkan sebagai "getaran/gerakan kesadaran". Abhinavagupta menggunakan
ungkapan "semacam gerakan" untuk menyiratkan perbedaan dari gerakan
fisik, melainkan lebih merupakan getaran atau suara di dalam Ilahi, sebuah
berdenyut. Inti dari getaran ini adalah kesadaran diri berulang gembira. Prinsip utama dari sistem ini adalah
"semuanya Spanda", baik realitas eksterior obyektif dan
dunia subyektif. Tidak ada tanpa
gerakan, namun gerakan utama terjadi tidak dalam ruang atau waktu, tetapi di
dalam Kesadaran Agung (cit). Jadi, ini adalah siklus dari
internalisasi dan eksternalisasi dari kesadaran itu sendiri, yang berhubungan dengan pesawat
paling tinggi dalam penciptaan (Siva Sakti Tattva).
Kashmir Shaivism bergerak di bawah
tanah selama beberapa abad. Sementara
mungkin ada yogi dan praktisi diam-diam mengikuti ajaran, tidak ada penulis
besar atau publikasi mungkin setelah abad ke-14. Pada abad ke-20 Lakshmanjoo Swami,
dirinya Brahmana Kashmir, membantu menghidupkan kembali baik aliran ilmiah dan
yoga Kashmir Shaivism. Kontribusinya sangat besar. Dia mengilhami generasi ulama yang membuat
Kashmir Shaivism lapangan penyelidikan yang sah dalam akademi. Jangan pula kontribusi Swami Muktananda
diabaikan. Sementara dirinya
tidak termasuk dalam garis keturunan langsung dari Kashmir Shaivism, Muktananda
merasakan hubungan yang besar bagi ajaran yang divalidasi oleh pengalaman
langsungnya. Dia didorong dan didukung Motilal Banarsidass untuk menerbitkan
terjemahan Jaideva Singh dari Shiva Sutras, Pratyabhijnahrdayam, Spanda Karikas
dan Vijnana Bhairava. Dia
juga memperkenalkan Shaivism Kashmir kepada khalayak luas meditator barat
melalui tulisannya dan ceramah pada subjek.
6. Virasaiva
Seperti diketahui bahwa ajaran Vira Saiva
merupakan sistem yang memandang tentang identitas roh (jiva) dan Siva
berjenjang sesuai dengan tingkat kemajuan spiritual penganutnya. Pada tahap
awal, dimana seseorang masih dalam tahapan bhakta (penyembah), ia merasakan
adanya perbedaan (bheda) antara si penyembah (bhakta) dengan yang
disembah (Siva) dan dengan semakin majunya tingkat perkembangan spiritual
seseorang, maka akan tercapailah abiheda (tiada perbedaan) antara si
penyembah (roh) dengan yang disembah (Siva).
Kata “Vira Saiva” tampaknya memiliki makna
historis yang menunjukkan sikap kepahlawanan dari para pengikut Saivaisme dalam
mempertahankan keyakinannya (vira= kegigihan, keperwiraan). Dalam Siddhanta
Sikhamani, terdapat suatu percakapan antara Renuka atau Revana dengan Agastya
tentang arti kata “Vira” tersebut, yaitu:
1). “Vi” artinya pengetahuan (vidya) yang
menyatakan bahwa subyek pribadi (Jiva) identik dengan Siva dan para pengikut
Saivaisme yang menemukan kepuasan dalam pengetahuan semacam itu adalah “Vira
Saiva”.
2). Pengetahuan yang diperoleh seseorang
dari belajar Vedanta, yang ditunjukkan oleh kata “Vi” dan “Vira” adalah yang
menemukan kedamaian pikiran di dalamnya. Kriyasara memberikan arti tambahan
terhadap kata “Vira” tersebut, yaitu sebagai berikut :
3). “Vi” artinya “keragu-raguan” (vikalpa);
“Ra” artinya “tanpa” Jadi, Vira Saiva artinya “keyakinan dan filsafat Saiva
yang bebas dari keragu-raguan”.
Jadi Vira Saiva disini merupakan suatu ajaran yang
mampu menghentikan hasutan mental (pikiran), sehingga memungkinkan untuk dapat
mencapai unutk dapat mencapai mukti (pembebasan) (Maswinara, 2006:280). Vira Saiva juga disebut Lingayata atau
Lingavanta, karena salah satu sraddha-nya adalah kepercayaan akan Linga, yang
tiada lain adalah Siva dan mereka yang sudah di inisiasi oleh guru spiritual
menjadi sadar bahwa pada dirinya bersemayam Linga atau Siva.
Vira Saiva mencela pandangan Sankara mengenai Vedanta
tentang teori pelapisan (adhyasa), kenyataan praktis (vyavaharikasatya),
sifat khayal dari alam semesta dan teori tentang refleksi atau pantulan.
Menurut Vira Saiva, sesuai dengan pandangan dari Sripati Panditaradhya, teori
pelapisan yang dinyatakan oleh Sankara bertentangan dengan pernyataan naskah
suci, yang membicarakan tentang penyebab hubungan antara Brahman dan alam
semesta, Sehubungan dengan masalah kenyataan praktis, Sripati mengajukan pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
1). Apakah itu berarti bahwa sesuatu yang
hanya kenyataan praktis semacam itu tidak berlanjut melalui hal-hal yang akan
terjadi ( kalantaranavasthaytiva ), atau
2). Bahwa demikian itu berbeda dengan
“keberadaan” dan “bukan keberadaan”, atau
3). Bahwa yang semacam itu tak dapat dikatakan
sebagai “keberadaan” atau sebagai “bukan keberadaan”.
Menurut Sripati, pandangan yang demikian itu tak
dapat dipertahankan, karena perbedaan dapat ditarik hanya tentang Brahman dan
Prakrti dan argumentasi tentang hal ini sangatlah halus, sulit dan sangat dalam
artinya, sehingga memerlukan ruang pembahasan yang lebih luas.
Sripati membicarakan tentang Sankara sebagai
seorang Bauddha dalam pakaian seorang Vedantin (pracchana bauddha).
Ia menyebut Sankara Vednta “nirvisesadvaitamata”, karena ia berpendapat bahwa
Tuhan, alam semesta dan subyek pribadi, sebagai khayalan. Ia berpendapat bahwa
sistemnya Sankara disalahkan oleh Badarayana dalam “abhavadhikarana”nya Vedanta
Sutra. Ia bertanya: “Apakah penolakan (abhava) tentang Tuhan, alam
semesta dan subyek pribadi berarti bahwa mereka tidak memiliki keberadaan
apapun, seperti tanduk dari seekor kelinci (truwelu) atau anak dari
seorang wanita mandul; atau merupakan khayalan seperti kejamakan yang dialami
dalam mimpi? Ia menunjukkan bahwa penolakan jenis pertama itu bertentangan
dengan kenyataan pengalaman, karena kita secara aktual menerima kejamakan
obyektif pada tingkat empiris, tetapi tanduk dari seekor kelinci tak dapat
diamati dan tidak tepat. Subyek pribadi juga secara jelas dialami pada saat
munculnya fenomena pengetahuan yang berbeda dengan obyek dan caranya. Oleh
karena itu, hanya memandang pengetahuan (jnana) saja yang ada, tanpa
perbedaan subyek-obyek dan caranya, membuat diri seseorang menjadi suatu obyek
cemohan. Dan Tuhan juga merupakan obyek pengalaman keagamaan atau mistik. Oleh
karena itu, penolakan tentang dunia obyektif dan Tuhan, tak dapat diamati.
Atau, dapatkah dunia obyektif dinyatakan khayalan
(mithya) seperti sebuah mimpi, karena dunia obyektif pada keadaan jaga
sangat berbeda dengan yang kita lihat dalam mimpi. Mimpi dipertentangkan dengan
pengalaman jaga, karena kita tidak menemukan apa yang kita alami dalam mimpi,
ketika kita terbangun. Tetapi obyek yang kita alami dalam keadaan terjaga, akan
kita ketemukan, walaupun setelah bermimpi. Selanjutnya perbuatan buruk dan dosa
yang dilakukan dalam mimpi, tak menghasilkan pahala atau ganjaran terhadap hal
yang sama dalam mimpi; tetapi perbuatan-perbuatan yang sama, yang dilakukan
dalam keadaan terjaga, akan menghasilkan pahala dan ganjaran.
Karenanya penolakan terhadap realitas dunia
empiris, pada dasar perkiraan yang sama dengan dunia mimpi, adalah tidak logis;
sehingga salah untuk menyatakan bahwa pengalaman keadaan terjaga tanpa menunjuk
kepada kenyataan obyektif, sebagai di dalam mimpi. Selanjutnya, apabila semua
pengetahuan diskui tanpa adanya penunjukkan obyektif (jnananam arthasunyatva),
masalah yang hendak dibuktikan oleh para Vedantin tak dapat dibuktikan; karena
Advaita Vedantin berusaha untuk membuktikan keberadaan Brahman dengan penyimpulan.
Tetapi penyimpulan itu sendiri juga merupakan sejenis pengetahuan. Sehingga tak
dapat menunjukkan terhadap apa sebenarnya keberadaan itu.
Tetapi Advaita Vedantin dapat mengatakan bahwa
keberadaan Dunia obyektif yang sesungguhnya ditolak hanya karena ia
dipertentangkan oleh pengalaman mistik (brahmajnana baddhyatvam). Terhadap hal
ini, Sripati menjawab bahwa pengalaman dari Dunia obyektif bukan berarti
penolakan atau pertentangan dari keberadaannya; karena hal itu disebabkan oleh
munculnya subyek yang mengatasi tingkatan kelekatan obyektif. Ketiadaan
pengalaman objektifitas pada tingkatan mistik sama dengan ketiadaan pengalaman
pada tingkatan tidur lelap tanpa mimpi (Maswinara, 2006:284). Sripati secara
tegas menyalahkan konsepsi tentang pembebasan (moksa) sebagai pencapaian
penyamaan dengan Siva dan menyatakan bahwa pembebasan adalah penyatuan dengan
Siva (sayujya).
a. Konsepsi Tentang Tuhan
Konsepsi tentang Tuhan dalam sistem Vira Saiva,
adalah berjenjang (sthala), sesuai dengan pengembangan spiritual dari
Jiva dan dalam sistem Vira Saiva terdapat 6 jenjang (satsthala), yaitu: (1). Bhaktasthala,
(2). Mahesvarasthala, (3). Prasadisthala, (4). Pranalingisthala,
(5). Saranasthala, dan (6). Aikyasthala. Setiap bagian memiliki
sejumlah sub bagian lagi, yang disebut dengan nama yang berbeda, yang jumlahnya
44 buah dan dikaitkan dengan Siddhanta Sikhamapi, yaitu suatu ku mpulan
percakapan antara Renuka dan Agastya. Dengan naskah yang sama, berbagai jenis
Linga, cara pemujaan dan perenungan juga diberikan secara rinci, dan Sripati,
dalam Srikara Bhasya, jilid II, 95, 96, 105, 106 dsb, juga menunjukkan Linga
semacam itu.
Pada tahapan awal sebagai seorang bhakta (bhaktasthala)
terdapat perbedaan yang jelas antara Jiva dengan Tuhan, dan pada tahapan akhir
atau Aikkyasthala, tercapai kesatuan diantara keduanya pada tingkatan
bhaktisthala, sang Jiva merupakan seorang bhakta yang melayani Guru, Linga dan
Jangama sehingga konsepsi tentang Tuhan sama seperti pada sistem Saiva
Siddhanta, dimana selamanya bertindak selaku pelayan jiwa, walaupun sudah
mencapai Mukti. Bagaimana penghayatan dualis berkembang menjadi non dualis,
akan diuraikan secara ringkas berikut ini.
Pada tahap awal kepercayaan terhadap Tuhan
adalah Satu tiada duanya. Penganut Vira Saiva sangat teguh keyakinannya
terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang mengatasi semuanya dan yang
diidentifikasikan sebagai Siva. Akka Mahadevi, seorang rsi wanita yang sangat
dihormati, yang hidup pada abad ke 12 Masehi mengatakan sebagai berikut;
“Siapakah yang memberi rasa asam pada jeruk mangga dan buah asam? Siapakah yang
memberi rasa manis pada batang tebu, tanam-tanaman, kelapa dsb? Siapakah yang
memberi zat-zat penghidup pada padi-padian, gandum, jagung, dsb? Siapakah yang
memberikan keharuman pada bunga-bunga sedap malam, mawar, melati dsb. Itu? Air
adalah satu, tanah juga satu, langitpun satu adanya. Air yang satu dalam
persatuannya dengan obyek lain menghasilkan sifat-sifat yang berbeda, demikian
pula halnya dengan Tuhanku ‘cennamallikarjunayya’, meskipun bersatu
dengan Dunia yang tak terbatas ini, memiliki hakekatnya sendiri”.
Vira Saiva tidak sependapat dengan ajaran
polytheisme, dan menolak keTuhanan Brahma, Visnu dan Rudra (trimurti),
seperti halnya Sivasiddhanta yang menggolong-golongkan Jiva. Vira Saiva
menyatakan bahwa hanya ada satu Tuhan, keberadaan yang paling berkuasa, yaitu
Siva yang pemurah (Maswinara, 2006:290).
Seperti telah dikatakan di depan, apabila jiwa
seseorang mencapai bhaktasthala, sebagai jenjang yang pertama, yang merupakan
titik awal dari filsafat Vira Saiva, keyakinan terhadap Tuhan sebagai pribadi
secara perlahan-lahan menjadi subyek pengkajian hakekat sebenarnya dari
Kasunyataan, yang berlanjut sampai jiwa mencapai tahap kemajuan hingga jenjang
ke 5 (saranasthala), dimana pada periode ini sang jiwa mencapai
kesimpulan yang mirip sama dengan ajaran Siva Siddhanta, mengenai penafsiran
filosofis terhadap jiwa. Kekhususan ajaran Vira Saiva yang lain, bukan saja
pada pencapaian kesimpulan itu saja, tetapi dalam pencapaian apa yang dijelaskan
didalam pengkajian selanjutnya.
Dari jenjang pertama smapai jenjang terakhir,
wahyu tentang kebenaran dan pencapaiannya bergerak dari pengkajian jenjang awal
kejenjang berikutnya. Dengan kata lain, Vira Saiva dengan jelas membedakan
pengertian pencapaian dengan berjenjang, sementara Siva Siddhanta dan aliran
lainnya menyatukannya. Tuhan tidak memiliki wujud atau pun berwujud dan dalam
kenyataannya, Ia tanpa wujud yang tak dipahami, tak dapat diamati, tak dapat
dibayang-bayangkan dsb. Sehingga Ia dikatakan sebagai intisari kemuliaan dari
kecemerlangan dalam semua kecemerlangan. Ia bukan dari dunia ini maupun dari
dunia sana. Dalam pengkajiannya para rsi Vira Saiva secara perlahan-lahan masuk
ke dalam rahasia alam semesta. Ia mencirikan bahwa rahasia Tuhan Yang Maha
Kuasa mencerminkan kepercayaan akan keberadaan-Nya, yang menempatkan bumi
dilautan tanpa menjadikannya cair dan menempatkan langit tanpa penopang. Di sini
terdapat kesamaan pendapat dengan Saiva Siddhanta.
Siva meresapi segalanya dan mengatasi segalanya.
Ia ada di alam semesta, meresapi alam semesta sepenuhnya tanpa meninggalkan
suatu celah yang tak teresapi oleh-Nya, dalam wujud alam semesta itu sendiri
dan mengatasinya. Meskipun Siva meresapi semua hal dan tampak pada semua benda,
tetapi semua benda itu bukanlah Siva. Seperti seorang petani yang menebarkan
benih, dapatkah npanenan disebut sebagai seorang petani? Demikian pula
pengrajin periuk, dimana periuk yang dihasilkannya tak dapat dikatakan menjadi
si tukang pembuat periuk; dan keduanya merupakan kesatuan yang berbeda yang tak
terpengaruh oleh akibat-akibat dalam alam semesta. Dalam hal ini Vira Saiva
sependapat dengan Siva Siddhanta, namun bukan merupakan kebenaran akhir. Untuk
mencapai kebenaran akhir, Jiva harus mencapai jenjang spiritual akhir, yang
akan memberikan cahaya kebenaran yang paling cerah, dimana pada tahapan ini
bukan saja tercapainya perwujudan bahwa dirinya adalah Siva, tetapi juga alam
semesta ini adalah Siva.
b.
Sakti atau Maya
Menurut Saiva Siddhanta, sakti bukanlah Maya,
tetapi faktor abadi yang penting, yang bekerja sama dengan Siva, dimana tanpa
ada kerja sama dengannya, Siva tidak memiliki daya dan tak mampu menghasilkan
keberadaan alam semesta yang tersembunyi dalam diri-Nya. Menurut Trika, sakti
tidak berbeda dengan Siva, bersumber didalam diri Siva dan merupakan daya
kekuatan dari Siva dan juga menjadi sumber Maya atau materi kosmos. Dalam
Pancaratra, Sakti atau Laksmi, memunculkan Kriya Sakti dan Bhuti Sakti, yang
sesungguhnya merupakan bagian kecil dari Kriya sakti dan merupakan sumber dari
materi, sehingga materi bermula dari Laksmi atau sakti. Vira Saiva juga percaya
akan perlunya Sakti guna mewujudkan alam semesta ini dan sependapat dengan
Trika dan Pancaratra dalam menelusuri sumber materi tersebut dan sependapat
pula mengenai asal sakti di dalam Siva; dimana Havinahala Kallayya secara jelas
mengatakan bahwa sakti berasal dari dalam Siva.
“Bagaikan partikel air yang tak dapat diamati di
langit dirubah menjadi butiran-butiran es, demikianlah pemikiran Siva yang mengenakan
wujud Sakti dan merupakan langkah pertama dalam pemunculan alam semesta”. Menurut
Maggeya Mayideva, sakti tak terbandingkan dan dijelmakan dengan semua ciri-ciri
(dharma) dari Siva, karena ia disatukan secara abadi dengan Siva. Ia
penyaksi segala sesuatu (sarvasaksini) yang merupakan kebenaran sepenuhnya
(satya-sampurna), yang terbebas dari perubahan (nirvikalpa) dan
merupakan Isvari yang agung.
Melalui daya kekuatannya sendiri yang bebas, ia
(sakti) menjadi dua dan dinamakan Kalasakti dan Bhaktisakti. Kalasakti
yang terikayt dengan Linga (para-brahman), merupakan potensi (kala) dan
membangun alam semesta. Dalam bentuk pemikiran atau buah pikiran (vasana
rupa), ia merupakan cara dari aktivitas (pravrtti), sehingga dari
sakti ini, prapanca atau alam semesta dengan segala permasalahannya ini
terwujud. Bhaktisakti mengikatkan dirinya dengan Anga, yang tiada lain adalah
roh (jiva) dan menghancurkan segala keberadaan (bhava), yaitu
belenggu yang disebabkan oleh pepermasalahan alam semesta. Bagaikan sinar
universal tersembunyi yang tampak dalam wujud sebuah lampu dan mengusir
kegelapan di depan mata kita, demikian pula Mahesvari sakti, yang terbagi
menjadi Bhaktisakti, yang merupakan wujud dari Saccidananda yang lebih besar,
murni, sangat halus, menguntungkan dan tertinggi, serta pemberi karunia dari
buah kenikmatan (bhukti) dan pembebasan (mukti).
Bhakti yang tanpa vasana, keinginan, dll
merupakan cara dari penghentian (nivrtti), sehingga bhakti membantu Jiva
untuk melepaskan belenggu dalam wujud keberadaan duniawi, menuntunnya untuk
menuju Moksa, terserap ke dalam Siva. Sesungguhnya Bhakti dan (Kala)
Sakti adalah satu dan sama, yang berbeda hanyalah pada akibatnya saja. Sakti
menekan Jiva kebawah dan melepaskan belenggu dari jiwa. Dengan kata lain,
menurut Vira Saiva, kedua aspek Sakti ini merupakan daya-daya yang mengarah
keatas dan kebawah. Penafsiran tentang Tirodhana sakti menurut
Meykandadeva, Umapati dan Srikumara,
yang mempersamakannya dengan Prakrti, memiliki 2 fungsi, yaitu membelenggu dan
membebaskan roh, tampaknya benar-benar sependapat dengan pemikiran Vira Saiva
tentang Sakti.
Dari Kala sakti muncul 6 sub sakti, yaitu:
Cicchakti, Parasakti, Adi sakti, Iccha Sakti, Jnana sakti dan Kriya sakti; jadi
bukan 5 seperti yang dinyatakan Trika, atau 3 seperti yang dinyatakan dalam
Saiva Siddhanta, tetapi mereka memasukkan semuanya. Pembagian ini disesuaikan
dengan 6 sthala, yang masing-masing satu diperuntukkan bagi sebuah Linga.
Dari Bhakti sakti muncul 6 sub sakti juga,
yaitu: Samarasa bhakti, anandabhakti, Anubhava bhakti, Avadhana bhakti,
Naisthiki bhakti dan Sad bhakti, yang mengikatkan dirinya pada 6 Anga dari
Angasthala. Menurut Vira Saiva, Kalasakti tampaknya menjadi Maya, yang juga
disebut Avidya, yang merupakan jurang pemisah antara Siva dan Jiva. Nisthura
Nanjanacarya tampaknya menganggap Maya sebagai Kriya sakti, yaitu sub sakti ke
6 dari Kalasakti. Dalam Vacanasastra banyak hal-hal yang tampaknya sama-sama
mempersamakan Kala sakti dengan Maya, sedangkan menurut Vira Saiva, Kala bukan
hanya seni bangunan, seperti yang disarankan oleh Caterji, tetapi juga
merupakan potensi kosmis, Kalasakti tampaknya memasukkan semua fungsi dari Maya
dan hasil-hasilnya dari sistem Saiva Siddhanta dan Trika, dimana Kala
dinyatakan hanya satu produk penting dari Maya. Didalam Saiva Siddhanta, Maya
merupakan pemberi penerangan (prakasavarupa) dan membantu sang roh untuk
membebaskan dirinya dari cengkeraman belenggu; sedangkan Vira Saiva menganggap
Maya mengikat Jiva terus menerus. Dalam Siva Siddhanta Maya juga merupakan
kesatuan yang bersifat abadi, yang tak bersumber pada Siva sedang dalam Vira
Saiva, yang merupakan kesatuan yang abadi hanyalah Siva, dan segala sesuatunya
bersumber pada Siva juga.
Umumnya, kata Maya dipergunakan dalam vacana
sastra, dengan pengertian “keterikatan duniawi”, “yang menyebabkan keterikatan
dengan obyek duniawi”, “yang ada pada setiap roh laksana minyak dalam biji
wijen, ujung lancip dari duri dan keharuman pada bunga”, “kelupaan yang
disebabkan oleh samsara”dsb. Maya dalam Advaita Vedanta merupakan enerji dari
Isvara yaitu daya yang bersatu padu denganNya, dengan mana ia merubah potensinya
menjadi 2 ragam, keinginan (kama) dan penentuan (sankalpa); yang merupakan daya
penciptaan dari Tuhan yang abadi, sehingga ia (maya) juga bersifat abadi.
Maya tidak memiliki tempat yang terpisah, dan ia ada dalam Isvara, seperti
panas dari api. Peniadaan Maya dengan pengetahuan dan realisasi diri, dengan
sendirinya diperoleh dari pelaksanaan Satsthala.
c.
Penampakan dan Realitas
Menurut Saiva Siddhanta, alam dunia berasal dari
Maya (materi, yang tidak murni, potensi alam semesta) yang merupakan kesatuan
nyata yang abadi, diakui sebagai nyata adanya. Tetapi Meykandadeva menyatakan
bahwa hal itu tidak nyata (asattu) dan ketidaknyataannya ditafsirkan
sebagai tidak sama dengan “khayalan” semacam teori tali ular (rajjusarpa-nyaya)
dari Advaita Cvedanta, tetapi mengandung arti “tidak abadi” atau “subjek
penciptaan dan penghancuran”. Trika, walaupun sifatnya Advaita mengakui
realitas alam dunia dalam pengertian bahwa Maya sebagai sumber alam dunia ini
di akui nyata, disebabkan asalnya dari Paramasiva Yang Nyata. Vira Saiva yang
tampil sebagai suatu Advaita khusus, tampaknya mulai dengan kepercayaan pada
realitas alam dunia, tetapi realitas ini berangsur-angsur lenyap sejalan dengan
kemajuan spiritual dari roh pribadi tersebut.
Hal penting lainnya yang perlu dicatat adalah
tentang penjelasan mengapa dunia (alam semesta) ini diadakan. Menurut Saiva
Siddhanta, alam dunia ini diciptakan untuk membersihkan ketidakmurnian awal
yang dimiliki Jiva, yang berarti bahwa apabila jiwa seluruhnya telah menjadi
murni, maka alam dunia ini tak perlu ada sehingga tak ada penciptaan maupun
peleburan. Pemikiran ini sejalan dengan “Samkhya Karika”, dimana
Prakrti akan berakhir seperti pada akhir permainan dari seorang artis panggung.
Menurut Trika, penciptaan alam semsta adalah disebabkan oleh kehendak parama
Siva itu sendiri, sebagai sport (lila)-Nya, sehingga tidak ada awal dan
akhir dari keberadaan alam semesta dan setiap saat terdapat penciptaan serta
peleburan (pengembalian). Pendapat Vira Saiva sesuai denganpendapat dari Trika,
yang beranggapan bahwa senuanya ini beremanasi (berasal) dari Siva, dan Jiva
tiada lain dari parama Siva dibawah pembatasan (kancuka).
d.
Alam Semesta dan Jiva
Tentang proses evolusi dari alam semesta dan
susunan badan fisik mahluk hidup, Vira Saiva tampaknya memiliki pandangan yang
berbeda dan bebas dibandingkan dengan Saiva Siddhanta dan Trika dan keduanya
mempertahankan ajaran tentang 36 tattva, yang merupakan faktor utama dalam
membentuk alam semesta ini. Paling tidak pada abad ke 12 Masehi, ketika Vira
Saiva ditegakkan kembali, konsep tentang 36 tattva tidak mempenagruhi ajaran
Vira Saiva.
Pada awalnya secara logika dan bukan mengenai
waktu terdapat ketiadaan, yang merupakan suatu ketiadaan sepenuhnya (sunya),
yang tak terbayangkan dan tak dapat ditelusuri (sarva-sunya);
tidak sesuatupun yang ditopang (niralamba). Sunya ini dikenal sebagai
Niralamba-Brahma (Brahma tanpa penunjang) dan selanjutnya menjadi
Niranjana-Brahma, yaitu Brahma tanpa noda, murni dan sederhana, tanpa emosi dan
nafsu. Pemikiran (nenahu) dari Brahma ini dikenal sebagai
Niranjana-Omkara-sakti, yaitu daya yang hanya merupakan huruf murni “Om”
yang tanpa emosi. Penamapakan dari pemikiran ini dalam Niranjana Brahma
mewujudkan Sunya-Linga, yaitu Linga dari ketiadaan yang semata-mata merupakan
sifat dari Pranava “om” Linga ini memiliki Maha-jnana-Citta, yaitu
pemikiran dalam wujud pengetahuan tertinggi sebagai Anga atau badanya. Sebagai
hasil dari pemikiran ini, muncullah Niskala-Brahma, yaitu Brahma tanpa
bagian-bagian, yang memiliki Jnana-Cittu, yakni pemikiran dalam wujud
pengetahuan sebagai badan (Anga) nya. Brahma ini, melalui kerjasama
Jnana-Cittu menghasilkan Cinnada, Cidbindu dan Cit Kala, yaitu Cit sebagai
suara, Cit sebagai potensialitas dan Cit sebagai seni membangun (kala),
tetapi dalam semua hal tampaknya kata Cit dipergunakan bukan hanya dalam
pengertian pemikiran saja, tetapi juga dalam pengertian tentang sesuatu seperti
Caitanya.
Kemudian Cinnada, Cidbindu dan Cit-Kala secara
bersama-sama dengan sumbernya, yaitu Jnana-Cit, kesemuanya mengenakan bentuk
padat, menjadi Mahalinga (linga yang agung) yang keseluruhannya sempurna dan
tertinggi dalam kesemarakan, dalam wujud suatu tiang bulat menyala dengan
aksara “Om” sebagai landasannya. Selanjutnya Mahalinga merubah dirinya
kedalam wujud yang setelah mewujudkan lima linga, bersatu pada 5 Sadakhya, atau
kemegahan dari 5 linga, yaitu:
1. Karma-Sadakhya,
atau kemegahan dari Acara-linga.
2. Kartr-Sadakhya,
atau kemegahan dari Guru-linga.
3. Murti-Sadakhya,
atau kemegahan dari Sivalinga.
4. Amurti-Sadakhya,
atau kemegahan dari Jangama-linga.
5. Siva-Sadakhya,
atau kemegahan dari Prasada-linga.
Kemegahan dari lima linga ini menjadi:
Sadyojata, Vamadewa, Aghora, Tatpurusa dan Isana, yaitu lima muka dari wujud
yang dikenakan oleh Mahalingga yang kemudian menjadi Sadasiva-murti. Dari
kelima muka ini muncul 5 aksara, yaitu: Na, Ma, Si, Va,dan Ya, yang dalam
gilirannya merupakan sumber dari Nivrtti, Pratistha, Vidya, Santi dan
Santyatita. Kelima Kala ini selanjutnya dikenal sebagai lima sakti, yaitu:
Kriya, Jnana, Iccha, Adi dan Para, dari muka rahasia Sadasiva Murti muncullah
Atma.
Kemudian dari lima muka, mata dan pikiran
Sadasiva-murti dihasilkan 5 unsur utama, matahari, dan bulan; yang menjadi
sumber alam semesta, yang terdiri dari obyek-obyek yang bergerak maupun yang
tak bergerak. Unsur-unsur ini diterima bukan sebagai hasil tetapi sebagai
emanasi (proyeksi), yang kesemuanya, yaitu matahari bulan dan sang Diri (Atma)
adalah jiwa dalam bentuk ini; sehingga digambarkan sebagai 8 wujud dari Siva
atau Sadasiva. Dari sini selanjutnya muncul Dunia, lautan, bintang-bintang,
pegunungan dsb, yang disebut Brahmanda atau Ajanda, yaitu telur Brahman.
Menurut Saiva Siddhanta, jumlah jiva adalah tak
terbatas dan dikelompokkan menjadi 3 golongan, yaitu: Sakala, Pralayakala dan
Vijnanakala, sesuai dengan pengaruh dari 3, 2 atau satu Kala masing-masing. Ia
merupakan kesatuan abadi yang berbeda dengan Tuhan (Siva). Menurut Trika,
Parama Siva merupakan roh dibawah pembatasan oleh kancuka (selubung) dan
menjadi banyak sesuai dengan teori abhasa dan tampaknya Vira Saiva lebih
mendekati pada pemikiran Trika ketimbang pemikiran Saiva Siddhanta. Seperti
Trika, Vira Saiva menelusuri asal mula dari Jiva pada Yang Maha Kuasa, dimana
Parama Siva memproyeksikan kehendaknya kehendaknya menjadi alam semesta
termasuk Jiva dan karena dibungkus oleh kancuka, tidak menyadari dirinya yang
sebenarnya, ibarat seorang bayi yang ditutupi dengan pakaian pembebat, yang
secara utuh merubahnya menjadi Purusa atau Jiva, yang oleh abhasa menjadi tak
terhitung banyaknya. Vira Saiva tidak menelusuri asal. Jiva persis seperti
pemikiran Trika ini, tetapi menganggap Jiva identik dengan Atman yang
dihasilkan langsung dari Sadasiva-murti, dengan panca mahabutha, matahari dan
bulan dan disini disebut sebagai Anga, yang menjadi Jiva apabila diproyeksikan
pada avidya dan merupakan satu aspek dari Para Brahman, yang hakekatnya adalah
Saccidananda, sedang aspek lainnya adalah Linga.
e.
Jenjang Spiritual (Satsthala)
Sthala, adalah “tempat” dimana seluruh alam
semesta, dengan obyek bergerak maupun tak bergerak berasal, ditunjang dan
dipelihara, serta kemana nantinya ia dikembalikan. Ia adalah ‘Aksara’,
tattva, intisari, yang tak terhancurkan dan tempat tertinggi bagi mereka yang
mencapai Nirvana, yaitu relisasi diri sepenuhnya. Ia adalah Sivatattva yang
tiada lain adalah Para-Brahman, yang memiliki karakteristik Sat, Cit dan
Ananda, (Maswinara, 2006:303).
Sthala pada umumnya dipergunakan dalam
pengertian “tahapan”, “jenjang” atau tempat penghentian bagai sang roh dalam
perjalan spiritualnya dan setiap Sthala merupakan suatu persiapan untuk menuju
jenjang berikutnya yang lebih tinggi. Kehidupan spiritual dari penganut Vira Saiva
diatur dalam 6 jenjang. Jiva, karena diselubungi oleh Avidya hanya mengamati
obyek material atau “bhoga” yang dianggapnya mendatangkan segala
kebahagiaan; tetapi pada suatu saat, secara ajaib timbul pemikiran bahwa
material bukanlah segalnya dan ia mengamati bahwa terdapat bebrapa tujuan
didalamnya dan kekuatan misterius berada dibelakangnya. Pemikiran ini meningkat
secara perlahan-lahan dalam keyakinannya terhadap kekuatan Yang Maha Kuasa dan
ia ingin mengetahuinya. Keadaan ini merupakan titik awal didalam pengkajian
spiritual dan berkaitan dengan awal dari Bhaktasthala, yaiut suatu tahapan
dalam kehidupan spiritual manusia dimana ia mempercayai akan keberadaan Tuhan
dan mempersembahkan rasa bhaktinya kepada-Nya.
Vira Saiva mengakui 6 jalan menuju penyatuan
akhir, dimana yang satu melampaui lainnya, yang disebut sebagai:Varna, Pada,
Mantra, Kala, Bhuvana dan Tattva. Ia juga mengakui adanya 6 bentuk anugerah
atau karunia Siva, yaitu: (1) Mahesvaratatvavirbhava, yaitu kesadaran
intelektual atau pencapaian Tuhan sebagai kebahagiaan abadi dan transendental
yang diperoleh melalui mendengarkan naskah-naskah suci, perenungan terhadapnya
dan visualisasi arti maksudnya. (2) Sadasiva tattva, yaitu realisasi dari
kategori ketiga, yang disebut Sadasiva, yang merupakan suatu tingkatan
spiritual, di mana objektifitas dan subjektifitas, atau “Aku“ dan “ini“,
terbebas dari segala unsur pribadi dan sama-sama bersinar. (3) Siva sakti
samyoga, yaitu kontak dengan daya Tuhan, yang disebabkan pelaksanaan Yoga,
seperti yang diberikan dalam Saivagama dan disebut sebagai Siva-Yoga. (4) Sarva-bhuvana-gamana
paroksa darsana, yaitu kemampuan untuk pergi ke semua alam dunia dan untuk
melihat yang tak dapat di amati. (5) Animadyaisvarya, yaitu pencapaian daya
menjadi lembut atau meresapi segalanya, yang disebabkan pertemuan dua udara
vital, yaitu Prana dan Apana; yang berakibat pada pencapaian daya yang menguntungkan
(kalyana vibhuti), yang tiada lain merupakan satu bagian dari Kesadaran Semesta
(citkalamaya) dan mencerahi alur tengah, yaitu susumna nadi. (6) Unmanyavasthaprapti,
yaitu pencapaian keadaan transendental yang merupakan tingkatan yang tak
terpastikan, karena Manas tidak berfungsi atau terserap.
TEMPAT SUCI PENYATUAN
SIVASIDDHANTA DI BALI
Ajaran Sivasiddhanta di Bali terdiri dari tiga
kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Acara keagamaan. Tatwa atau filosofi
yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalam Siwa Tattwa, Sang Hyang
Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam Lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa
Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara-Bhatari.
Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai
Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada
banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta
Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung beliau dipuja pada kidung Aji Kembang.
Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra ditulis
dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek
kehidupan beragama lainnya. Tempat-tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja
Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja sebagai Siwa Raditya di
Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyanga Desa dan
kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai
dengan ajaran Tuhan berada dimana-mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan
disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan
Agung, Peteula, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya. Disamping
itu diberbagai tempat Tuhan dipuja sebagai Dewa yang "Ngiyangin" atau
yang memberkati daerah pada berbagai aspek kehidupan, seperti Dewa Pasar,
Peternakan, Kekayaan, Kesehatan, Kesenian, Ilmu Pengetahuan dan sebagainya.
Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan
orang Bali yang lepas dari Agama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai
Ista Dewata, Dewa yang dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang
dipuja bukanlah Tuhan yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara
Siwa sebagai Parama Siwa, namun Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi
junjungan yang disembah oleh penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai
tamu yang dimohon kehadirannya oleh hambanya pada waktu dipuja untuk
menyaksikan sembah bakti umatnya. Oleh karena itu Tuhan dipuja sebagai
"Hyang" dari aspek-aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat
dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan umat terhadapap aspek kehidupan
tersebut. Pemujaan dilakukan dalam suasana, tempat cara dan bahan yang paling
tepat dan paling dihayati oleh para pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten,
pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan
penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan
menyusup kedalam lubuk hati yang terdalam. Apapun yang dipersembahkan, maka itu
adalah sesuatu yang terbaik menurut para penyembah-Nya. Akibat dari semua itu
adalah adanya variasai dan pelaksanaan hidup beragama di Bali. Namun inti dari
prinsip ajaran agama Hindu adalah sama, yaitu Tuhan yang ada dimana-mana sama
dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan
pandangan penyembah-Nya, yang abstrak dihayati melalui bentuk.
1. Pura Luhur Uluwatu
Pura Luhur Uluwatu ini berada di Desa Pecatu
Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pura Luhur Uluwatu dalam pangeder-ider Hindu Sivasidhanta
di Bali berada di arah barat daya sebagai pura untuk memuja Tuhan sebagai
Batara Rudra. Kedudukan Pura Luhur Uluwatu tersebut berhadap-hadapan dengan
Pura Andakasa, Pura Batur dan Pura Besakih. Karena di Pura Luhur Uluwatu itu
terfokus daya wisesa atau kekuatan spiritual dan tiga Dewa yaitu
Dewa Brahma memancar dari Pura Andakasa, Dewa Wisnu dari Pura Batur dan Dewa
Siwa dari Pura Besakih. Tiga daya wisesa yang disebut Tri Kona
itulah yang dibutuhkan dalam hidup ini. Dinamika hidup akan mencapai sukses
apabila adanya keseimbangan Utpati, Stithi dan Pralina
secara benar, tepat dan seimbang. Menurut Lontar Kusuma Dewa, pura ini
didirikan atas anjuran Mpu Kuturan sekitar abad kesebelas. Pura ini salah satu
dari enam Pura Sad Kahyangan yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa. Pura
yang disebut Pura Sad Kahyangan ada enam yaitu Pura Besakih, Pura Lempuhyang
Luhur, Pura Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Luhur Batukaru dan Pura
Pusering Jagat.
Berhubung banyak lontar yang menyebutkan Sad
Kahyangan, maka tahun 1979-1980 Institute Hindu Dharma (sekarang Unhi) atas
penugasan Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat mengadakan penelitian secara
mendalam. Akhirnya disimpulkan bahwa Pura Sad Kahyangan menurut Lontar Kusuma
Dewa itulah yang ditetapkan sebagai Pura Sad Kahyangan, karena saat Bali belum
pecah menjadi sembilan kerajaan. Lontar tersebut dibuat tahun 1005 Masehi atau
tahun Saka 927. Hal ini didasarkan pada adanya pintu masuk di Pura Luhur
Uluwatu menggunakan Candi Paduraksa yang bersayap. Candi tersebut sama dengan candi masuk di Pura
Sakenan di Pulau Serangan Kabupaten Badung. Di Candi Pura Sakenan tersebut
terdapat Candra Sangkala dalam bentuk Resi Apit Lawang yaitu dua orang pandita
berada di sebelah menyebelah pintu masuk. Hal ini menunjukkan angka tahun yaitu
927 Saka, ternyata tahun yang disebutkan dalam Lontar Kusuma Dewa sangat tepat.
Dalam Lontar Padma Bhuwana disebutkan juga tentang pendirian Pura Luhur Uluwatu
sebagai Pura Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan pada abad kesebelas. Candi bersayap
seperti di Pura Luhur Uluwatu terdapat juga di Lamongan, Jatim.
Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat
pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur
Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Sebagai
pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka Pura Luhur Uluwatu sebagai
salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti,
Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sementara
sebagai pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Padma Bhuwana Pura Luhur
Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan
Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya.
Ida Pedanda Punyatmaja Pidada saat masih walaka pernah beberapa kali menjabat
ketua Parisada Hindu Dharma Pusat menyatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu
memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma,
Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu.
Karena itu, umat yang membutuhkan dorongan
spiritual untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut
diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering sangat khusyuk memuja Dewa Siwa
Rudra di Pura Luhur Uluwatu. Salah satu ciri hidup yang ideal menurut pandangan
Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang patut diciptakan. Memelihara
sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan sesuatu yang sepatutnya
dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut itu
tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang. Dalam menghadapi
berbagai kesukaran itulah umat sangat membutuhkan kekuatan moral dan daya tahan
mental yang tangguh. Untuk
mendapatkan keluhuran moral dan ketahanan mental, salah satu caranya dengan
jalan memuja Tuhan dengan tiga manifestasinya. Untuk menumbuhkan daya cipta
yang kreatif pujalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma. Untuk
memiliki ketetapan hati memelihara sesuatu yang patut dipelihara pujalah Tuhan
dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu. Untuk mendapatkan kekuatan
menghilangkan sesuatu yang patut dihilangkan pujalah Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Dewa Siwa.
Energi spiritual ketiga manifestasi Tuhan itu
menyatu dalam Dewa Siwa Rudra yang dipuja di Pura Luhur Uluwatu. Pura Luhur
Uluwatu ini tergolong Pura Kahyangan Jagat. Karena Pura Sad Kahyangan dan Pura
Padma Bhuwana itu adalah tergolong Pura Kahyangan Jagat. Di Pura Luhur Uluwatu ini Batara Rudra dipuja di
Meru Tumpang Tiga. Di sebelah kanan dari jaba Pura Luhur Uluwatu ada Pura Dalem
Jurit sebagai pengembangan Pura Luhur Uluwatu pada zaman kedatangan Danghyang
Dwijendra pada abad ke-16 Masehi. Di Pura Dalem Jurit ini terdapat tiga patung
yaitu Patung Brahma, Patung Ratu Bagus Dalem Jurit dan Patung Wisnu. Ratu Bagus
Dalem Jurit itulah sesungguhnya Dewa Siwa Rudra dalam wujud Murti Puja.
Pemujaan energi Tri Murti dengan sarana patung ini merupakan peninggalan sistem
pemujaan Tuhan dengan sarana patung dikembangkan dengan sistem pelinggih.
Karena saat beliau datang ke Pura Dalem Jurit itu sistem pemujaan di Pura Luhur
Uluwatu masih sangat sederhana karena kebutuhan umat memang juga masih
sederhana saat itu.
Pura Luhur
Uluwatu juga memiliki beberapa Pura Prasanak atau Jajar Kemini. Pura Prasanak
tersebut antara lain Pura Parerepan di Desa Pecatu, Pura Dalem Kulat, Pura
Karang Boma, Pura Dalem Selonding, Pura Pangeleburan, Pura Batu Metandal dan
Pura Goa Tengah. Semua Pura Prasanak tersebut berada di sekitar wilayah Pura
Luhur Uluwatu di Desa Pecatu. Umumnya Pura Kahyangan Jagat memiliki Pura
Prasanak. Pura Prasanak ini merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
Pura Luhur Uluwatu. Pura Prasanak tersebut berada dalam radius sekitar lima kilometer Pura Luhur
Uluwatu. Karena itu dalam radius lima
kilometer tersebut hendaknya jangan ada bangunan atau fasilitas yang tidak ada
hubungannya dengan keberadaan Pura Luhur Uluwatu beserta dengan Pura Prasanak-Nya.
Dapat saja beberapa hal diadakan dalam radius kesucian pura tersebut sepanjang
keberadaan bangunan tersebut dalam rangka memperkuat eksistensi nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam filosofi Pura Luhur Uluwatu.
2. Padma Tiga Di
Besakih
Pelinggih Padma Tiga di Pura Besakih
sebagai sarana untuk memuja Tuhan sebagai Sang Hyang Tri Purusa yaitu jiwa
agung alam semesta. Purusa artinya jiwa atau hidup. Tuhan sebagai jiwa dari
Bhur Loka disebut Siwa, sebagai jiwa Bhuwah Loka disebut Sadha Siwa dan sebagai
jiwa dari Swah Loka disebut Parama Siwa. Pelinggih Padma Tiga sebagai media pemujaan
Sang Hyang Tri Purusa yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Hal ini dinyatakan
dalam Piagam Besakih dan juga dalam beberapa sumber lainnya seperti dalam
Pustaka Pura Besakih yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Propinsi Bali tahun
1988. Busana hitam di samping busana warna putih dan merah dari Padma Tiga
bukan simbol dari Wisnu, tetapi simbol dari Parama Siwa. Dalam Mantra Rgveda
ada dinyatakan bahwa keberadan Tuhan Yang Maha Esa yang memenuhi alam semesta
ini hanya seperempat bagian saja. Selebihnya ada di luar alam semesta.
Keberadaan di luar alam semesta ini amat gelap karena tidak dijangkau oleh
sinar matahari. Tuhan juga maha-ada di luar alam semesta yang gelap itu. Tuhan
sebagai jiwa agung yang hadir di luar alam semesta itulah yang disebut Parama
Siwa dalam pustaka Wrehaspati Tattwa.
Siwa
Tattwa ngaranya sukha tanpa wali duhkha. Sadasiwa Tattwa ngaranya tanpa wwit
tanpa tungtung ikang sukha. Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala tan wenang
winastwan ikang sukha. (Dikutip Dari Wrehaspati Tattwa. 50)
Maksudnya:
Hakikat memuja
Tuhan Siwa untuk mencapai kebahagiaan yang tidak berbalik pada kedukaan. Memuja
Tuhan sebagai Sadasiwa akan mencapai kebahagiaan yang tidak ada awal dan tidak
akhirnya. Memuja Tuhan sebagai Paramasiwa mencapai kebahagiaan niskala yang
tidak dapat dilukiskan kebahagiaan itu.
Busana hitam
Padma Tiga yang berada di kanan atau yang mengarah ke Pura Batu Madeg itu bukan
lambang pemujaan Wisnu. Tetapi pemujaan untuk Parama Siwa yang berada di luar
alam semesta. Parama Siwa adalah Tuhan dalam keadaan Nirguna Brahman artinya
tanpa sifat atau manusia tidak mungkin melukiskan sifat-sifat Tuhan Yang
Mahakuasa itu. Sedangkan Padma Tiga yang di tengah busananya putih kuning
sebagai simbol dalam Tuhan keadaan Saguna Brahman. Artinya Tuhan sudah
menunjukkan ciri-ciri niskala untuk mencipta kehidupan yang suci dan sejahtera.
Putih lambang kesucian dan kuning lambang kesejahteraan.
Sedangkan busana warna merah pada Padma Tiga
yang di kiri atau yang mengarah pada Pura Kiduling Kreteg bukanlah sebagai
lambang Dewa Brahma. Warna merah dalam Pelinggih Padma Tiga yang di bagian kiri
memang arahnya ke Pura Kiduling Kreteg. Padma Tiga yang berwarna merah itu
sebagai simbol yang melukiskan keberadaan Tuhan sudah dalam keadaan krida
untuk Utpati, Stithi dan Pralina. Dalam hal inilah Tuhan
Siwa bermanifestasi menjadi Tri Murti. Untuk di kompleks Pura Besakih sebagai
Batara Brahma dipuja di Pura Kiduling Kreteg. Sebagai Batara Wisnu di Pura Batu Madeg dan sebagai Batara Iswara di Pura
Gelap. Di tingkat Pura Padma Bhuwana sebagai Batara Wisnu dipuja di Pura Batur
simbol Tuhan Mahakuasa di arah utara. Dipuja sebagai Bhatara Iswara di Pura
Lempuhyang Luhur di arah timur dan sebagai Batara Brahma dipuja di Pura
Andakasa simbol Tuhan Mahakuasa di arah selatan.
Sementara untuk di tingkat desa pakraman, Batara
Tri Murti itu dipuja di Kahyangan Tiga. Mengapa ajaran agama Hindu demikian
serius mengajarkan umatnya untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa itu dalam
manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti. Salah satu ciri hidup manusia melakukan
dinamika hidup. Memuja Tuhan sebagai Tri Murti untuk menuntun umat manusia agar
dalam hidupnya ini selalu berdinamika yang mampu memberikan kontribusi pada
kemajuan hidup menuju hidup yang semakin baik, benar dan tepat. Pemujaan pada
Dewa Tri Murti itu agar dinamika hidup manusia itu berada di koridor Utpati,
Stithi dan Pralina. Maksudnya menciptakan sesuatu yang patut diciptakan disebut
Utpati, memelihara serta melindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan
dilindungi disebut Stithi, serta meniadakan sesuatu yang sudah usang yang
memang sudah sepatutnya dihilangkan yang disebut Pralina.
Demikianlah keberadaan Pelinggih Padma Tiga yang
berada di Mandala kedua dari Pura Penataran Agung Besakih. Di Mandala kedua ini
sebagai simbol bertemunya antara bhakti dan sweca. Bhakti adalah
upaya umat manusia atau para bhakta untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Sedangkan sweca dalam bahasa Bali maksudnya suatu anugerah Tuhan kepada para
bhakta-nya. Sweca itu akan diterima oleh manusia atau para bhakta sesuai
dengan tingkatan bhaktinya pada Tuhan. Bentuk bhakti pada Tuhan di samping
secara langsung juga seyogianya dilakukan dalam wujud asih dan punia. Asih
adalah bentuk bhakti pada Tuhan dengan menjaga kelestarian alam lingkungan
dengan penuh kasih sayang, karena alam semesta ini adalah badan nyata dari
Tuhan. Sedangkan punia adalah bentuk bhakti pada Tuhan dalam wujud pengabdian
pada sesama umat manusia sesuai dengan swadharma kita masing-masing. Tuhan telah menciptakan Rta sebagai
pedoman atau norma untuk memelihara dan melindungi alam ini dengan konsep asih.
Tuhan juga menciptakan dharma sebagai pedoman
untuk melakukan pengabdian pada sesama manusia. Dengan konsep asih, punia
dan bhakti itulah umat manusia meraih sweca-Nya Tuhan yang dilambangkan
di Pura Besakih di Mandala kedua ini. Di Mandala kektiga ini tepatnya di
sebelah kanan Padma Tiga itu ada bangunan suci yang disebut Bale Kembang
Sirang. Di Bale Kembang Sirang inilah upacara padanaan dilangsungkan saat ada
upacara besar di Besakih seperti saat ada upacara Bhatara Turun Kabeh, upacara
Ngusaba Kapat maupun upacara Manca Walikrama, apalagi upacara Eka Dasa
Ludra.Upacara Padanaan yang dipusatkan di Bale Kembang Sirang inilah sebagai
simbol bahwa antara bhakti umat dan sweca-nya Hyang Widhi bertemu. Di Pura
Penataran Agung Besakih sebagai simbol Sapta Loka tergolong Pura Luhuring
Ambal-ambal. Ini dilukiskan bagaimana umat seyogianya melakukan bhakti kepada
Tuhan dan bagaimana Tuhan menurunkan sweca kepada umat yang dapat melakukan
bhakti dengan baik dan benar. Semuanya dilukiskan dengan sangat menarik di Pura
Penataran Agung Besakih dan amat sesuai dengan konsep Weda kitab suci agama
Hindu.
Pura Pesimpangan berada kurang lebih 2 km di
sebelah barat Pura Penataran Agung Besakih. Bangunan suci atau Pelinggih yang
utama di Pura Pesimpangan ini adalah bangunan suci yang disebut Gedong Limas
Catu. Di samping itu ada satu bangunan yang disebut pepelik untuk
menempatkan sesajen sebagai sarana persembahan umat. Ada juga bangunan yang
disebut bebaturan dan balai yang disebut piyasan tempat menempatkan sesajen
persembahan yang lebih besar. Di samping itu, ada juga beberapa peninggalan
batu yang sulit dinyatakan bentuknya karena sudah rusak. Batu itu mungkin
bentuk-bentuk sarana pemujaan pada zaman megalitikum atau peninggalan sarana
pemujaan saat Sekte Siwa Pasupata yang lebih eksis sebelum muncul dan semakin
kuatnya Sekte Siwa Sidanta. Meskipun sekte Siwa Pasupata tidak eksis lagi
tetapi para penganut Siwa Sidanta tidak menghilangkan sarana peninggalan Siwa
Pasupata, justru tetap dibuatkan tempat seperti yang kita jumpai di beberapa
bebaturan di berbagai kompleks Pura Besakih.
Meskipun sarana pemujaan Sekte atau Sampradaya
Siwa Pasupata tidak menjadi unsur utama dalam sistem pemujaan Sivasiddanta,
tetapi hal itu tetap dihormati tidak dimusnahkan atau tidak diperlakukan
semena-mena saja. Gedong Limas Catu sebagai pelinggih utama di Pura Pesimpangan
berfungsi sebagai ''pesimpangan'' atau stana sementara Ida Batara di Besakih.
Mengapa ada stana sementara? Dalam kegiatan ritual keagamaan yang bersifat
rutin di Pura Besakih ada kegiatan yang disebut Melasti. Upacara Melasti simbol
perjalanan para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha Esa itu dilakukan di Besakih
umumnya ke Pura Batu Klotok di pantai selatan Kabupaten Klungkung, ke Tegal
Suci dan ke Toya Sah. Ketiga tempat inilah setiap tahun dilakukan upacara
Melasti. Saat iring-iringan Melasti itu kembali ke Pura Besakih atau ke
Penataran Agung Besakih tidak langsung menuju Pura Besakih. Iring-iringan
Melasti itu berhenti untuk beberapa jam lamanya di Pura Pesimpangan ini. Saat
berhenti itulah Pelinggih Gedong Limas Catu di Pura Pesimpangan itu disimbolkan
sebagai stana sementara Ida Batara di Besakih. Kata ''simpang'' berasal dari
bahasa Bali yang artinya singgah.
Jadi, Pura Pesimpangan itu sebagai tempat singgah
sementara dari Ida Batara simbol Tuhan Yang Maha Esa yang dipuja di Pura
Penataran Agung Besakih. Iring-iringan Melasti itu saat kembali ke pelinggih
semula umumnya dipersembahkan beberapa sesaji. Besar kecilnya sesaji itu
tergantung tingkatan upacaranya. Kalau upacaranya besar maka sesaji untuk
kembali berstana di pelinggih asal lebih besar lagi. Untuk mempersiapkan sesaji
itu membutuhkan waktu yang lama. Karena itulah iring-iringan Melasti yang
kembali itu membutuhkan singgah untuk berhenti sejenak di Pura Pesimpangan.
Zaman dahulu belum ada alat-alat komunikasi dan
transportasi yang canggih seperti sekarang. Sehingga sulit untuk mengetahui
siap dan tidaknya penyambutan iring-iringan Melasti itu di Pura Besakih. Yang
menjadi tanda bahwa iring-iringan itu sudah dekat dengan Pura Penataran Agung
Besakih adalah suara gong atau gamelan. Konon iring-iringan Melasti itu kalau
sudah sampai di Pura Pesimpangan suara gongnya sudah kedengaran dengan jelas
dari Penataran Agung. Kalau suara gong sudah terdengar maka segala sesuatu
menyangkut ritual sakral penyambutan kedatangan iring-iringan Melasti itu sudah
dapat mulai dipersiapkan. Setelah berhenti beberapa jam lamanya di Pura
Penataran barulah iring-iringan Melasti itu berangkat lagi menuju Penataran
Agung Besakih. Begitu iring-iringan itu sampai di Penataran Agung segala sarana
upacara penyambutan sudah siap dilangsungkan.
Yang sangat menarik di Pura Pesimpangan ini adalah
bentuk Pelinggih Limas Catu ini. Di setiap Merajan Gede yang disebut di Gedong
Pertiwi tempat pemujaan leluhur umat Hindu di seluruh Bali umumnya pada
Pelinggih Limas Catu yang dibangun di sebelah kanan Gedong Pertiwi. Limas Catu
itu pun juga sebagai pesimpangan Batara Gunung Agung di Besakih. Sedangkan
sebelah kirinya ada Gedong Limas Mujung sebagai pesimpangan Ida Batara di
Gunung Batur. Limas Catu dan Limas Mujung wujud umumnya sama tetapi yang
berbeda tutup atapnya di puncak dari bangunan tersebut. Kalau Limas Catu
puncaknya berbentuk kerucut semakin ke atas semakin mengecil yang dibuat dari
ijuk. Sedangkan Limas Mujung puncak atapnya ditutup dengan topi yang dibuat
dari tanah liat beserta hiasannya yang ada ukirannya.
Pura Besakih dan Pura Batur adalah Pura Kahyangan
Jagat yang tergolong Pura Rwa Bhineda. Fungsi Pura Rwa Bhineda sebagai media
memuja Tuhan untuk memohon keseimbangan hidup lahir dan batin. Pura Besakih
memohon kebahagiaan hidup rohaniah, sedangkan Pura Batur untuk memohon
kesejahteraan hidup lahiriah. Jadinya tujuan pemujaan leluhur di Merajan Gedong
Pertiwi adalah untuk memuja memohon kepada leluhur agar ikut serta memperkuat
pemujaan umat pada Tuhan untuk membangun kehidupan yang sejahtera lahir batin. Karena itulah ada Pelinggih
Pesimpangan Besakih dan Batur dalam wujud Limas Catu dan Limas Mujung.
Memperhatikan konsep pemujaan pada Ida Batara di Besakih dapat dibuat dalam
wujud besar, megah dan luas. Pemujaan seperti itu kedudukannya sebagai pemujaan
jagat masyarakat umat Hindu umumnya tetapi untuk memuja Ida Batara di Besakih
dalam keluarga yang lebih kecil dapat dilakukan dengan cara yang amat
sederhana. Di Merajan Gede di sebelah kanan Gedong Pertiwi umumnya ada
Pelinggih Limas Catu namanya. Pelinggih inilah sebagai Pelinggih Pesimpangan
Ida Batara di Besakih sebagai Tuhan dalam manifestasi sebagai Batara Siwa.
Sarana pemujaan Tuhan yang ada di mana-mana itu dapat dilakukan dengan berbagai
bentuk seperti dinyatakan dalam petikan Kekawin Dharma Sunia di atas (Google, 2012:13:3)
3. Pura Goa Gajah
Pura Goa Gajah terdapat ceruk di
mana di dalam salah satu ceruknya di arah timur goa terdapat tiga buah Lingga
berjejer dalam satu lapik. Masing-masing Lingga di kelilingi oleh delapan
Lingga kecil-kecil. Dalam tradisi Hindu Lingga itu adalah bangunan suci simbol
pemujaan pada Dewa Siwa sebagai salah satu manifestasi Tuhan. Tiga Lingga ini
mungkin sebagai salah satu peninggalan Hindu dari sekte Siwa Pasupata. Tiga
Lingga itu sebagai simbol sakral sebagai sarana pemujaan Tuhan dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa. Tuhan dipuja sebagai Sang Hyang
Tri Purusa itu dalam fungsinya sebagai jiwa agung alam semesta. Siwa sebagai
jiwa Bhur Loka. Sada Siwa sebagai jiwa agung Bhuwah Loka dan Parama Siwa
sebagai jiwa Swah Loka. Tujuan pemujaan Tuhan sebagai Siwa jiwa agung Bhur Loka
adalah untuk mencapai suka tanpa wali duhkha. Sebagai Sada Siwa untuk mencapai
kebahagiaan yang tiada berpangkal dan tiada berujung. Sebagai Parama Siwa untuk
mencapai kebahagiaan yang bersifat niskala yang tidak dapat dibayangkan dalam
wujud nyata dan tidak mungkin diberikan ciri-cirinya. Demikian dinyatakan dalam
pustaka suci Wrehaspati Tattwa.
Masing-masing Lingga dikelilingi
oleh delapan Lingga kecil-kecil itu sebagai simbol delapan Dewa di delapan
penjuru dari masing-masing bhuwana tersebut. Delapan Dewa itu disebut Astadipalaka,
artinya delapan kemahakuasaan Tuhan sebagai pelindung seluruh penjuru alam.
Memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa bertujuan untuk
menguatkan jiwa untuk mencapai kesuksesan hidup di Tri Bhuwana. Delapan Dewa di
masing-masing bhuwana itu adalah sebagai Dewa manifestasi dari Siwa. Dalam buku
”Penuntun ke Objek-objek Purbakala” oleh Ardana dinyatakan tiga Lingga di Pura
Goa Gajah itu ada yang menduga sebagai simbol pemujaan Tri Murti. Dugaan itu
sepertinya kurang nyambung dengan konsep pantheon Hindu.
Pura Goa Gajah itu terletak di Desa
Bedaulu Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Pura ini memiliki banyak peninggalan
purbakala. Karena itu pura ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan asing
maupun domestik. Pura ini dapat dibagi menjadi tiga bagian. Ada
bangunan-bangunan suci Hindu yang amat tua sekitar abad ke-10 Masehi. Ada
bangunan suci Hindu berupa pelinggih-pelinggih yang dibangun setelah abad
tersebut. Sedangkan yang ketiga ada bangunan peninggalan agama Buddha yang
diperkirakan oleh para ahli sudah ada sekitar abad ke-8 Masehi sezaman dengan
Candi Borobudur di Jawa Tengah. Di ceruk bagian timur goa terdapat tiga Lingga
besar berjejer di atas satu lapik, sedangkan di bagian baratnya terdapat arca
Ganesa di goa berbentuk T. Jadinya di bagian hulu atau keluwan goa ada tiga
Lingga simbol Siwa atau Sang Hyang Tri Purusa. Sedangkan di bagian teben adalah
arca Ganesa yaitu putra Siwa dalam sistem pantheon Hindu. Karena adanya arca
Ganesa inilah menurut Miguel Covarrubias goa ini bernama Goa Gajah.
Siwa Tattwa ngaranya sukha tanpa
wali duhka.
Sadasiwa Tattwa ngaranya tan pawwit
tanpa tungtung.
Paramasiwa Tattwa ngaranya niskala
tan tan wenang
winastwan ikang sukha, salah linaksanan. (Wrehaspati Tattwa.50).
Maksudnya:
Tujuan Siwa Tattwa mencapai kebahagiaan yang tidak
berbalik pada kedukaan. Paramasiwa
Tattwa adalah kebahagiaan yang bersifat niskala, tidak dapat dibayangkan dalam
wujud nyata dan tidak benar bila diberi ciri-ciri.
Fungsi Dewa Ganesa dalam sistem
pemujaan Hindu adalah sebagai Wighna-ghna Dewa dan sebagai Dewa Winayaka.
Wighna artinya halangan atau tantangan. Pemujaan Tuhan sebagai Dewa Ganesa
adalah pemujaan untuk mendapatkan tuntunan spiritual agar memiliki ketahanan
diri dalam menghadapi berbagai halangan atau tantangan hidup. Ganesa dipuja
sebagai Dewa Winayaka adalah untuk mendapatkan tuntunan Tuhan dalam
mengembangkan hidup yang bijaksana. Kemampuan menghadapi tantangan dan
mengembangkan kebijaksanaan ini sebagai langkah awal untuk meraih hidup yang
damai dan sejahtera di bumi ini. Di depan goa terdapat arca Pancuran dalam
sebuah kolam permandian sakral yang karena zaman tertimbun tanah. Saat
Kriygsman menjabat kepala kantor Prbakala di Bali, maka tahun 1954 permandian
itu digali. Di permandian itu terdapat arca Widyadara dan Widyadhari. Arca
pancuran ini ada enam buah. Tiga berjejer di bagian utara dan tiga di bagian
selatan. Arca bidadari ini diletakkan di atas lapik teratai atau padma.
Padma adalah simbol alam semesta stana Hyang
Widhi. Di tengahnya ada arca laki simbol Widyadhara. Enam arca Widyadhari ini
mengalirkan air dari pusat arca dan ada yang dari susu arca. Air yang mengalir
di kolam itu sebagai simbol kesuburan. Tujuan pemujaan Tuhan dengan simbol
Lingga sebagai media untuk memotivasi munculnya kesuburan. Lingga itu dibagi
menjadi dua bagian yaitu alasnya disebut Yoni simbol Predana dan yang berdiri
tegak di atas yoni itu disebut Lingga. Bagian bawah lingga berbentuk segi empat
simbol Brahma Bhaga, di atasnya berbentuk segi delapan simbol Wisnu Bhaga.
Di atas segi delapan berbentuk bulat panjang.
Inilah puncaknya sebagai Siwa Bhaga. Dalam upacara pemujaan Lingga ini disiram
air atau dengan susu. Air atau susu itu ditampung melalui saluran yoni. Air
itulah yang dipercikan ke sawah ladang memohon kesuburan pertanian dan
perkebunan. Arca pancuran itu lambang air mengalir untuk membangun kesuburan
pertanian dalam arti luas. Dalam Canakya Nitisastra, air itu dinyatakan salah
satu dari tiga Ratna Permata Bumi. Tumbuh-tumbuhan bahan makanan dan
obat-obatan serta kata-kata bijak sebagai dua Ratna Permata lainnya. Bangunan
suci Hindu di Pura Goa Gajah di samping ada bangunan peninggalan Hindu pada
zaman eksisnya Hindu Siwa Pasupata pada zaman berikutnya ada pura sebagai
pemujaan Hindu pada zaman Hindu Siwa Siddhanta telah berkembang.
Karena itu
di sebelah timur agak ke selatan Goa Gajah itu ada beberapa pelinggih. Ada
Pelinggih Limas Catu dan Limas Mujung sebagai Pelinggih Pesimpangan Batara di
Gunung Agung dan Gunung Batur. Ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih leluhur
para gusti di Bedaulu. Ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara Wisnu
sebagai dewanya air. Sebagaimana pura pada umumnya terdapat juga beberapa
bangunan pelengkap. Seperti pelinggih Pengaruman sebagai tempat sesaji untuk
persembahan saat ada upacara, baik upacara piodalan maupun karena ada hari raya
Hindu lainnya. Peninggalan yang lebih kuno dari peninggalan Hindu di Pura Goa
Gajah adalah adanya peninggalan agama Buddha. Di luar goa di sebelah baratnya
ada arca Buddhis yaitu Dewi Hariti di Bali disebut arca Men Brayut. Arca ini
dilukiskan sebagai seorang wanita yang memangku banyak anak.
Dalam
mitologi agama Buddha, Hariti ini pada mulanya seorang wanita pemakan daging
manusia terutama daging anak-anak. Setelah Hariti ini mempelajari ajaran Sang
Budsha, Hariti akhirnya menjadi seorang yang sangat religius dan penyayang
anak-anak. Di sebelah selatan Goa Gajah melalui parit diketemukan arca Buddha
dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba. Buddha dalam sikap Dhyani Buddha Amitaba ini
dalam sistem pantheon Buddha Mahayana sebagai Buddha pelindung arah barat alam
semesta. Demikian tiga wajud bangunan keagamaan Hindu dan Buddha di Pura Goa
Gajah.
Toleransi Beragama di Pura Goa Gajah Di Pura Goa
Gajah ada tiga tipe bangunan keagamaan yang berbeda-beda. Ada bangunan keagamaan
Hindu pada saat berkembangnya Hindu Siwa Pasupati. Dengan bukti-bukti adanya
Arca Tiga Lingga yang masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga
kecil-kecil. Ada bangunan keagamaan yang bercorak Sivasiddhanta dengan adanya
pelinggih-pelinggih di sebelah timur agak keselatan dari Goa Gajah. Di samping
itu ada bangunan keagamaan Buddha yang bercorak Buddha Mahayana. Apa dan bagaimana konsep dan misi
pembangunan Pura Goa Gajah tersebut?.
Tiga bentuk bangunan keagamaan di Pura Goa Gajah ini sungguh sangat
menarik untuk dijadikan bahan renungan di zaman modern dengan teknologi hidup
yang serba canggih. Yang patut dikaji adalah sikap toleransi leluhur orang Bali
pada zaman lampau itu. Agama Hindu sekte Siwa Pasupati memang ada perbedaannya
dengan agama Hindu Siwa Siddhanta. Tetapi substansi keagamaan Hindu tersebut
adalah sama bersumber pada Weda. Hakikat sejarah munculnya agama Buddha pun
berasal dari proses pengamalan ajaran suci Weda. Ajaran Hindu Siwa Pasupata
menekankan pada arah beragama ke dalam diri sendiri. Arah beragama Hindu itu
ada dua yaitu Niwrti Marga dan Prawrti Marga. Niwrti
Marga adalah arah beragama dengan memprioritaskan penguatan hati nurani,
sedangkan Hindu Siwa Siddhanta lebih menekankan pada Prawrti Marga
dengan orientasi beragama ke luar diri. Namun bukan berarti tidak menggunakan
cara Niwrti. Hanya perbedaan pada penekanannya saja.
Cara Niwrti ditempuh untuk mencapai
keadaan yang ”Pasupata”. Pasu artinya hawa nafsu kebinatangan. Sedangkan
kata Pata berasal dari kata Pati artinya Raja atau penguasa. Pasupata
atau Pasupati artinya proses pemujaan Tuhan untuk dapat menguasai nafsu
yang identik dengan sifat-sifat hewan. Barang siapa yang mampu menguasai nafsu
yang identik dengan sifat-sifat hewan itu dialah yang akan dapat mencapai Siwa
secara bertahap seperti yang dinyatakan dalam Wrehaspati Tattwa 50. Kalau sudah
dapat menguasai diri sendiri maka proses hidup selanjutnya akan lebih lancar
dalam menempuh cara Prawrti Marga.
Agama Hindu sekte Siwa Siddhanta
seperti yang dianut oleh umat Hindu di Bali pada umumnya memiliki tujuan yang
sama dengan Hindu Siwa Pasupata itu. Bedanya hanya penekanannya saja. Kata Sivasiddhanta
berarti sukses mencapai Siwa yang terakhir atau tertinggi. Jadinya dalam satu sekte saja agama Hindu
memberikan kebebasan pada umatnya untuk memilihnya. Di Pura Goa Gajah, kedua
cara itu dapat hidup berkelanjutan dan umat tidak dipaksa harus ikut ini atau
itu. Umat dipersilakan secara mandiri untuk memilihnya atau memadukan semua
cara tersebut. Ini artinya penganut Sivasiddhanta tidak menganggap penganut
Siwa Pasupata sebagai penganut sesat. Mereka menyadari substansi ajaran agama
Hindu yang mereka anut sama yaitu berdasarkan Weda.
Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa
Pasupata tidak menganggap penganut Sivasiddanta sebagai orang lain. Ini artinya
umat Hindu pada zaman dahulu itu benar-benar menghormati privasi beragama
sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi. Sikap keagamaan umat Hindu yang
dicerminkan oleh umat Hindu di masa lampau di Pura Goa Gajah dan sesungguhnya
pada peninggalan Hindu kuno yang lainnya di Indonesia. Tentunya akan sangat
janggal kalau pada zaman sekarang ada misalnya umat yang bersifat negatif pada
orang lain yang berbeda sistem penekanan beragamanya. Umat Hindu di masa lampau
terutama para pemimpinnya benar-benar sudah memiliki jiwa besar dalam mengelola
perbedaan. Karena perbedaan itu merupakan suatu kenyataan yang universal.
Artinya, perbedaan itu akan selalu ada sepanjang masa, di mana pun dan kapan
pun. Akan menjadi sesuatu yang tidak produktif kalau ada yang memaksakan agar
mereka yang berbeda ditekan dengan cara-cara pendekatan kekuasaan. Menyikapi
perbedaan seperti itu sangat tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu dan
nilai-nilai universal yang dianut oleh dunia dewasa ini.
Demikian juga halnya dengan peninggalan keagamaan
Buddha Mahayana di Pura Goa Gajah yang jauh lebih awal berada di Bali.
Munculnya Sidharta Gautama sebagai Buddha diawali oleh adanya dua aliran Hindu
yaitu Tithiyas dan Carwakas. Aliran Tithiyas dan Carwakas sama-sama meyakini
bahwa penderitaan itu karena keterikatan manusia pada kehidupan duniawi yang
tidak langgeng ini. Mereka berbeda dalam hal cara mengatasi keterikatan nafsu
tersebut. Carwakas memandang agar nafsu tidak mengikat maka nafsu itu harus
dituangkan bagaikan menuangkan air di gelas. Dengan nafsu itu terus dipenuhi
sesuai dengan gejolaknya maka nafsu itu akan habis dan lenyap maka manusia pun
akan bebas dari ikatan hawa nafsu. Sebaliknya aliran Tithyas berpendapat bahwa
nafsu itu harus dimatikan dengan menghentikan fungsi alat-alatnya. Agar mata
tidak ingin melihat yang baik-baik dan indah-indah saja maka mata dibuat buta
dengan cara melihat mata hari yang sedang terik. Lidah dibuat sampai tidak
berfungsi. Ada yang sampai membakar kemaluannya agar nafsu seksnya hilang.
Kedua aliran itu membuat umat menderita. Dalam
keadaan seperti itulah muncul Sidharta Gautama yang telah mencapai alam Buddha
memberikan pentunjuk praktis beragama. Ajarannya adalah Sila Prajnya dan
Samadhi. Sila berbuat baik sesuai dengan suara hati nurani. Suara hati nurani
adalah suara Atman. Atman adalah bagian dari Brahman. Teknis berbuat baik itu
didasarkan pada Prajnya artinya ilmu pengetahuan. Dalam berbuat baik hendaknya bersikap konsisten
dengan konsentrasi yang prima. Itulah Samadhi. Inilah inti wacana Sidharta
Gautama dalam menyelamatan umat dari perbedaan yang dipertentangkan itu.
Setelah seratus tahun Sidharta mencapai Nirwana barulah wacana sucinya itu
dikumpulkan menjadi tiga keranjang sehingga bernama Tri Pitaka. Jadinya keberadaan
agama Buddha di Pura Goa Gajah substansinya tidaklah berbeda apalagi berlawanan
dengan ajaran Hindu Siwa Pasupata maupun Sivasiddhanta. Tiga corak keagamaan
yang ada di Pura Goa Gajah itu memang berbeda tetapi perbedaan itu terletak
pada cara atau metodenya saja. Substansi ketiga corak keagamaan Hindu dan
Buddha yang ada di Pura Goa Gajah itu sama-sama menuntun umat manusia untuk
mencapai hidup bahagia dan sejahtera di Dunia dan mencapai alam ketuhanan di Dunia
niskala.(Google:2012:14:3)
LINGGA SIVA
Lingga merupakan lambang Dewa Siwa atau
Tuhan Siwa, yang pada hakekatnya mempunyai arti, peranan dan fungsi yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang
beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini
pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada
pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang
masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. Di Indonesia
khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak,
akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti Lingga yang
sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara umum
maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu
bersifat umum.Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri,
isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki
terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan,
titik pusat, pusat, poros, sumbu (Zoetmulder, 2000:601). Sedangkan pengertian
yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan :
linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari
pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih
Dewa Siwa. Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra
Siwa telah terdapat dihampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai
penelitian umat oleh arkeolog Dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah
terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-Weda dengan
ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada
peradaban Harappa. (Agastia, 2002:2) kemudian pada peradaban lembah Hindus
bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan
selanjutnya pemujaan terhadap Lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat
candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang
Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa
dan saktinya (Rao, 1916:69). Di India terutama di India selatan dan India
Tengah pemujaan lingga sebagai lambang Dewa Siwa sangat populer dan bahkan ada
suatu sekte khusus yang memuja lingga yang menamakan dirinya sekte linggayat
(Putra, 1975:104).
Mengenai pemujaan lingga di Indonesia,
yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun
732 M ditulis dengan huruf pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang
indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga
(lambang Siwa) di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya
(Soekmono, 1973:40). Dengan didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan,
sedangkan lingga adalah lambang untuk dewa Siwa, maka semenjak prasasti Canggal
itulah mulai dikenal sekte Siwa (Siwaisme), di Indonesia. Hal ini terlihat pula
dari isi prasasti tersebut dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi
doa-doa untuk Dewa Siwa. Dalam perkembangan berikutnya tradisi pemujaan Dewa
Siwa dalam bentuk simbulnya berupa lingga terlihat pula pada jaman pemerintahan
Gajayana di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam prasasti
Dinoyo yang berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain menyebutkan bahwa
raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci
yang dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat di
desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan
melainkan sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang
Agastya yang memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru. (Soekmono. 1973:41-42).
Peninggalan Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari
abad ke-15 yang terletak dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa Tengah.
Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter dan
sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan lingga di candi ini dihubungkan
dengan upacara kesuburan (Kempers, 1959:102).
Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di
Bali banyak ditemukan peninggalan lingga, yang sampai saat ini lingga-lingga
tersebut disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih pura. Mengenai
kepercayaan terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat dimana lingga
tersebut dipuja dan disucikan serta diupacarai. Masyarakat percaya lingga
berfungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan, kesuburan dan sebagainya. Mengenai peninggalan lingga di Bali banyak
ditemui di pura-pura seperti di Pura Besakih, Pura-pura di Pejeng, di Bedahulu
dan di Goa Gajah. Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada
kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga
purana disebutkan sebagai berikut:
”Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam
sabdasparsadi warjitam”.
Artinya:
Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan
sebagainya dikatakan sebagai prakrti (alam).
Jadi dalam Lingga Purana, lingga merupakan
tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud
alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan
Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa Lingga). Semua
wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah Lingga dan Dewa Siwa.
Kemudian di dalam Siwaratri kalpa disebutkan sebagai berikut:
”Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I
dalem ikang suralaya”.
Artinya:
Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwalingga” yang bersemayam
di alam Siwa.
Jadi Lingga merupakan simbol Siwa yang
selalu dipuja untuk memuja alam Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa
karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan
terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dalam wujudnya sebagai Siwa.
1. Bentuk Lingga
Haryati Subadio dalam bukunya yang
berjudul : “Jnana Siddhanta” dengan mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga
atau sering disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering disebut sebagai
ymbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Jnana Siddhanta disebutkan:
“Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah
Siwarcayet”.
Artinya:
Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan Lingga dapat dianggap
sebagai sumber siwa.
Dalam bahasa sansekerta pranala berarti
saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi
sebuah saluran air. Dengan istilah Lingga Pranala lalu di maksudkan seluruh
konstruksi yang meliputi kaki dan Lingga, jadi Lingga dan Yoni. Kemudian Lingga
Yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa,
di mana Siwa dinamakan lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu bersama-sama
dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni. Sebuah lingga berdiri. Sesuai
dengan uraian di atas lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas.
Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas: dasar Lingga paling bawah
yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat
carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan
bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga,
bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas
berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk lingga menggunakan
konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) ketiga bagian lingga tersebut kiranya
dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah. Lingga
pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk
lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi
delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam
belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk
segi empat (Gopinatha Rao, 1916 :99). Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga
ada banyak ragam antara lain: berbentuk payung (chhatrakara), berbentuk
telur (kukkutandakara), berbentuk buah mentimun (tripusha kara),
berbentuk bulan setengah lingkaran (arddhacandrakara), berbentuk balon (budbudhasadrisa)
(Gopinatha Rao, 1916 : 93).
2. Jenis-Jenis Lingga
Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha
Rao, yang terangkum dalam bukunya berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol.
II part 1” di sini beliau mengatakan bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat
dikelompokkan atas dua bagian antara lain: (1) Chalalingga dan (2) Achalalingga.
Chalalingga adalah Lingga-Lingga yang dapat bergerak, artinya Lingga itu
dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu
arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah:
a. Mrinmaya
Lingga: Merupakan suatu lingga yang dibuat dari
tanah liat, baik yang sudah dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa
pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih.
Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk
cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai
dalam kitab agama.
b. Lohaja Lingga: Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam,
seperti: emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan.
c. Ratmaja Lingga: Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan
yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa
d. Daruja Lingga: Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti
kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam
kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira,
chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara.
e. Kshanika Lingga:
Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari
saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga
dan rudrasha. Sedangkan yang dimaksud dengan Achala lingga, lingga yang tidak
dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan
Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar
dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya
berjudul: “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian Lingga
atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan Lingga yang dibuat dari barang-barang
mulia seperti permata tersebut spathika Lingga, Lingga yang dibuat dari
emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan
susu disebut homaya Lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut
Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali khususnya
adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. Mengenai keadaan
masing-masing jenis lingga T.A. Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements
of Hindu Iconografi Vol. II part I”
dapat dijelaskan, sebagai berikut:
(a)
Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, Lingga dengan sendirinya tanpa
diketahui keadaannya di Bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci
dan Lingga yang paling utama (uttamottama).
(b) Ganapatya
lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya Lingga yaitu Lingga
yang berhubungan dengan kepercayaan dibuat oleh Gana (padukan Dewa Siwa) yang
menyerupai bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan.
(c) Arsha lingga. Lingga yang dibuat
dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya
bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas.
(d) Daivika lingga. Lingga yang
memiliki kesamaan dengan Ganapatya Lingga dan arsha Lingga hanya saja tidak
memiliki Brahma Sutra (selempang tali atau benang suci, dipakai oleh Brahman).
(e) Manusa
lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena
langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi.
Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga
(dasar), Wisnu bhaga (badan) dan Rudra bhaga (puncak). Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai
pintu masuk tempat pemujaan utama.
f. Lingachala, berdasarkan cara pembuatannya
terdiri dari 2 macam, yaitu Lingga yang bukan dibuat manusia (tumbuh secara
alami), dan linga yang dibuat manusia. Lingga
yang bukan dibuat manusia terdiri dari:
a)
Svayambhuva,”terjadi dengan
sendirinya”
b)
Daivika,”dibuat oleh Dewa”,
umumnya berbentuk seperti api, tangan dalam sikap anjali (menyembah)
c)
Ganapa,”menyerupai makhluk gana”,
umumnya berbentuk seperti ketimun, jeruk, apel dan palem
d) Arsa, dibuat para Rsi, umumnya berbentuk lonjong dengan ketentuan bagian atas
lebih kecil daripada bawahnya.
Lingga yang dibuat manusia (Manusalinga)
Berdasarkan cara pembuatanya manusalinga terdiri dari beberapa bentuk, di
antaranya adalah:
a)
Sarvadesika Lingga jenis ini panjangnya ditentukan oleh perbandingan dengan
sisi ruangan dalam candi. Lingga jenis ini ada 3 macam sesuai dengan besarnya.
Pembagian terdiri atas uttama, yaitu 3/5 sisi ruangan, madhyama 5/9 sisi
ruangan, dan adhama ½ sisi ruangan.
b)
Sarvasama, jenis linga yang
perbandingan antara Rudrabhaga, Visnubhaga, dan Brahmabhaga sama tinggi
c)
Saivadhika, jenis lingga ini
mempunyai perbandingan panjang, 2 bagian bawah sama panjang dan 1 bagian (atas)
lebih panjang. Perbandingan yang umum adalah 7:7:8,5:5:6 dan 4:4:5
d) Svastika, jenis Lingga ini yang mempunyai proporsi semakin ke atas
semakin panjang (bagian atas terpanjang) dengan perbandingan 2:3:4.
e)
Varddhamana, jenis
Lingga dengan proporsi makin ke atas makin panjang dengan perbandingan
4:5:6,5:6:7, dan 7:8:9.
f)
Trairasika, jenis Lingga yang
mempunyai proporsi tinggi keseluruhan linga dibagi 9, dengan ketentuan
perbandingan antara Rudrabhaga: Visnubhaga: Brahmàbhaga,
6:7:8.
Manusalinga terbagi atas 3 bagian., yaitu 1. Rudrabhaga (Lingga bagian
atas) berpenampang garis lengkung, 2. Visnubhaga (Lingga bagian tengah)
mempunyai bentuk segi-8 (octagonal), 3. Brahmabhaga (linga bagian
bawah) mempunyai bentuk persegi.
Puncak Lingga (sirovartthana) jenis ini mempunyai beberapa macam
bentuk, di antaranya bentuk chattrakara (bentuk payung), tripusakara
(bentuk ketimun), kukkutaudakara (bentuk telur), ardhacandrakara
(bentuk bulan sabit), budolasadrisa (bentuk menggelembung). Pada puncak
linga ditemukan 2 garis vertikal yang bertemu dengan 2 garis melengkung.
Garis-garis tersebut dinamakan garis Brahmasutra. Jenis-jenis manusalinga
yaitu:
a) Astotarasata”108 Lingga kecil”. Manusalinga
jenis ini adalah linga yang pujabhaga (permukaan Lingga) nya dibagi atas
garis-garis vertikal dan horizontal, sehingga terlihat seperti dihiasi
linga-linga kecil.
b) Dhara, adalah Lingga yang bagian
pujabhaga-nya dihiasi garis-garis vertikal yang memanjang (fluted vertikal)
sebanyak 50-60 buah. Kitab Suprabhedagama menjelaskan garis vertikal tersebut
dapat saja berjumlah 5,7,9,12,16,20,24, maupun 28, sedangkan kitab Karanagama
memberi ketentuan 16 buah garis
c) Sahasra, linga jenis ini pujabhaga-nya
dihiasi garis-garis vertikal dan horizontal. Bedanya dengan astottarasata, pada
sahasra garis-garis horizontal dan vertikal itu tidak membentuk linga-linga
kecil.
g. Mukhalingga
Mukhalingga adalah
salah satu bentuk linga yang diberi hiasan berbentuk muka dewa. Hiasan muka
tersebut bisa berjumlah 1,2,3,4, atau 5 buah muka. Hiasan muka yang berjumlah 5
itu mengandung arti simbolik dari kelima aspek Siva, yaitu Sadyojata, Vamadeva,
Aghoramsrti, Tatpurusa dan Isana (Margaret Stutley, 1985:94). Kelima aspek Siva
itu juga berkaitan erat dengan lima unsur (pancamahàbhuta), yaitu tanah,
air, api, angin, dan udara (akasa). Kelima aspek Siva itu mempunyai fungsi yang
berbeda-beda. Sadyojata aspek Siva sebagai pencipta (dunia), Vamadeva aspek Siva
sebagai pemelihara (Dunia), Aghoramsrti aspek Siva sebagai pemelihara (Dunia),
Tatpurusa aspek Siva sebagai pembasmi samsara, dan Sadasiva aspek Siva yang
erat hubungannya dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai moksa (Margaret
Stutley, 1985:107). Sebaliknya Gopinatha Rao (1968) menghubungkan kelima aspek Siva
itu dengan 1 Samharamsrti sebagai perusak, Anugrahamsrti sebagai pemberi
anugrah, Nrttamsrti sebagai ahli tari, Daksinamsrti sebagai ahli musik,
filsafat dan samadhi, dan Bhiksatamsrti sebagai ”pengemis”. Selanjutnya kitab
Skanda Purana menyebutkan warna masing-masing aspek Siva tersebut, yaitu
Sadyojata berwarna putih seperti kulit kerang atau bulan, Aghoramsrti memiliki
warna yang menyerupai awan hitam, Vamadeva mempunyai warna kuning keemasan,
Tatpurusa mempunyai warna kemilau, dan Sadasiva mempunyai warna putih (Margaret
Stutley, 1985:107). Lingodhavamsrti
Salah satu bentuk perwujudan Siva yang sangat menonjol di India adalah
linga dalam perwujudannya sebagai Lingodhavamsrti. Dalam perwujudannya ini Siva
digambarkan ke luar dari dalam sebuah linga yang terbuka. Dalam bentuk relief
umumnya digambarkan sebagai sebuah linga dengan seekor angsa terbang di atas Lingga
agak ke bawah terpahat arca manusia berwajah babi hutan sedang mencaricari (linga)
di bawah tanah. Bentuk lain penggambaran lingodhavamsrti berupa wujud Siva
sedang ke luar dari dalam Lingga yang terbuka. Di depannya digambarkan Visnu
dan Brahma berdiri dalam sikap memberi hormat dalam sikap anjali. Gambaran pada
relief ini didasarkan pada kitab-kitab Purana, di antaranya kitab Vayu Purana,
Brahmanda Purana, Siva Purana (rudrasamhita), dan Lingga Purana serta
Skanda Purana.Dalam Lingga Purana diceritakan bahwa para dewa datang bertanya
pada Brahma awal mula lahirnya Lingga, dan bagaimana Mahesvara dapat berada
dalamnya. Brahma kemudian bercerita bahwa linga adalah pradhana (= alam), dan
pemilik linga adalah Dewa Tertinggi, Paramesvara. Kemudian Brahma juga
menceritakan pertemuannya dengan Visnu serta kedatangan api linga yang
mempesona. Ia (Brahma) dan Visnu berusaha mencari ujung dan pangkal linga,
namun tidak berhasil. Dalam usaha pencarian itu Visnu berubah menjadi babi
hutan dan ia sendiri (Brahma) berubah menjadi seekor hamsa.
Kitab Amsumadbhedagama menjelaskan salah satu penerapan kisah
timbulnya linga dalam pahatan, yaitu dengan cara memahat tokoh Siva dalam
bentuk Chandrasekhamsrti di bagian depan (permukaan) sebuah lingga. Keterangan ini diperjelas oleh
kitab Karanagama. Menurut kitab
ini seperlima ujung dan dasar linga sebaiknya dibiarkan polos, tanpa pahatan.
Kaki di bawah lutut tokoh Siva tidak ada. Sebelah kanan Lingga dekat ujung
(puncak) linga dipahat Brahma dalam bentuk seekor angsa, sementara Visnu dalam
bentuk seekor babi hutan dipahat pada bagian kiri kaki Lingga. Dapat pula tokoh
Brahma dan Visnu dipahat di atas kanan dan kiri menghadap linga dengan tangan
dalam sikap anjali. Tokoh-tokoh ini dapat pula diberi warna, warna untuk tokoh Siva
merah, Visnu hitam, dan Brahma kuning keemasan. Keterangan yang lebih rinci
kita dapatkan dalam kitab Kamikagama.
Menurut kitab ini ukuran angsa ditetapkan sama panjang dengan wajah Siva,
sedangkan babi hutan dua kali panjang wajah Siva. Tokoh babi hutan digambarkan
sedang menggali dan masuk ke dalam bumi. Tokoh Visnu dan Brahmà dalam bentuk
kedewaan tidak perlu dipahatkan, sedangkan angsa dan babi hutan harus
dipahatkan. Kita Silparatna menambahkan
bahwa Siva membawa trisula pada salah satu tangannya. Kitab Karanagama mengharuskan memahat tokoh Siva
dalam bentuk caturbhuja dengan
ketentuan salah satu tangannya digambarkan dalam sikap abhaya, dan salah satu
tangan lainnya dalam sikap varadahasta. Tangan ketiga membawa parasu dan
tangan keempat memegang krsnamrga (seekor rusa jantan berwarna hitam). Siva
dipahat dengan hiasan mahkotanya berbentuk hiasan bulan sabit. Beberapa bentuk
perwujudan Lingodbhavamsrti
yang ada di India telah ditelaah Gopinatha Rao dalam bukunya Elementa of Hindu Iconography, di
antaranya 1. Lingodbhavamsrti yang
ditemukan dalam candi Kailàsanathasvami di Conjeevaram yang umurnya lebih dari
1200 tahun lalu. Tokoh Siva digambarkan dalam bentuk Siva Candrase kharamurti
bertangan delapan. Beberapa dari kedelapan tangan digambarkan membawa parasu, sula, aksamala, dalam sikap abhaya, dan katyavalambita. Keterangan selanjutnya, bahwa seperlima bagian
ujung linga sebelah kiri tidak ada
pahatan, demikian juga dari lutut ke bawah tokoh Siva.
Siva digambarkan mengenakan hiasan bulan sabit pada mahkotanya. Babi hutan
sebagai avatara Visnu digambarkan
bertangan empat, dua buah tangan sedang menggali bumi, dua tangan lainnya
digambarkan membawa sankhadan cakra. Menurut kitab Agama,
babi hutan dapat juga dipahatkan seakan ke luar dari dasar ruang panil. Brahmà
digambarkan terbang di udara di ujung lingga
dalam bentuknya sebagai seekor angsa. Tokoh Visnu dan Brahma juga dipahatkan
dalam bentuk caturbhuja di kanan kiri
linga. Visnu dan Brahmà digambarkan
dalam sikap memuja (sebuah tangan dalam sikap memuja, sebuah diletakkan di atas
pinggul masing-masing, dan tangan-tangan yang lain membawa laksana masing-masing). Pada puncak relung dipahatkan makara-torana. Selain di candi Kailasanathasvami,
relief lingodbhavamurti kita temukan juga di dalam candi Siva Ambar Magalam. Di
sini lingga, digambarkan dengan
untaian bunga berbentuk lingkaran ke luar dari atas puncak linga. Tokoh Siva digambarkan dalam bentuk caturbhuja, sebuah
tangan dalam sikap abhaya, tangan
lainnya dalam sikap katyavalambita,
membawa parasu dan rusa jantan hitam.
Kaki-kaki tokoh Siva di bawah lutut dan di atas pergelangan kaki dipahatkan
bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan dalam kitab Agama, yaitu sebuah kaki disembunyikan
di dalam lingga. Di atas lingga tergambar angsa dengan paruh yang
sangat menonjol. Di bawah sebelah kiri lingga
babi hutan yang diwujudkan dalam bentuk setengah manusia dan setengah binatang
sedang menggali liang di bumi. Menurut perkiraan relief lingodbhavamurti ini berasal dari abad 11 atau 12 Masehi, yaitu
periode pertengahan Chola.
3. Puja Terhadap Sivalingga
Upacara puja lingga atau lebih
dikenal sebagai nitya-puja dapat
berupa abhiseka, yaitu membasahi linga dengan cairan berupa air kelapa,
madu, air gula, susu dan sebagainya. Pujaan terhadap lingga dapat pula dilakukan dengan memberi dupa, membakar kayu
wangi, lepa dan sebagainya. Selain memberi dupa dapat pula berupa persembahan naivedya, yaitu upacara pemberian aneka
makanan bagi sang lingga. Usai
upacara semua makanan dibagikan pada yang hadir untuk disantap bersama. Puja terhadap linga dapat pula dilakukan di dalam garbhagrha dengan meletakkan lampu dan untaian bunga atau
bunga-bunga lepas. Dalam upacara besar selain menggunakan bunga dan lampu, juga
dipersembahkan musik dan tari. Penarinya seorang devadasis (deva = dewa ; dasi = abdi), yaitu seorang wanita cantik
yang telah mendapat latihan menari sesuai dengan aturan-aturan puja.
Dalam kitab Manasara disebutkan bahwa di India lingga atau phalli
mempunyai banyak sebutan, diantaranya Siva, Pasupata, Kalamukha, Mahàvrata, Vama, dan Bhairava (Manasara,
LII :2-3). Untuk kumpulan linga
mendapat sebutan Samakarmna, Vardhamamana, Sivanka, dan Svastika yang
masing-masing merupakan media pemujaan untuk kaum Brahmana, Ksatrya, Vaisya,
dan Sudra (Manasara, LII :4-5). Sebagai simbol Siva, lingga merupakan aspek sekunder dari lambang kelaki-lakian Siva
yang baru akan menimbulkan tenaga atau energi setelah bersatu dengan yoni, yaitu lambang kewanitaan, sakti Siva, yaitu Parvatì. Lingga merupakan lambang
api, sebagai manifestasi dari kekuatan atau kekuasaan, sedangkan yoni merupakan lambang bumi. Kedua sifat
itu saling bertolak belakang, namun bila keduanya bersatu akan melahirkan
kekuatan atau energi. Itulah makna pertemuan antara lingga dan dan yoni.
FILOSOFIS NAMA SIVA
1. Arti
dan Makna Nama Siva
Kata Siva berarti yang memberikan keberuntungan (kerahayuan),
yang baik hati, ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan,
yang tenang, membahagiakan dan
sejenisnya (Monier, 1990:1074). Sang Hyang Siva di dalam menggerakkan hukum
kemahakuasaan-Nya didukung oleh sakti-Nya Durga atau Parvatì. Hyang Siva adalah
Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelebur
kembali (aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala
isinya). Siva yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan
menakutkan). Siva yang belum kena pengaruh
Maya (berbagai sifat seperti Guna, Sakti
dan Svabhava) disebut Parama Siva,
dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarupa
atau Niskala dan Tidak berwujud (Impersonal God).
Pada awal kalpa, ketika Brahma
bermeditasi untuk kelahiran seorang putra yang sama dengan dirinya sendiri,
tiba-tiba seorang anak dengan warna kulit kebiru-biruan muncul dan duduk
dipangkuannya, dan anak tersebut mulai menangis. Brahma bertanya kepada anak
tersebut, mengapa menangis, dan anak itu meminta kepada Brahma supaya diberikan
sebuah nama. Brahma memberi nama Rudra dan meminta supaya berhenti menangis,
malahan ia menjerit 7 kali sesudah diberi tahu. Kemudian Brahma memberinya 7
nama lagi, sehingga keseluruhannya berjumlah 8, sebagai 8 wujud (astamurti),
berikut dengan sakti dan putra-putranya masing-mamsing, yaitu: Sarva, Isana, Pasupati, bhima,
Ugra dan Mahadeva, yakni 7 nama, dan matahari, air, tanah, angin, api, angkasa,
bulan dan pandita (Dvijati). Para dewi yang mengikuti devata tersebut, adalah:
Suvarcala, Usa, Vikesì, Siva, Svaha, Disa, Diksa dan Rohiì. Bumi penuh dengan
keturunannya. Sanaiscara, Sukra, Lohitànga, Manojava, Skanda, Sarga, santana
dan Budha adalah putra-putra dari 8 dewi, úakti para devata tersebut. rudra
mengawini Satì, putri Daksprajapati (Visnu Purana 1.8).
Dari Brahma dengan sifat Guna
Rajas lahir dari pusar Mahavisnu, dan dari antara ke dua kening Brahma Sivarudra
dengan sifat Guna Tamasika. Brahma
melalui Tapanya memiliki kemampuan untuk menciptakan alam semesta dan
menciptakan bumi ini berwarna kemerahan, diwarnai oleh sifat Rajas, demikian
pula pada akhir Kalpa, alam semesta dilenyapkan kembali oleh Rudra diwarnai
kegelapan (Devi Bhagavata Sakndha 7).
Dari kemarahan muncullah Rudra,
dari pahanya muncul Narada, dari jarinya muncul Daksa, dari pikirannya muncul
Sanaka dan lain-lain dan dari jari kirinya muncul seorang putri bernama Vìranì
(Devì Bhsvata Skandha 7). Empat putra mental Brahma adalah: Sanaka, Sanandana,
Sanatana dan Sanatkumara menunjukkan kesegannya untuk melahirkan keturunannya.
Brahma marah sangat marah dengan sikap ke empat putra-putranya itu, dari antara
ke dua keningnya lahir mahluk yang berwarna putih-kebiru-biruan, dan ia
menangis meminta kepada Brahma untuk diberi nama. Dengan rakhmatnya, ia diberi
nama ‘ma ruda’ (jangan menangis) oleh Brahma, kemudian terkenal
dengan nama Rudra.selanjutnya diberikan 111 lagi nama tambahan oleh Brahma,
masing-masing: Manyu, Manu, Mahinasa, Mahàn, Siva, Rtudhvaja, Ugrareta, Bhava,
Ksma, Vsmadeva dan Dhrtavrata. Nama-nama tersebut sebaliknya juga dikenal
dengan nama-nama berikut: Aja, Ekapada, Ahirbudhya, Tvasta, Rudra, Hara,
Sambhu, Trayambaka, Aparsjita, Ìsana dan Tribhuvana. Sebelas Rudra (Ekadasarudra)
juga masing-masing diberikan kekuasaan oleh Brahma, yakni: jantung, panca
indria, pràna (energi) angin, api, air, tanah, matahari, dan bulan. Rudra
memiliki 11 sakti, masing-masing: Dhì, Vrtti, Usana, Uma, Niyuta, Sarpis, ila,
Ambika, Iravatì, Sudha dan Diksa. Rudra dengan nama Sva disebut sebagai bagian
dari Trimurti. Ajaran ini nyata sepanjang pengertian waktu peleburan atau
pemusnahan. Oleh karena itu, Rudrasamhaara (pemusnahan oleh Rudra) dapat
berarti dalam pengertian awal penciptaan.
Pada permulaan Yuga (era) Brahma
lahir dari pusarnya Sang Hyang Visnu. Dua raksasa bernama Madhu dan Kaitbha
berusaha untuk membunuh Brahma, dan dari kening Sang Hyang Visnu yang marah
saat itu muncul Sang Hyang Siva membawa senjara Triúula (Vanaparva 12).
Makna dari simbol-simbol atau atribut yang digunakan oleh Dewa Siva. Dewa
Siva digambarkan berwarna putih salju, yang benar-benar selaras dengan tempat
kediamannya, yaitu Himalaya. Putih menyatakan sinar yang mengusir kegelapan,
pengetahuan yang melenyapkan kebodohan. Ia merupakan personifikasi dari
kesadaran kosmis. Tampaknya aneh bahwa siva yang menyatakan sifat tamas (daya
kegelapan dan penghancur) di gambarkan putih, sedangkan Visnu yang menyatakan
sifat sattva (daya sinar dan pencerahan) digambarkan sebagai gelap (hitam).
Sebenarnya tidak ada yang aneh dalam hal ini karena guna yang saling berlawanan
itu tak dapat dipisahkan. Karena itu Siva digambarkan putih diluar dan gelap di
dalam, sementara Visnu sebaliknya.
Tiga mata dari Siva menyatakan matahari,
bulan dan api, tiga sumber sinar, kehidupan dan panas. Mata ketiga juga dapat menyatakan mata pengetahuan
dan kebijaksanaan, dari kemahatauann-Nya. Bila matahari dan bulan membentuk dua
matanya seperti apa adanya, lalu seluruh langit termasuk angin perkasa yang
berhembus disana membentuk rambutnya. Itulah sebabnya ia disebut Vyomakesa (yang
menggunakan langit atau ruang angkasa sebagai rambutnya). Siva mengenakan kulit
harimau sebagai pakaiannya menunjukan, bahwa Ia penguasaannya yang sempurna
terhadap keinginan. Harimau sebagai binatang yang sangat kuat, dan dengan
mengenakan kulitnya sebagai pakaian menandakan bahwa Siva telah sepenuhnya
menundukan kecenderungan hewani.
Rangkaian
tengkorak kepala (Mundamala) yang dikenakannya yang bermakna
menyatakan revolusi jaman dan penampakan serta pelenyapan berturut-turut dari
ras manusia. Abu pembakaran mayat yang digunakan untuk melumuri badannya
menandakan bahwa ia merupakan penguasa pemusnahan. Air dari sungai ganga
menyatakan, jnana pengetahuan. Karena sungai Ganga
sangat dipuji sebagai pemurni utama, yang berlangsung tanpa mengatakan bahwa
dialah yang dipuju, merupakan personifikasi dari yang pemurni atau penebus
dosa.
Bulan sabit
menyatakan waktu, karena ukuran waktu seperti hari atau bulan. Dengan
mengenakan sebagai mahkota, Siva menunjukan kepada kita bahwa waktu yang
maha-kuasa itu pun hanyalah perhiasan saja baginya. Ular Kobra beracun yang melambangkan kematian. Dan
ular-ular melingkar juga dapat menyatakan siklus waktu pada makrokosmos dan
energy dasar yang sama dengan energy seksual dari makhluk hidup dalam
mikrokosmos. Dengan demikian, Siva merupakan penguasa waktu dan energy.
Secara
ikonografi, Siva mungkin digambarkan dengan dua, tiga, empat, delapan, sepuluh
atau bahkan tigapuluh dua lengan. Beberapa
jenis benda yang tampak ditangannya adalah: Trisula, cakra, parasu
(kapak perang), Damaru (kendang kecil), Aksamala (tasbih), Mrga
(menjangan), Pasa(jerat), Danda (tongkat), Pinaka atau Ajagava
(busur), Khatvanga (tongkat wasiat), Pasupata (tombak), Padma
(kembang teratai), Kapala (tengkorak kepala), Darpana (cermin), Khadga
(pedang) dan lain sebagainya. Agak sulit untuk menemukan makna untuk
masing-masing benda tersebut. Namun usaha dilakukan untuk menjelaskan
beberapa buah diantaranya.
Trisula yang
menjadi senjata penting dalam menyerang dan bertahan, menyatakan Siva merupakan
penguasa utama. Secara filosofis itu dapat menyatakan triguna atau tiga proses
penciptaan, pemeliharaan dan penyerapan. Karena itu Siva pembawa trisula
merupakan penguasa guna dan dari padanya berawal proses kosmis ini.
Dikatakan
bahwa sementara menarikan Tandavanrtya, Siva membunyikan Damaru-Nya empat belas
kali, sehingga menghasilkan suara seperti a-i-u-r-lr-k dan seterusnya, yang
kini dikenal sebagai mahesvarasutra, empatbelas rumusan dasar yang mengandung
segala huruf yang tersusun dengan cara yang sangan mahir, yang memfasilitasikan
proses gramatika yang sangat banyak. Karena Damaru menyatakan alphabet,
gramatika (ilmu bahasa) atau bahasa itu sendiri. Dengan kata lain, ia
menyatakan segala kata-kata yang diucapkan atau ditulis, ataupun yang
diungkapkan dengan cara lainnya sehingga dimaksudkan bagi seluruh tangga nada
dari semua seni dan ilmu pengetahuan, suci maupun secular. Itu juga menyatakan
suara sebagai logos, asal mula segenap ciptaan ini. Dengan mengenggamnya Siva memperlihatkan
kenyataan bahwa segenap penciptaan, termasuk berbagai macam seni dan ilmu
pengetahuan, berawal dari kehendak sebagai permainannnya.
Bila Aksamala
(tasbih) menunjukan bahwa ia merupakan penguasa ilmu pengetahuan spiritual,
khatvanga (tongkat wasiat, dengan sebuah tengkorak kepala di ujungnya) yang
dipakai wadah darah yang diminumnya, merupakan lambang lain yang menunjukan
daya pemusnah segalanya. Darpana (cermin) menyatakan bahwa segenap ciptaan
hanyalah pantulan dari wujud kosmisnya (Maswinara, 2007:38-48)
Abu pada badan dewa Siwa melambangkan bahwa intisari dari semua benda dan
makluk di Dunia. Dan abu pada tubuh Dewa Siwa melambangkan bahwa ia sumber dari
seluruh penciptaan yang berasal dari dalam dirinya. Dewa Siwa memiliki tiga
mata. Dua mata pada bagian kiri dan kanan melambangkan aktifitasfisiknya. Dan
mata yang ketiga melambangkan kebijaksanaan dan menghancurkan kejahatan.
Ular yang ada di sekeliling lehernya melambangkan Kekuatan. Tri Sula yang
memiliki tiga ujung melambangkan tiga sifat alam yaitu Sattwam, Rajas, Dan
Tamas. Dan Tri Sula melambangkan bahwa Dewa jauh dari ketiga sifat itu. Damaru atau kendang kecil yang
menghasilkan suara bergetar seperti Om. Damaru pada Dewa Siwa berarti ia
menyangga seluluh ciptaanya ditangan. Kulit Harimau yang jadi tempat duduk Dewa
Siwa melambangkan kekuatan yang pasti dan ia kendalikan sesuia dengan
keinginnanya. Bulan Sabit yang ada pada kepalanya sebagai hiasan dan
melambangkan siklus waktu. Dewa Siwa digambarkan duduk di kuburan, yang
melambangkan kemutlakan untuk mengendalikan kelahiran dan kematian.
Seekor sapi jantan putih yang sebagai kendaraan Dewa Siwa. Sapi putih jantan
melambangkan kekuatan dan keperdualian.
Dewa Siwa dikatakan memiliki banyak tarian yang disebut dengan Nataraja. Dalam
Tarian Siwanataraja digambarkan Dewa Siwa menari di atas Raksasa Apasmara, yang
disimbulkan yang kelihatan dari ritme alam semesta. dengan api yang melingkara
melambangkan proses hidup dari penciptaan semesta. Mudra, gerak tangan yang
lainnya melambangkan kegiatan yang berbeda. Dalam satu tangan Nataraja memegang
gedang, dan tangannya yang kedua menunjukkan abhaya mudra. Dalam telap
tangannya ketiga dia memiliki lidah api sebagai simbol dari penghancuran, dan
tangan yang ke empat menunjuk kepada kepada kakinya yang terangkat. Ini
melambangkan keselamatan bagi pemujaannya. (Visvanathan.Ed.
2005:170-171)
2. Penampilan Siva.
Siva memiliki rambut ikal yang digelung, berwarna merah. Siva
dikenal dengan nama Kapardì, karena memiliki rambut merah yang ikal dan
digelung tersebut. Siva juga dinyatakan sebagai Agni. Memiliki 3 mata (Trinetra),
Phalanetra, Agnilocana, Trilokana dan lain-lain, karena fakta-fakta tersebut di
atas. Siva disebut yang dapat menghancurkan segala sesuatu yang bekaitan dengan
Agni. Siva menghancurkan segalanya, membawa Trisula. Senjatanya yang lain
disebut Pinaka, oleh karena itu Siva disebut juga dengan nama Pinàkapani (yang
memegang Pinaka ditangannya). Baik Siva maupun kendaraannya, Nandini berwarna
putih. Warna putih menunjukkan kekuasaan untuk mengawasi proses peleburan
kembali. Siva digambarkan memiliki 2, 6, 8 dan 10 tangan. Di samping memegang
Pinaka, juga membawa tongkat yang dinamakan Khatvànga, busur bernama Ajagava,
seekor menjangan, tasbih, tengkorak, damaru
(gendang kecil) dan benda-benda suci lainnya. Ganga (Dewi Ganga) dan
Ardhacandra (bulan sabit) bertengger pada kepalanya, oleh karena itu disebut
juga Gangadhara dan Candracsda. Kalungan bunga yang terbuat dari untaian
tengkorak manusia melingkar di lehernrya. Siva mengenakan busana (kain) darri
kulit macan dan kulit gajah untuk selimut (blanket)nya. Di lengannya
bergelayutan beberapa ekor ular sebagai hiasan. Di dalam kitab-kitab Purana
kita mendapatkan informasi tentang Sang Hyang Siva memperoleh berbagai hiasan
tersebut. Istri para rsi terpikat kepada Siva, yang sekali waktu tampil dengan
mengenakan pakaian seperti peminta-minta. Para rsi sangat marah terhadap Siva
atas penampilannya itu dan ingin membunuhnya. dari lobang yang digali, muncul
seekor harimau. Siva membunuh harimau itu dan mengambil kulitnya. Seekor
menjangan mengikuti harimau muncul di lubang itu. Siva memegang binang itu
dengan tangan kirinya. Selanjutnya muncul dari lobang itu tongkat besi panas
berwarna merah. Siva mengambil tongkat itu dan menjadikan senjatanya. Terakhir
dari lubang muncul beberapa ekor ular kobra dan Siva mengambil ular dan
mengenakannya sebagai hiasannya. Suatu hari raksasa bernama Gaya menyamar dalam
wujud seekor gajah dan menangkap seorang pandita yang melarikan diri dan
memohon perlindungan di sebuah pura Siva. Siva muncul dan membunuh gajah
tersebut, kemudian mengambil kulitnya dikenakan di badannya. Suatu hari Siva
mengenakan beberapa ekor ular sebagai anting-antingnya, oleh karena itu ia
dikenal dengan nama Nagakundala. Brahma meminta kepada Rudra untuk menciptakan
manusia, dan permintaan itu dipenuhinya, tetapi manusia ciptaanya menjadi
manusia yang sangat bengis. Brahma khawatir terhadap mahluk itu akan memakan
mahluk-mahluk lainnya. Brahma yang gemetar karena ketakutan meminta kepada
Rudra untuk menghentikan penciptaan manusia itu dan meminta menciptakan yang
lain. Selanjutnya Rudra mulai mempraktekkan tapa.
3. Pemujaan Kepada Siva.
Tidak terbilang jumlahnya umat Hindu di seluruh dunia
memuja Sang Hyang Siva dan mereka mengikuti berbagai cara untuk memuja-Nya.
Mereka ada yang memuja dengan mengikuti tata cara kitab suci Veda dan ada juga
yang tidak, seperti juga bentuk yang Sattvik dan juga yang lain. Bentuk
pemujaan yang tertua disebut Parasupadam (Pasupatam?). Hal itu dipercaya bahwa
Parasupadam suatu hari menghormati dan pada kesempatan yang lain menentang
kitab suci Veda. Sivalinga di suatu tempat bernama Gsdamillam diyakini sebagai
yang sudah sangat tua, berasal dari abad ke-2 Sebelum Masehi. Salah satu simbol
di antara demikian banyak simbol-simbol Siva adalah Sivalinga, simbol yang
sangat penting. Terdapat dua jenis Linga, yakni yang bergerak dan yang tidak
bergerak. Linga yang tidak bergerak adalah linga yang dibuat permanen di suatu
pura atau yang ada demikian rupa dengan sendirinya. Linga yang dapat dibawa
kemana-mana, dibuat dari tanah, batu, kayu, permata, dan lain-lain. Terdapat
juga Linga yang sifanya sementara, yang ditempatkan di suatu tempat, dibuat
dalam berbagai bentuk. Linga dibuat dari batu sebagai bagian laki-laki (purusa)
dan sebagai bagian wanita (yoni). Terdapat berbagai variasi tipe Linga
yang menjukkan berbagai perbedaan atribut Siva, seperti misalnya Lingodbhava,
Candrasekhara, Raudra, Umasahits dan lain-lain. Kamantaka, gajari, Kalari,
tripuradahaka, dan lain-lain menunjukkan Tuhan yang Maha Esa dalam a speknya
yang dahsyat. Siva juga dalam sikapnya
memberikan rakhmat kepada Candesa, Visnu, Nandìsvara, Vighnesvara dan arjuna.
Ia juga tampil dalam berbagai pose menari, Daksinàmùrti yang digambarkan dengan 4 wujud, yaitu: Vyakhyana,
Jnana, yoga dan Vìnadhara. Bhiksataka, Kapaladharì, Gangadhara, Ardhanaresvara,
Vrbhavahana dan Visakhaksaka
adalah bentuk yang lain dari Siva. Jarang digambarkan dalam bentuknya sebagai Sadàsiva, Mahesvara, Ekadasarudra, Vidyesvara
dan Mstyasþaka. bentuk-bentuk itu adalah bentuk-bentuk dari Saivagama.
Ganapati menempati posisi terkemuka di antara Para Dewa
yang berhubungan dengan Siva. Ganapati mulai dipuja mulai abad ke 6-7 Sebelum
Masehi. Bentuk arcanya yang sekarang barangkali setelah periode ini. Banyak
pura yang didedikasikan kepada Ganapati utamanya di India Selatan. Yang
terpenting di antara berbagai arca Ganapati adalah Itampiri (belalai menjulur di sebelah kiri badan) dan Valampiri
(belalai menjulur di sebelah kanan badan). Ganapati adalah aspek fisik dari
Sang Hyang Siva, sebagai devata yang mengusir atau melenyapkan segala rintangan
di jalan bhakti (bagi pemujanya). Ganapati disebut Vighnesvara. Alam
semesta masuk dalam kandungan perutnya yang besar. Setelah Ganapati, devatà
lainnya adalah Subrahmanya. Ia hanya dipuja di India Selatan saja. Kumara,
Muruka (Muruga), Kartikeya, Skanda, Arumukha, Guha dan lain-lain adalah
nama-nama lain Subrahmanya. Cukup banyak pura yang didedikasikan untuk Subrahmanya
di Tamil Nadu, banyak di antaranya dibangun di puncak-puncak bukit. Di India
Utara pura untuk Subrahmanya sangat
jarang. Buku yang ditulis pada masa Sangha menunjukkan bukti bahwa Subrahmanya
telah dipuja sejak masa yang amat tua. Ia digambarkan dalam berbagai postur,
duduk, dengan 6 wajah, hanya dengan satu wajah, dengan 2 tangan, 4 tangan,
dengan istrinya, menggunakan benang suci, dan lain-lain.
Di samping itu adalah arca-arca Sakti. Sakti adalah dewi
yang sangat dekat dengan Siva. Di India Selatan ada sebuah pura yang istimewa
ditujukan untuk memuja Sakti bernama Saktipìthalaya. Durga adalah yang
terpenting sebagai manifestasi Sakti. Umumnya arca Durga berdiri di atas padma,
dan juga ada yang mengendarai Singa. Kitab-kitab Agama menyebutkan adanya 9
macam wujud dari dewi Durga, yaitu: Nìlakanthì, Ksemankarì, Harasiddhi, Raudra,
Vana, Agni, Jaya, Vindhyasnì, dan Ripunasinì.Wujud Durga yang sangat menakutkan
adalah sebagai Mahhisàsuramardini, dapat dijumpai
di Mahabalipuram, Ellora dan tempat-tempat lainnya, termasuk di Indonesia
(Jawa, dan Bali (pura Bukit Dharma Kutri, Gianyar). Durga disebut juga Candika
dan Katyayani. Durga dipuja sebagai Nanda,
Bhadrakalì, Amba, Rajamaatangì, dan
lain-lain.
Masa Siva. Ribuan
Caturyuga merupakan satu hari Brahma. Menurut berbagai kitab Purana, 14 Indra
jatuh dari sorga selama satu hari Brahma. Dua hari Brahma sama dengan satu hari
Visnu, pada masa akhir dari periode itu, ia juga ingin memperpanjangnya. Satu
hari Siva sama dengan dua hari Visnu (Devì Bhagavata
Skandha 5). Sivasarasranama. Seribu nama
Siva pada dasarnya disebutkan dalam Mahàbhàrata, yakni Sàntiparva 285 dan Anusasanaparva 17. Terdapat perbedaan
beberapa nama dalam kedua daftar dari dua kitab tersebut.
Kitab-kitab Puràna
mengandung berbagai referensi tentang kekuatan yang agung dari Sivabhasma atau
Vibhuti atau abu Siva. Ceritra berikut bahkan menyebutkan Dewa Visnupun
akhirnya menjadi penyembah Siva karena kesucian dari Sivabhasma, seperti
disebutkan di dalam Padma Purana, Patalakhanda 101. Pada awalnya atau ketika
Brahmapralaya (kehancuran alam semesta), Mahavisnu terlentang di atas air besar
kehancuran. Pada kedua sisi Sang Hyang Visnu terdapat ratsàn alam semesta (tatasurya/galaksi)
dan pada kedua sisi kakinya dan di tengah-tengah kepalanya, masing-masing 20
alam semesta melekat padanya. Satu alam semesta rangkaian permata bercahaya
pada hidung Sang Hyang Visnu. Maharsi seperti Lomasa melakukan Tapa dengan
duduk pada pusarnya. sementara itu Mahàvisnu melakukan Tapa yang khusuk untuk
mempersapkan penciptaan. Tetapi, ia tidak menemukan sesuatu papapun dan mulai,
oleh karenanya sangat sedih gulana. Selanjutnya muncul cahaya luar biasa
keduniawiannya yang mengakibatkan ia takut dan menutup matanya.
Siva memutar kedua tangannya, bagaikan rangkaian bunga
(garland) berupa satu karor alam semesta muncul di hadapan Sang Hyang Visnu. Ia
kemudian berdiri dan memerikasa, siapa yang datang itu. Siva memperlihatkan
wujudnya. Siva berkata kepada Visnu, bahwa ia tidak memiliki kebijaksananan
yang cukup untuk penciptaan dan juga menasehatkan untuk memperoleh pengetahuan
yang cukup dengan jalan mandi Varuna dan kemudian mandi dengan Bhasma. Atas
permintaan ini Visnu menjawab dengan mengatakan bahwa tidak ada air yang cukup
untuknya mandi, dan yang secara dekat di kelilingi oleh alam semesta, duduk di
air. Ternyata hal itu hanya sampai kepahanya. Selanjutnya Siva seperti menertawakan,
sesungguhnya cukup air untuk Visnu yang digunakan untuk mandi dan menyaksikan
sepintas kepadanya dengan mata Siva di atas kedua keningnya, dan juga mata
kirinya. dan tiba-tiba saja badan dewa
Visnu menjadi sangat kecil dan hal itu menjadikan mulai menggigil. Selanjutnya Siva
berkata, sebagai berikut: “Wahai Visnu! Di sini air dalam, engkau dapat mandi
di sini!”. Namun Visnu tidak bersedia mandi di kolam yang hebat yang diciptakan
melalui paha Siva. Kemudian, ia memohon kepada Siva supaya diberikan jalan
untuk mendapatkan kolam. Siva: “Wahai Visnu! sebelum kejadian ini meskipun anda
duduk di air, satu karor Yojana dalamnya, ternyata hanya sampai pada paha anda.
Tetapi, kini walaupun anda berdiri di air, anda berdiri di atas kaki anda, anda
mengatakan bahwa kaki anda belum mencapai air. Anda bisa turun ke tempat itu.
Saya akan melihat langkah anda di air. Mantra Veda mengatakan, saya merapalkan
mantra, akan berjalan langkah demi langkah. Viûóu berkata: “Tidak seorangpun mampu
berjalan di atas suara. Seseorang mungkin naik di atas benda-benda material,
yaitu dengan mengambil bentuk sesuatu, tetapi, bagaimana seseorang bisa
melangkah bila ia tanpa badan atau bentuk”. Siva menjawab: “Kenapa anda tidak
dapat memegang sesuatu yang akan naik itu? Apakah anda tidak menerima keagungan
Veda”. Visnu menerima hal itu, tetapi memandang tanganya tidak kuat memegang
hal itu. Siva tersenyum melihat ketidak mampuan Visnu dan memintanya untuk
turun ke dalam air, melangkah seperti disebutkan dalam Veda, dan ketika Visnu
turun melangkah ke dalam air, air hanya sampai di pahanya. Ia mandi dan
bertanya kepada Siva, apa yang kana dikerjakan nantinya. Siva: “Apa yang anda
rasakan dalam pikiran anda? Apakah anda tidak merasakan sesuatu? Visnu: “Saya
tidak merasakan apa-apa”. Siva: “Apa bila anda memperoleh kesucian dengan
Bhasmasnana, anda akan memperoleh pengetahuan yang tertinggi. Aku akan memberi
anda Bhasma!”.
Siva mengambil sejumput Bhasma dari dadanya dan
mengucapkan Gayatrì dan Pañcàksaramantra
(Om nama Sivàya), dan memercikkan (melumurkan) Bhasma tersebut ke seluruh
badan Visnu. Ia juga berkata kepada Visnu, “Anda hidup, anda bermeditasi,
sekarang apa yang anda rasakan dalam pikiran anda?” Visnu bermeditasi dan
melihat sesuatu yang memancarkan cahaya berkilauan di dalam hatinya. Ketika ia
mengatakan kepada Siva, bahwa yang dilihat adalah cahaya, Siva mengatakan bahwa
pengetahuannya belum cukup matang, dan memintanya untuk menelannya sedikit
karenanya ia akan menjadi sempurna. Visnu mengikuti petunjuk Siva menelan
Bhasma, dan ia, yang tadinya berwarna
merah kebiru-biruan, menjadi berwarna putih seperti mutiara. Ia mulai disebut Suklavarna
(berwarna putih) sejak saat itu dan seterusnya. Mahàvisnu merasakan bahagia dan puas menyaksikan Siva, yang sebelumnya meminta sesuatu, kemuadian
melihatnya di dalam hatinya dan hal itu menjadi kenyataan. Atas jawaban bahwa
ia melihat wujud Siva yang penuh kebahagiaan dihadapannya, Visnu memberikan
penghormatan dengan bersujud di kaki Siva. Terhadap pertanyaan Siva tentang
anugrah apa yang diinginkan, Visnu menjawab bahwa ia ingin menjadi abdi dan
penyembah Siva dan karena keagungan dari Sivabhasma, Visnu seterusnya menjadi
penyembah Siva.
4. Siva Natharaja
Siva Natharaja menggambarkan Dewa Siva yang menari ketika menciptakan dan
menghancurkan alam semesta. Siva digambarkan berdiri di atas padmasana segi empat. Ia digambarkan
bertangan empat, masing-masing dalam sikap abhaya
hasta, membawa damaru atau dhaka, memegang agni, sebuah tangan direntangkan melintasi dada dalam sikap gaja hasata atau danda hasta. Siva digambarkan mengenakan jatamakuta yang diikat seekor ular kobra dengan hiasan candrakapala pada jatamakutanya. Mata ketiga Siva terlihat menghiasi dahinya. Dalam
perwujudannya ini umumnya Siva digambarkan mengenakan kain dari kulit harimau,
mengenakan yajnopavita, usnisa bhusana,
nakra kuniala pada telinga kanan dan makara
kunîala di telinga kiri, hara
menghiasi lehernya, dan keyura pada
pangkal lengannya, serta kankana dan sarpavalaya menghiasi pergelangan
tangannya dengan cincin pada jarinya. Kaki Siva juga terlihat mengenakan kankana. Hiasan lain yang dipakai Siva
adalah udara bandha, katibandha, nupusa
(=gelang kaki). Dalam perwujudannya ini kaki Siva digambarkan berdiri dalam
sikap menari di atas seorang cebol yang digambarkan terbaring sambil memegang
seekor ular di tangan kirinya dalam ketinggian kunci pada (=satu kaki). Prabhamandala berbentuk lingkaran api (jvalaprabhamandala) digambarkan
melingkari Siva (Ratnaesih, 1997: 85).
Penggambaran Sivanatharaja
mengingatkan kita dengan gambar atau wujud Achitya yang ditempatkan pada Ulon
bangunan suci Padmasana dan simbol ini sangat umum menunjukkan tentang proses
penciptaan alam semesta oleh Sang Hyang Siva. Dalam kitab suci Veda, walaupun
nama Siva sendiri tidak pernah dicantumkan (Winternitz 1927:50, Ajarananda
1951:24), namun sebenarnya benih-benih perwujudan tokoh Siva itu sendiri telah
ada, yaitu Rudra (Dowson 1879:296, Thomas t.t: 21).
Dalam kitab Mahabharata, Siva
lebih sering disebut sebagai Mahadewa, yaitu dewa tertinggi di antara para dewa
(Fausboll 1903:147-148). Kitab tersebut juga menjelaskan asal mula Siva
mendapat sebutan demikian. Pada suatu waktu para Dewa menyuruh Siva
membinasakan mahluk-mahluk jahat yang tinggal di Tripura. Untuk menghadapi
mahluk-mahluk tersebut Siva diberi setengah kekuatan dari masing-masing Dewa,
dan setelah dapat memusnahkan mahluk-mahluk tersebut, Siva dianggap sebagai
dewa tertinggi (Wilkins 1882: 274-275, Rao 1968:447, Thomas t.t.:23). Menurut
Dowson (1879:269), untuk pertama kalinya Siva atau Rudra disebut Mahàdeva
terdapat dalam Yajurveda putih. Dalam Mahabharata bagian Bhìsmaparva (sloka 6,
219b-222a), Siva yang digambarkan berada di gunung Meru, dikelilingi Uma
beserta pengikut-pengikutnya itu disebut Pasupati (sloka 219b), sedangkan
sebutan Mahesara terdapat dalam Mahabharata sloka 222a (Adiceam 1971:24).
Sebutan lain ntuk Siva adalah Trinetra, yang artinya bermata tiga. Sebutan ini
didapatkan Siva ketika dari keningnya “muncul” mata ketiga untuk
“mengembalikan” keadaan dunia seperti keadaan semula, yang “terganggu” karena
kedua mata Siva tertutup oleh kedua tangan Parvati, yang ketika itu tengah asik
bercengkrama dengan Siva. Untuk mengembalikan keadaan dunia, Siva menciptakan
mata ketiga pada keningnya (Wilkins 1882:277, Fausboll 1903:149, Nivedita dan
Coomaraswamy 1918:299, Rao:49, Thomas t.t.:23). Uraian mengenai Siva Trinetra
juga dijumpai dalam kitab Mahabharata (Wilkins 1882:276-277). Kitab Linga-Purana
(Rao: 147) menjelaskan timbulnya mata ketiga Siva. Satì, putri Daksa istri
pertama Siva bunuh diri dengan cara terjun ke dalam api karena ayahnya, Daksa
tidak menghiraukan Siva, suaminya. Karena peristiwa tersebut di atas, Siva
pergi bertapa di atas gunung Himalaya. Parvatì, putri Himawan yang jatuh cinta
kepada Siva sebenarnya adalah Satì “yang lahir kembali”.
Sementara itu, mahluk
jahat asura Tataka mulai mengganggu para dewa. Menurut ramalan, yang dapat
membinasakan mahluk jahat tersebut hanyalah putra Siva. Dalam kebingungannya,
para dewa memutuskan untuk “membangunkan” Siva. Mereka sepakat akan meminta
pertolongan Dewa Kama. Dengan upayanya berangkatlah para dewa disertai Parvatì
ke tempat Siva bertapa. Karena keampuhan panah Dewa Kama, Siva “terbangun”. Siva
yang terusik oleh perbuatan Kama, membuka mata ketiganya yang menyemburkan api.
Api tersebut membakar Kama hingga menjadi abu. Pada saat yang bersamaan karena
keampuhan panah Kama, Siva ‘jatuh cinta’ pada Parvatì. Ratì, istri dewa Kama
yang mendengar kematian suaminya datang menghadap Siva dan mohon untuk
menghidupkan kembali Kama. Untuk menghibur Ratì, Siva berjanji bahwa Kama kelak
akan lahir kembali sebagai Pradhyumna. Kisahnya diakhiri dengan pernikahan Siva
dan Parvatì, serta kelahiran Kumara atau Subrahmanya yang dapat membunuh Tataka
(Wilkins 1882:256-257), Fausboll 1903:164-165, Nivedita dan Coomaraswamy 1918:
147).
Siva disebut juga Nìlakantha,
karena mempunyai leher yang berwarna biru (Coleman 1832:72). Pada waktu
diadakan pengadukan lautan susu untuk mendapatkan amrta turut ke luar
racun yang dapat membinasakan para Dewa. Untuk menyelamatkan para dewa, Siva
meminum racun tersebut. Parvatì yang khawatir suaminya binasa menekan leher Siva
agar racun tidak menjalar ke bawah. Akibatnya racun terhenti di tenggorokan dan
meninggalkan warna biru pada kulit lehernya. Sejak itulah Siva mendapat sebutan
baru, Nìlakantha (Nivedita dan Coomaraswamy 1918:314-315, Jauveau-Dubreuil
1937:20, Rao 1968: 48, Liebert 1976:196, Thomas t.t: 22).
Kitab Suprabhedagama
menguraikan mengapa Siva mengenakan pakaian kulit harimau, hiasan berupa ular,
kijang dan parasu (Rao 1968:113) serta memakai hiasan bulan sabit dan tengkorak
pada mahkotanya (Jouveau-Dubreuil 1937:19). Pada suatu waktu, Siva pergi ke
hutan dengan menyamar sebagai pengemis. Istri para pendeta yang kebetulan
melihatnya jatuh cinta, sehingga para pendeta marah. Dengan kekuatan magisnya
mereka menciptakan seekor harimau yang diperintahkan untuk menyerang Siva,
namun dapat dibinasakan, dan kulitnya oleh Siva dijadikan pakaiannya
(Ziegenbalg 1869:43, Dowson 1879:2.99, Nivedita dan Coomaraswamy 1918:310-311,
Jouveau-Dubreuil 1937:21, Rao 1968:113-114). Menyaksikan Siva dapat mengalahkan
harimau ciptaannya, mereka makin marah dan menciptakan seekor ular. Ular
berhasil ditangkap Siva dan dibuat perhiasan (Nivedita dan Coomaraswamy 1918:
311, Rao 1968:113). Uraian mengenai hiasan berupa ular, kita dapatkan dalam
kitab Suprabhedàgama dan kitab Matsya Purana (Bhattacharya 1921: 20).
Setelah kedua usaha itu
gagal, mereka menciptakan kijang dan parasu, namun kali inipun Siva dapat
melumpuhkan serangan para pendeta tersebut. Sejak kejadian tersebut kijang dan
parasu menjadi dua di antara sekian laksana Siva (Ziegenbalg 1869:43, Jouveau-Dubreuil
1937:21, Rao 1968:114). Kitab Kurma Purana menjelaskan asal mula Siva mendapat
julukan Gajasura-samharamsrti. Tersebutlah beberapa orang pendeta sedang
bertapa diganggu mahluk jahat yang menjelma sebagai gajah. Siva yang diminta
pertolongannya dapat membunuh gajah jelmaan tersebut. Siva yang mengenakan
pakaian kulit gajah yang dibunuhnya itu kemudian dikenal sebagai “Gajasura-samharamsrti
(Dowson 1879:299, Dureuil 1937:30, Rao 1968:149-150).
Kitab Kamikagama
mengungkapkan mengapa dalam pengarcaannya: Datohan, salah seorang putra Brahmà,
menikahkan keduapuluhtujuh (=konstelasi bintang) anak perempuannya pada
Santiran, dewa bulan. Dia minta pada menantunya agar memperlakukan semua
istrinya sama dan mencintai mereka tanpa membeda-bedakan. Selama beberapa
waktu, Santiran hidup bahagia bersama istri-istrinya, tanpa membeda-bedakan
mereka. Dua di antara keduapuluh tujuh istrinya, Kartikai dan Rogini adalah
yang tercantik. Lama-kelamaan tanpa disadarinya Santiran lebih memperhatikan
keduanya, dan mengabaikan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak diperhatikan
mereka mengadu pada ayah mereka. Datohan, mencoba menasehati menantunya agar
mengubah sikap, namun tidak berhasil. Setelah berulangkali Santiran diingatkan
dan tidak mengindahkan, Datohan menjadi marah dan mengutuk menantunya:
Keenambelas bagian tubuhnya akan hilang satu persatu sampai akhirnya dia akan
hilang, mati. Karena kutukan itu, Santiran mulai kehilangan bagian-bagian tubuhnya
satu-persatu. Ketika bagian tubuhnya tinggal seperenambelas bagian, Santiran
menjadi panik dan pergi minta bantuan serta perlindungan Intiran. Intiran tidak
dapat menolong. Dalam keadaan putus asa Santiran menghadap Brahma yang
menasehatinya agar pergi menghadap Siva. Santiran langsung menuju gunung Kailasa
dan mengadakan pemujaan untuk Siva. Siva yang berbelas kasihan kemudian
mengambil bagian tubuh santiran itu dan diletakkan di dalam rambutnya sambil
berkata: “Jangan khawatir anda akan mendapatkan kembali bagian-bagian tubuh
anda, namun itu akan kembali hilang satu persatu. Perubahan itu akan
berlangsung terus. Demikianlah dalam pengarcaannya rambut Siva dihiasi bagian
tubuh Santiran yang berbentuk bulan sabit, disamping tengkorak (Pattabiramin
1959:23-26). Selain mata ketiga dan hiasan candrakapala (tengkorak dan
bulan sabit) dalam pengarcaannya Siva dikenal mempunyai kendaraan banteng atau
sapi jantan. Kitab Mahabharata (Adiceam 1969:86-87) menguraikan asal mula sapi
jantan atau banteng menjadi kendaraan Siva dalam dua versi.
SUMBER-SUMBER AJARAN SIVASIDDHANTA
1.
Bhuvanakosa
Di
antara kitab-kitab Tattva yang diwarisi di Bali, rupanya Bhuvanakosa merupakan
yang tertua. Kitab ini terdiri dari 11 patala atau adhyaya dan terdiri dari 406
sloka berbahasa Sanskerta yang masing-masing diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa
Kuno. Subagiasta (2007:58) menyatakan bahwa isi kitab ini menekankan paham
ketuhanan yang dalam naskah diistilahkan Brahma Rahasyam (rahasia atau kegaiban
Tuhan dalam wujud-Nya sebagai Siva). Tentang keagungan Tuhan di dalam naskah
disebut pula sebagai Jnana Siddhanta, Bhasmamantra, Jnanasamksepa. Berikut 11
topik dalam 11 patala di atas. (1) Brahma Rahasyam, Prathama Patala (Rahasia
Brahma yang Pertama) yang menjelaskan rahasya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut
sebagai Siva yang bersemayam dalam hati yang dapat dilihat oleh seorang Yogisvara
(1.4). Beliau diikuti oleh para Dewa dan tidak berwujud dan merupakan jiwa
setiap makhluk
(1.9). Beliau disebut Aghora, Tatpurusa,
Sadya, Bamadewa, dan Ìsana (1.17) serta penjelasan lainnya berkenaan dengan
kegaiban Tuhan Yang Maha Esa. (2) Brahma Rahasyam, Dvitiya Patala (Rahasia
Brahma yang Kedua) yang menjelaskan rahasya Tuhan Yang Maha Esa menciptalan
alam semesta, saptaloka, dan makhluk hidup lainnya serta sifat-sifat Tuhan Yang
Maha Esa yang Nirguna. (3) Brahma Rahasyam, Tritiya Patala (Rahasia Brahma yang
Ketiga) yang menjelaskan rahasya Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Hyang Rudra
yang bersatu dengan Sang Hyang Siva
(3.2). Berbagai gelar atau abhiseka devata, nama-nama planet di jagat raya
serta posisi para dewa di dalam tubuh manusia (micro kosmos). (4) Bhuwanakosa
Caturta Patala (Bhuvanakosa yang Keempat) yang menjelaskan unsur-unsur jagat
raya dari yang halus (Pañca Tan Matra) dan yang lebih kasar (Panca Maha Bhuta),
Buddhi, Manas Ahamkara dan Triguna. (5) Brahma Rahasyam, Pancama Patala
(Rahasia Brahma yang Kelima) yang menjelaskan rahasya Tuhan Yang Maha Esa
tentang alam Kaivalya, Jagrapada, Supta, dan Svapana serta perjalan roh
meninggalkan badan menuju alam yang murni yang menjadi tujuan para pandita. (6)
Jnana Siddhanta Sastram Prathama Patala (Pengetahuan Jnana Siddhanta yang
Pertama) yang menyatakan seorang pandita hendaknya memahami Siddhanta. Pandita
itu bukan karena kumisnya panjang, bukan orang yang tua renta, bukan orang yang
rambutnya panjang, bukan pula yang rambutnya digundul bersih, bukan keturunan
yang tinggi yang disebut tua (6.2). (7) Bhasma Mantra sakala vidhi sastram
Dvitiya Patala (Pengetahuan tentang mantra abu suci yang Kedua) menjelaskan
tentang manifestasi-Nya yang utama, yakni Brahmà, Visnu, dan Siva, aksara yang
berkaitan dengan Dewa-dewa tersebut serta posisinya dala tubuh manusia. Seorang
pandita harus menguasai cara membuat abu suci dengan memuja Sang Hyang Agni,
Sang Hyang Omkara dan Sang Hyang Svaha sebagai apinya. Selanjutnya penempatan
Bhasma di lima penjuru dengan memuja Dewatanya masing-masing.
(8) Jnana Samksepa (Simpulan Ajaran) menjelaskan tentang pahala
penyucian diri, terutama dengan Bhasma pahalanya ratusa juta, sedang yang tak
ternilai adalah penyucian dengan pengetahuan (8.2-3). (9) Bhuvana Kosa Nava Patala
(Bhuvana Kosa yang Kesembilan) menjelaskan tentang mudra (sikap tangan) dan
arcana (tata cara pemujaan), dan orang yang menekuni Yoga jika melaksanakan
mudra dan arcana akan kembali ke alam Sang Hyang Parama Siva (9.3). Menjelaskan tentang Jnanadan Vijnana, yajna,
tapa, brata, dharma dan Vidhikrama. Demikian pula mantra, kuþamantra, dan Pranava.
(10) Siddhanta Sastra, Dasama Patala (Pengetahuan Siddhanta yang Kesepuluh)
menjelaskan bagaimana seorang pandita menghadapi kematian sehingga menuju Sang
Hyang Siva. Dijelaskan pula tentang Yoga Sandhi, lepasnya atma melalui
ubun-ubun (Sivadvara). Demikian pula tentang Moksa. Seorangopandita yang
memahami Yoga akan mengetahui datangnya kematian, dalam keadaan moksa, seorang
Yogi seperti air sungai menyatu dengan air lautan. (10.34). (11) Bhuvana Kosa, Sivopadesa
Samapta (Bhuvana Kosa, Ajaran Siva yang terakhir). Merupakan bagian akhir dari
Bhuvana Kosa ajaran Siva menjelaskan aksara suci perwujudan Tuhan Yang Maha Esa
(Pranava) dan prosesnya menjadi berbagai aksara dalam alam semesta serta tubuh
manusia, kemudian dari berbagai aksara itu kembali kepada asalnya, yakni Pranava,
dan pandita yang menguasai pengetahuan ini sebenarnya telah menguasai ajaran Siva
Siddhanta. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka ajaran teologi yang
terdapat di dalam kitab Bhuvana Kosa adalah teologi Nirguna Brahma yang
merupakan ajaran Saiva Siddhanta di Bali.
2.
Jnana Siddanta
Kitab
ini telah dikaji dalam bentuk disertasi oleh Haryati Subadio (The Hague- Martinus Nijhoff - 1971).
Isinya terdiri dari (1) Catur Viphala
(empat perbuatan yang tidak membuahkan hasil, dalam arti menuju moksa, dan
semuanya akan dapat dicapai bila telah melaksanakan dìksa-vidhi-vidhàna, yakni
upacara penobatan menjadi pandita. (2) Prayogasandhi, yakni keadaan tidur
seorang pandita, tidak mimpi, tidak gelisah, ia mencapai Moksa dalam tidurnya.
(3) Sang Hyang Jnana Pranava Kamoksaan menjelaskan berbagai nama Omkara seperti
Pranava, Visvam, Ghosa, Ekàksara, Tumburu-Tryaksraga, dan posisi dalam tubuh serta 12 Angula tingginya
rambut di kepala diikat. (4) Sang Hyang Praónava Tridevì terdiri dari Upmapati, Srì Devì dan Sarasvatì. (5) Sang Hyang Kawuwusan Jati
Wisesa, menjelaskan tentang 3 jalan menuju kematian: Niûþha di ubun-ubun, Madha di ujung hidung, dan
Uttama di mulut, serta menjelaskan tentang Sang Hyang Siva yang tinggal di
pusat sukla (kesucian). (6) Nirmala-jnana-sastra (ajaran tentang kesucian
pengetahuan) menjelaskan melenyapkan kotoran bathin (klesa). Menyebutkan ajaran
Catur Paramartha: Adhisthana (kalepasan/ moksa), Pratissa), Pratia adalah kamoksaan,
Santi bernama kamuktan (kebebasan). Santyatìta berarti kanirbanan (pemusnahan).
(7) Panca Paramartha (lima keutamaan)
jalan untuk menjelma kembali sebagai manusia, yakni tempat orang-orang
bijaksana mencapai kebebasan saat kematian terdiri dari 5 tempat bagi Parama Visesa,
yakni: pusar, hati, leher, bibir, dan ujung hidung, dan menjadi
Sad Paramartha bila ditambah kadalì-puspa (bunga jantung pisang). (8) Sang
Hyang Naisthika-Jnana (Pengetahuan Yang Sempurna) menjelaskan pengetahuan
tentang Siva merupakan rahasia yang sangat tinggi, dan Pengetahuan tentang Siva
(Sivajnana) tanpa banding. Sangat sulit mencarikan padanannya karena
menyebabkan Moksa (Kebebasan). Dan lakukan ini juga, sunya tanpa bentuknya yang
abadi disebut tanpa bentuk, tinggalkan, pengetahuan tentang subhàsubha
tinggalkan, juga perbuatan tentang dharma dan adharma tinggalkan. (9) Sang
Hyang Mahàvindu
(Rahasya Mahàvindhu).
Mahavindu diangap Satu,
terbagi menjadi dua para-apara, dan juga sakala-niskala. Kembali vindu menjadi
lima, mereka adalah pancasakti, yang Satu adalah niskala-vindu, empat yang
lainnya adalah sakala-vindu. (10) Sang Hyang Sapta Omkara. Saptatma adalah Sang
Yajamana (pelaksana yajna), tujuh suara Om adalah api upacara korban, badan
adalah kundagni, ia korbankan semua keinginnya. (11) Sang Hyang Pancavimsati (25 yang Suci, objek Suara Om), Suara A
memiliki 10 matra, U 10 matra, MA 3 màtra, dan 2 sebagai kaki di angkasa. (12)
Sang Hyang Dasatma Sang Hyang Vindu
Prakriya (10 roh upacara Vindu). Aksara suci Om memiliki 4 wujud, yaitu: Dvipana,
Brahmanga, Sivanga, dan Amrta-kundalinì. (13) Panca (Lima Roh). Pancabayu
dikenal dengan Pancatma, juga Pancaksara: prana, apana, samana, udana, dan juga
byana, atma, paratma, antaratma, dan niratma (dalam aksara suci)
VYO-MA-VYA-PI-NE. (14) Sang Hyang Upadesa-samsha (Semua Ajaran Suci). Svàsa,
niásasa dan samyoga disebut Tryatma, juga disebut Trisiva dan Tripurusa, ekatma
dan sunya.
(15) Sad-anga-yoga (Enam tingkatan Yoga):
Pratyàhàra dan Dhyana, Pranayama dan Dharana, Tàrka dan juga Samadhi, disebut Sad-anga-yoga.
(16) Sang Hyang Ātmalinga, Lingodbhava (Rahasia Ātmalinga dan penampilan Linga).
Ujung bunga teratai adalah akar dari hati, pahit dan hitam diikat, hal itu
sangat pekat, Ia adalah raja alam semesta, dan itulah sthana Sang Hyang Siva.
(17) Utpati-Sthiti-Pralìna Sang Hyang Pranava (Kemunculan, Pemeliharaan, dan
Kembalinya aksara suci Om). Dari yang Tidak Berwujud (Niskala) muncul nada
(resonansi), dari nada muncul vindu, dari vindu muncul ardhacandra, dari
ardhacandra muncul viúva (suara Om) dan berulang muncul kembali. (18) Caturdasàksara-pinda,
Utpati-Sthiti-Pralìna (Wujud 14 Aksara suci, Kemunculan, Pemeliharaan, dan
Peleburan Kembali). Dari Siva
muncul Ātma, dari Ātma muncul Prakrti, dari Prakrti muncul matahari, dari
matahari muncul api. Lebih jauh dijelaskan asal dan kembalinya
14 aksara suci. (19) Sang Hyang Bhedajnana. Diajarkan tentang rahasia ajaran
bhedajnana, tinggi dan suci. Siapa yang memiliki pengetahuan ini, menguaai
dunia dan badannya dan akan mencapai Siva. (20) Sang Hyang Mahajnana
(Pengetahuann Yang Agung dan Suci) menjelaskan pengetahuan tentang Sang Hyang Siva
yang suci. (21) Sang Hyang Benem Wunkal (Abu dan tulang suci). Menjelaskan
usaha pembebasan seperti cahaya nyala lampu, terang seperti busur (pelangi)
Dewa Indra, membebaskan diri dari keterikatan. (22) Pranayama, Samksipta-puja
(Pengendalian nafas, Pemujaan yang Singkat) menjelaskan tentang keutamaan
pernafasan bagi seorang yang tekun mengabdi Dharma, mengikuti semua perintah
guru. Dijelaskan pula jalannya nafas dari lubang hidung kiri, kanan dan
sebagainya. (23) Sang Hyang Kaka-Hamsa, menjelaskan tujuh perbedaan karakter
dari ajaran yang disebut Siddhanta. (24) Sang Hyang Tìrtha Sapta Samudra Sapta
Patala (Tujuh Air Suci, Tujuh Samudra, dan Tujuh Neraka) menjelaskan
masing-masing tersebut dan posisinya dalam tubuh manusia.
(25) Sang Hyang Saiva Siddhanta merupakan
ajaran suci dianggap warnanya putih bagi mereka yang tidak ingin aneka warna.
Disebut meresapi segala, seperti halnya mentega cair yang jernih dari susu.
(26) Utpatti-Sthiti-Ptalìnna Sang Hyang Vindu-Abhysntara. Sang Hyang Siva
menjelaskan rahasia ajaran Siddhsnta kepada Dewi Ums dan Kumsra tentang hal
tersebut di atas. Aksara suci perwujudan dewata serta posisinya di alam semesta
dan di tubuh manusia, dan (27) Jnana Siddhanta menjelaskan rahasia dan siapa
saja yang menguasai ilmu ini, apakah anak-anak, orang yang telah berumur, dan
bahkan para pertapa. Bila mempelajarinya dengan baik pada saatnya nanti akan
bersatu dengan Sang Hyang Siva.
3.
Vrhaspatitattva
Kitab
Vrhaspatitattva ini telah dikaji oleh
Sudarshana Devi Singhal dalam disertasi di Utrecht dan diterbitkan oleh International Academy of Indian Culture,
Nagpur, India (1957). Isinya berbentuk dialog antara Sang Hyang Isvara dengan
seorang sisya (muridnya) bernama Bhagavan Vrhaspati. Dialog berlangsung di
puncak Gunung Kailasa membahas kenyataan tertinggi, yakni Cetana (unsur
kesadaran) dan Acetana (unsur ketidaksadaran), keduanya bersifat halus dan
menjadi sumber penciptaan semua yang ada. Cetana terdiri dari Paramasiva
Tattva, Sadasiva Tattva, dan Siva Tattva yang disebut catana Telu (tiga tingkat
kesadaran). Ketiganya tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi)
yang berbeda tingkat kesadarannya. Dibedakan Cetana itu menjadi tiga didasarkan
atas tingkat kesadaran yang dimiliki oleh masing-masing Cetana tersebut.
Paramaúiva memiliki tingkat kesadaran tertinggi, Sadasiva menengah dan Siva
terendah. Tinggi rendahnya tingkat kesadaran itu tergantung darikuat tidaknya
pengaruh Maya. Dengan demikian Paramasiva Tattva adalah bebas dari pengauh Maya,
Sadaúiva
Tattva mendapat pengaruh
sedang-sedang saja, sedangkan Siva Tattva mendapat pengaruh Maya yang paling
kuat.
Ndah lwir nikan tattva kavruhanta, cetana lavan acetana,
cetana naranya jñànasvabhava vruh tan kenen lupa, nityomiden sadakala, tan
kavarnan, ya sinangguh cetana naranya, acetana naranya ikan tanpa jñàna, kadyanga
nin vatu, ya sinaòguh acetana naranya (Vrhaspatitattva 5).
Inilah tattwa itu
ketahuilah olehmu (yaitu) Cetana dan Acetana. Cetana bersifat tahu, mengetahui
dengan tidak terkena lupa, tenang senantiasa (dan) tetap selamanya, tak
terhalang. Itulah yang disebut Cetana. Acetana artinya tanpa pengetahuan
seperti wujudnya batu. Itulah yang disebut
Sang
Hyang Widhi Paramasiva adalah kesadaran tertinggi yang sama sekali tidak
terjamah oleh belenggu Maya, karena itu ia diberi gelar Nirguna Brahman. Ia
adalah perwujudan sepi, suci murni, kekal abadi, tanpa aktivitas. Kemudian
Paramasiva kesadarannya mulai tersentuh oleh Maya, ia terpengaruh oleh guna, sakti,
dan svabhava yang merupakan hukum kemahakuasaan-Nya ia disebut Sang Hyang Sadasiva.
Ia memiliki kemampuan nuntuk memenuhi segala kehendak-Nya, yang dilukiskan
sebagai sekuntum bunga teraytai (padmasana) berdaun bunga delapan sebagai
sthana-Nya. Ia digambarkan sebagai perwujudan mantra, yakni Omkara (OM) dengan Isana
(I) sebagai kepala, Tatpuruûa (TA) sebagai muka, Aghora (A) sebagai hati, Bamadeva
(BA) sebagai alat-alat rahasia. Sadyojata (SA) sebagai badan. Dengan Guna, Sakti,
Svabhava-Nya, ia aktif dengan segala ciptaan-Nya, oleh karena itu Ia disebut
Saguna Brahman.
Pada
tingkatan Sivatma Tattva, Guna, Sakti, dan Svabhava-Nya sudah berkurang karena
sudah sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur Maya, oleh karena itu Sivatma Tattva.
Berdasarkan tingkat pengaruh Maya terhadap Sivatma Tattva, maka Sivatma Tattva
dibedakan atas delapan yang disebut Astavidyasana. Bilamana pengaruh Maya sudah
demikian besarnya terhadap Sivatma menyebabkan kesadaran asli Sivatma menjadi
hilang dan sifatnya menjadi Avidya. Dan apabila kesadarannya terpecah-pecah dan
menjiwai semua makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia, maka ia disebut Atma
atau Jivatman.
Kendatipun
Àtma mderupakan bagian dari Sang Widhi (Siva) namun ia tidak lagi menyadari
asalnya karena adanya belenggu Avidya yang ditimbulkan oleh adanya pengaruh Maya
(Pradhana Tattva). Adanya pengaruh Maya terhadap Ātma menyebabkan Ātma dalam
lingkaran sorga-neraka-samsara secara berulang-ulang. Ātma akan dapat bersatu
kembali kepada asalnya, apabila semua karmanya selaras dengan Catur Isvarya, Panca
Yama Brata, Panca Niyama Brata, dan Astasiddhi. Bilamana dalam segala karmanya
bertentangan dengan ajaran-ajaran di
atas, maka Ātma akan tetap berada dalam lingkaran reinkarnasi. Bentuk atau
wujud reinkarnasi Ātma sangat banyak terantung pada karma vasana (bekas-bekas
peruatan) Ātma pada saat penjelmaannya terdahulu. Salah satu bentuk reinkarnasi
adalah “stavara-jangama” atau
tumbuh-tumbuhan dan binatang yang disebut sebagai penjelmaan yang paling rendah
(Vrhaspatitattva 240. Bentuk reinkarnasi itu adalah suatu penderitaan yang
harus diakhiri.
Untuk
mengakhiri lingkaran reinkarnasi itu, Vrhaspatiattva menyarankan setiap orang
harus menyadari hakikat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara mempelajari segala “Tattva” atau “Jnanabhyudreka”,
tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu “Indriyayogamarga” dan tidak
terikat kepada pahala-paha baik dan buruk “Trsnadosaksaya” sebagai persyaratan
untuk memperoleh kalepasan (Moksa). Di samping itu, Vrhaspatitattva juga
mengajarkan jalan lain untuk mencapai Sang Hyang Widhi (Sang Hyang Visesa) yaitu
dengan selalu memusatkan pikiran pada Dia (melalui praktek Yoga) dengan enam
tahapannya yang disebut “Sadangyoga”. Yoga dilandasi ajaran Dasasìla yang
merupakan ajaran etika dan moralitas (Vrhaspatitattva) (Mirsha, dkk,
1994:i-iii).
Berdasarkan
uraian tentang isi Vrhaspatitattva di atas, maka ajaran teologi dalam kitab
ini adalah teologi Impersonal God, Tuhan
Yang Maha Esa tidak berpribadi, Ia disebut Sang Hyang Siva sebagai pencipta
pemelihara, dan pelebur kembali seluruh alam semesta dan segala isinya, yang
dapat didekati melalui jalan Yoga atau Yogamarga.
4.
Ganapatitattva
Kitab
Ganapatitattva ini telah dikaji oleh
Sudarshana Devi Singhal dan diterbitkan dalam Satapitaka Series No.4 oleh International Academy of Indian Culture,
Nagpur, India (1958) terdiri dari 60 Sloka dalam Chabda Anustubh Sanskerta.
Isinya merupakan dialog antara Sang Hyang Siva dengan Sang Hyang Ganapati,
putranya sendiri. Secara ringkas isinya dapat diuraikan sebagai berikut. Omkara
adalah wujud sabda sunya, nada Brahman, asal mula Pancadaivatma, Brahma, Visnu,
Isvara, rudra, dan Sang Hyang Sadasiva. Pancadaivatma merupakan asal Pañca Tan
Màtra yang terdiri dari Rupa (unsur bentuk), Gandha (unsur bau), Rasa (unsur
rasa/kenikmatan), Sparsa (unsur sentuhan), dan sabda (unsur suar). Dari Panca
Tan Matra muncul Pañca Mahabhuta yang merupakan unsur materi (elemen alam
semesta) yang terdiri dari: Apah (air/benda cair), Teja (panas), Vayu (angin),
Prthivì (tanah) dan Ākasa (ether). Dari Pañca Mahabhuta ini alam semesta beserta segala isinya
diciptakan, dan Sang Hyang Sivatma menjadi sumber hidup yang menggerakkan
segala ciptaannya (Ganapatitattva 1-2, 25-39).
Dijelaskan
pula ajaran Sadanga Yoga yang terdiri dari: Pratyaharayoga, Dhyanayoga, Pranayamayoga,
Dharanayoga, Tarkayoga, dan juga Samadhi sebagai jalan spritual untuk mencapai
Moksa (Ganapatitattva 3-9). Juga diuraikan tentang eksistensi Padmahrdaya
(Padmahati) sebagai Sang Hyang Sivalinga, Beliau harus direnungkan. Hanya ia
yang bijaksana, berhati suci, dan penuh keyakinan yang dapat mengetahui Beliau.
Beliau hendaknya setiap saat dipuja dengan sarana Sang Hyang Caturdasaksara (14
buah huruf suci). Dilanjutkan dengan uraian tentang berbagai jenis Linga (Ganapatitattva
10, 11, 17, 18, 19, 22-24).
Pada
bagian lain diuraikan tentang anggapan orang bodoh dan sombong yang tidak
memahami Ātma (Ganapatitattva 20), juga uraian tentang sthana Bhatara Brahma,
Visnu dan Siva dalam tubuh manusia (Ganapatitattva 21). Sang Hyang Bhedajnana
adalah ajaran yang sangat rahasia tentang manusia. Yang berhak menerima ajaran
rahasia ini adalah ia yang sungguh-sungguh melaksanakan Dharma (Ganapatitattva
40-42). Berikutnya diuraikan tentang Moksa (kalepasan) dan orang-orang yang
mencapai hal tersebut, yakni yang mengutamakan pengetahuan yang suci,
kebebasan, dan mengejar penyatuan dengan Sang Hyang Siva (Ganapatitattva
43-55). Bagian terakhir menjelaskan upacara ruwatan (panglukatan) Ganapati,
sarana upakara yang diperlukan, mantra yang digunakan, dan manfaat dari upacara
ritual tersebut. Kitab ini ditutup dengan mantra pemujaan ditujukan kepada Sang
Hyang Ganapati dan Dewi Sarasvatì (Ganapatitattva
56-60) (Mirsha, 1994:ii).
5.
Tattvajnana
Kitab
Tattvajnana ini telah dikaji oleh Sudarshana Devi Singhal dengan topik
Tattvajñàna and Mahajnana, diterbitkan dalam
Satapitaka Series No. 23 oleh International
Academy of Indian Culture, Nagpur, India (1962). Sesuai dengan topiknya
maka buku ini membahasa dua naskah yang berbeda, yakni naskah Tattvajnana dan
Mahajnana. Mengingat kedua isinya tidak jauh berbeda, maka yang akan dikaji
dalam tulisan ini adalah kitab Tattvajnana sebagai berikut.
Sesuai
dengan nama kitab ini adalah Tattvajnana maka isinya adalah pengetahuan tentang
Tattva yang dimulai dengan membahas
Cetana, yakni kesadaran dan Acetana atau tidak sadar. Cetana adalah Sivatattva,
sedangkan Acetana adalah Mayatattva. Sivatattva terdiri dari Paramasivatattva,
Sadasivatattva, dan Ātmikatattva. Paramavatattva adalah Bhatara Siva yang
Niskala, Tuhan Yang Serba Tidak: tidak terikat oleh ruang dan waktu, memenuhi
alam semesta. Sadasivatattva adalah Bhatara Siva yang Vyapara (aktif,
terpengaruh oleh Maya), memiliki aktivitas Sarvajnana (yang serba tahu) dan
Sarvakaryakarta (serba kerja). Ada empat kemahakuasaan-Nya yang disebut Cadusakti,
yaitu: Jnanasakti (mahamengetahui), Vibhusakti (mahaada), Prabhusakti
(mahakuasa) dan Kriyasakti (mahakarya/mahapencipta). Jnanasakti dibedakan atas:
Dsradarsana (melihat jauh/mahamelihat), Dsrasavana (maha-mendengar), Dsràtmaka
(berpribadi jauh).
Bhatàra
Sadasiva bergelar Bhatàra Ādipramana, Bhatara Jagatnatha, Bhatara Guru, dan
sebagainya. Ātmikatattva adalah Bhatara Sadasivatattva yang mempunyai
sifat “utaprota”. Uta (terjalin bagaikan tenunan) ialah
Bhatara Sadasiva yang menyusupi Mayatattva. Prota (terangkat bagaikan tenunan)
ialah Bhatara Sadasiva yang memenuhi Mayatattva, melekat dan diliputi oleh Mayatattva
itu, sehingga tidak tampak wujud yang sebenarnya. Sebagai Ātmikatttva, Bhatara Siva
adalah Sang Hyang Ātmavisesa, Sang Hyang Dharma.
Anak
Mayatattva adalah Pradhanatattva yang mempunyai sifat-sifat lupa yang berlainan
dengan sifat-sifat Sang Hyang Ātmà yang sadar.Bila sifat sadar bertemu dengan
sifat lupa, maka hal itu disebut Pradhana-Purusa yang melahirkan citta dan guna.
Citta adalah bentuk kasarnya Purusa, sedangkan guna adalah penjelmaan Pradhanatattva.
Ada tiga guna, yaitu sattva, rajah, dan tamah. Triguóaini menentukan kondisi
Ātmà apakah akan mencapai Moksa, Svarga, Naraka, atau lahir menjadi manusia
kembali. Pertemuan Triguna dengan Citta melahirkan Buddhi. Buddhi itu adalah
bentuk kasar dari Triguna yang diberi kesadaran oleh Citta. Dari Buddhi
lahirlah Ahamkara.
Bhatara
yang dijunjung memberi kesadaran pada Sang Hyang Ātma, Sang Hyang Ātma pada
Citta, Citta pada Ahamkàra. Ahamkara yang sifatnya mengaku-aku tiga macamnya,
yaitu: Vaikrta, Taijasa, dan Bhstadi. Vaikrta adalah Buddhi Sattva yang
menimbulkan adanya Manah dan Dasendriya. Taijasa adalah Buddhi Rajas. Bhstadi
adalah Buddhi Tamah yang menimbulkan adanya Panca Tan Matra. Dari Panca Tan Matra
timbullah Panca Maha Bhuta. Dengan berpadu dengan Guna, Panca Maha Bhuta
membentuk Andabhuvana, yaitu: Bhurloka, Bhuvahloka, Svahloka, tapaloka,
Janaloka, Mahaloka, dan Satyaloka. Di samping alam atas, juga terdapat alam
bawah, yaitu: Patala, Vaitala, Mahatala, Sutala, Tàla-tala, dan Rasatala. Di
bawah Sapta Patala ini terdapat Balagardaba Mahanaraka, di bawahnya terdapat Kalagnirudra.
Taijasa
adalah Buddhi Rajah, membantu kerja Vaikrta dan Bhutadi. Bhatara junjungan
manusia, menyusupi alam semesta, menciptakan manusia dengan perantaraan Kriyasakti.
Ātma berada di Turiyapada, Jagrapada, dan Suptapada. Ātma mengalami sengsara.
Suatu wujud Ātma adalah Ātma yang berhubungan dengan Ahamkara yang menimbulkan
adanya Panca Tan Matra, Panca Maha Bhuta, dan Manah. Manah direflesikan pada
Ātma sehingga Ātma menjadi Panca Ātma. Orang yang ditempati oleh Bhatara Siva
memiliki Ātma Visesa. Walaupun Ātma seseorang adalah Ātma Visesa, ia harus
melaksanakan Tapa, brata, samadhi. Pada waktu Samadhi Bhatara Siva akan
menyatakan diri-Nya. Pada binatang tidak ada Ātma Visesa. Ia lebih banyak
digerakan oleh Vàyu, Idep, dan Sabda. Sabda, Vayu, dan Idep itu meresapi seluruh tubuh manusia
yang diberi kesadaran oleh Ātma dalam kadar yang berbeda-beda. Yang menyebabkan
perbedaan-perbedaan itu adalah “subhasubhakarma”.
Ātma yang berada di Jagrapada dan Turiyapada adalah Ātma yang luput dari “subhasubhakarma” karena kesuciannya, sedangkan Ātma
yang berada di Suptapada adalah Ātmà yang sengsara karena terus menerus lahir
menjadi Dewata, manusia, dan binatang. Ia selalu diombang-ambingkan oleh
pikiran berupa angan-angan. Adapun Turiyapada dan Turiyantapada itu sukar
dijangkau oleh pikiran karena halusnya. Untuk dapat menentukan sesuatu itu
dapat menggunakan Tripramana, yaitu Pratyaksa, Anumana, dan Āgamapramana. Turiyantapada
hanya dapat dibayangkan dengan Āgamapramana. Ātma-atma itulah yang lahir
sebagai manusia, tinggal dalam badan manusia, meresap dalam Sad Rasa, yang
membangun tubuh manusia. Namun tubuh itu dasarnya dibangun dari Panca Maha Bhuta.
Sebenarnya tubuh itu merupakan tiruan alam semesta, karena bagian-bagian tubuh
itu bagaikan bagian-bagian besar. Demikian tubuh itu dapat dibandingkan dengan
Sapta Bhuwana, Sapta Patala, Sapta Parvata, Sapta Arnava, Sapta Dvipa. Bila di
alam besar terdapat banyak sungai, maka dalam tubuh manusia terdapat semacam
sungai yang disebut nadì. Tenaga gerak
tubuh itu disebut Vayu yang jumlahnya sepuluh disebut Dasavayu. Semuanya itu
dihidupkan oleh Sang Hyang Ātma yang membagi-bagi dirinya yang menghidupi
bagian-bagian tubuh itu. Akibat dari pembagian itu, maka Ātma membagi dirinya
menjadi Pancatma.
Dunia dialami oleh Ātma melalui Dasendriya
dan Manah. Kemudian Para Dewa dan Para Rsi juga menempati bagian-bagian tubuh,
seperti Bhattara Brahma menempati hati, Bhatara Visnu menempati empedu, dan
sebagainya, dan Triguna menjadi Gandharva, daitya, Bhuta, Paisaca, dan
sebagainya yang menimbulkan sifat-sifat tertentu pada diri seseorang. Badan
Sang Hyang Ātma adalah Pradhanatattva yang disebut Ambek. Ambek dan tubuh
disebut Angarapradhana. Dari
Ambeklah timbul suka, duka, baik, dan buruk. Ambeklah yang menikmati objek
kenikmatan itu melalui Dasendriya. Maka harus ditarik dari objek kenikmatannya,
kembalikan ke dalam Ambek, Ambek ke alam Pramana, Pramana ke Dharma Visesa,
Dharmavisesa ke dalam Antavisesa, Antavisesa ke dalam Anantavisesa.
Cara
mengembalikan semuanya itu dengan jalan Prayogasandhi yang dapat dilaksanakan
dengan tuntunan Samyagjnana. Samyagjnana hanya akan diperoleh melalui Tapa,
Yoga, dan Samadhi. Yang dimaksud dengan Prayogasandhi adalah Āsana, Pranayama,
Pratyahara, Dharana, Dhyana, Tarka, dan Samadhi. Bila Sang Yogisvara telah menemukan Samahi itu, ia
dikatakan telah memiliki ka-Astaisvarya. Astaisvarya itu meliputi: Anima (mahakecil), Laghima (maharingan), Mahima
(mahabesar), Prapti (seketika ada ditempat), Prakamya (tercapai yang
diinginkan), Isittva (menguasai segalanya), Vasittva (meliputi segalanya),
yatrakamavasayittva (apa yang diinginkan segera terwujud dan berkuasa). Bila
endapan Sattva sudah tidak ada lagi, maka pada saat itulah Sang Yogìsvara
berpisah dengan Panca Maha Bhuta dan kembali bersatu dengan Bhatara Paramesvara
(Mirsha, 1994:iii).
Ajaran
teologi dari kitab-kitab Bhuvanakosa, Jnana Siddhanta, Vrhaspatitattva, Ganaptitattva,
dan Tattvajnana tampak ada kesamaan, yakni sama-sama menjelaskan tentang proses
penciptaan alam semesta dan makhluk hidup, utamanya manusia, mengagungkan Sang
Hyang Siva, dan menjelaskan tujuan hidup manusia yang tertinggi yakni Moksa
atau Kalepasan yang dapat dicapai melalui Yogamarga, khususnya Sadangayoga atau
Prayogasandhi yang terdiri dari: Āsana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana,
Tarka, dan Samadhi.
Kitab
Purvabhumikamulan telah dikaji oleh C. Hoykaas, dengan judul buku Cosmogony and Creation in Balinese
Tradition, The Hague Martinus Nijhoff (1974). Jumlah úloka Sanskertanya sebanyak 126 buah yang
masing-masing diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Adapun isi kitab ini
adalah tentang penciptaan alam semesta berserta segala isinya. Pada mulanya
dinamakan Purvaka Bhumi (awal kejadian). Mulanya Sunya (kosong), awalnya ada
Bhatàra dan Bhatàrì, hakikat Sang Hyang Widhi Visesa (Tuhan Yang Maha Esa, Maha
Kuasa). Diceritakan Sang Hyang Widhi berkeinginan mempunyai putra Para Dewa.
Pada mulanya dari tulang-Nya lahir Ni Cantin Kunin yang akhirnya bernama Bhatari
Uma. Selanjutnya putra laki-laki bernama dari kulit-Nya berwarna putih bernama
Kursika, Sadyojata namanya, akhirnya bernama Bhatara Isvara, selanjutnya dari
daging-Nya berwarna merah bernama Garga, Sang Bamadeva, akhirnya bernama Bhatàra
Brahma. Lagi berputra berwarna kuning Sang Metri namanya, Tatpurusa ama
lainnya, akhirnya dinamakan Bhatàra Mahadeva. Putranyan berwarna hitam, diberi
nama Sang Kurusya, Aghora juga disebut, kemudian bernama Bhatara Visnu. Selanjutnya lahir
putra bernama Pretanjala, panca warna kulitnya, juga bernama Isa dinamakan Bhatara
Siva. Sang Hyang Widhi memerintahkan putra-putra-Nya menciptakan alam semesta.
Diceritakan empat putranya menolak, yang kemudian dikutuk oleh-Nya, Kursika
menjadi Bhuta Denen berwujud Yaksa,
Garga menjadi harimau, Metri menjadi naga, Kurusya menjelma menjadi buaya.
Mereka menuju empat penjuru dan tidak kembali lagi. Tinggal dua putra-Nya,
yakni Cantin Kunin dan Pretanjala, sama-sama sakti disebut Nini Patuk dan Kaki
Patuk. Selanjutnya
menjelaskan tentang Panca Aksara (SA, BA, TA, A, I) dan Panca Brahma (NA, MA, SI,
VA, YA). Dijelaskan tentang
(1-19). Dijelaskan pula dari Sang Hyang Siva
menurunkan Sungai Ganga yang memenuhi dataran, bercahaya warnanya, serta mantra
pemujaan kepada Dewi Gangà (24-32).
Diuraikan
proses terciptanya alam semesta dari unsur Panca Maha Bhuta serta para Dewa
penguasa penjuru, penguasa bintang, bulan dan matahari (33-40). Dijelaskan keesaan Tuhan Yang Maha
Kuasa dengan beberapa kutipan mantram pemujaan (38-44). Uraian tentang proses
dari para Bhuta menjadi Dewa penguasa penjuru, wujud, warna dan sthananya (44).
Selanjutnya uraian tentang terciptanya manusia, para Dewa ikut mengambil
bagian, ada yang menciptakan kulit, tulang, daging dan sebagainya. Bhatara
Brahma menciptakan makhluk berkaki empat (binatang), Visnu menciptakan berbagai
jenis ikan, Siva menciptakan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, gunung, tegal, dan
sebagainya (45-56). Diceritakan turunnya Bhatarì Durga yang menakutkan beserta
pengiringnya menciptakan kejahatan, Bhatara Pretanjala menjelma menjadi Kala
yang menakutkan, beraneka rupa Bhuta pengiring Bhatara Kala, juga cerita
Kandapat Bhuta yang menguasai berbagai poenjuru dunia dan para Bajan yang
mengganggu manusia (57-112). Para Dewa
utamanya menjelma menjadi Pàndava, Kursika menjadi Dharmatanaya, Garga menjadi
Bhìma, Metri menjadi Arjuna, Kurusya menjadi Nakula, Pretanjala menjadi
Sahadeva. Masing-masing Dewa juga menjelma menjadi tokoh-tokoh Ramayana, Kurska
menjadi Satrughna, Garga menjelma menjadi Laksmana, Metri menjadi Bharata,
Kurusya menjadi Ràma, Pretanjala menjadi Dasaratha. Uraian tentang Rvabhineda,
penjelasan berbagai janis pandita (viku), diakhiri dengan penjelasan bahwa
manusia sesungguhnya bersaudara dengan berbagai jenis makhluk hidup di alam
semesta ini serta pemujaan kepada para Dewa Pencipta alam semesta tersebut
(113-126). Berdasarkan isi dari kitab ini maka teologi yang diajarkan adalah
teologi penciptaan alam semesta dengan penekanan untuk mengembangkan kasih
sayang kepada semua makhluk dan alam semesta (lingkungan alam) yang semuanya
merupakan ciptaan-Nya (Hooykaas, 1974:10-48).
DAFTAR PUSTAKA
Ardana, I Gusti
Gede.1989. Sejarah Perkembangan Hinduisme.
Denpasar: Tanpa Penerbit.
Ardika, I Wayan,
1997. ‘Bali dalam Sentuhan Budaya Global’
dalam Dinamika Kebudayaan Bali.
Denpasar: Upada Sastra.
Ardika, I Wayan,
2005. ‘Strategi Bali Mempertahankan
Kearifan Lokal di Era Global’ dalam Kompetisi
Budaya dalam Globalisasi, Kusumanjali
untuk Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta. Denpasar: Fakultas
Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.
Chandrasekharendra
Sarasvati, Sri Svami.1988. The Vedas.
Bombay, India: Bharatiya Vidya Bhavan.
Darsana, I Gusti Putu.1997. Akar
Kebudayaan Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Dubois, Abbe J.A.1981. Hindu Manners, Customs and Ceremonies.
Delhi: Oxford University Press.
Goris, R.1954. Prasasti Bali,
I-II. Bandung: NV Masa Baru.
Goudriaan, T. 1980. Sanskrit Texts
and Indian Religion in Bali, dalam Jurnal Vivekananda Kendra Patrika,
Madras, India: February, 1980
Google:2012:12:3
http://belajaragamahindu.wordpress.com/2010/11/02/unsur-unsur-waisnawa-yang-terdapat-dalam-saiwa-siddhanta/diakses
Sabtu, 24 Maret 2012
Pukul 15.05 Wita.
http://thoriqs.blogspot.com/2011/03/sekte.html diakses Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 14.00
Wita.
http://cakepane.blogspot.com/2010/06/apakah-caru-segehan-dan-tawur.html, diakses Sabtu, 24 Maret 2012 Pukul 14.30
Wita.
Mahadevan.T.M.P. 1984. Outlines of Hinduism, Bombay: Chetana.
Maswinara I Wayan. 1999. Sistem Filsafat Hindu Sarva Darsana Samgraha.
Surabaya: Paramita.
Nurkancana, Wayan. 1997.
Menguak Tabir Perkembangan Hindu, BP : Denpasar
Parimartha, I Gde. 2003. “Memahami Desa Adat, Desa Dinas, dan
Desa Pakraman: Tinjauan Historis, Kritis” dalam Politik Kebudayaan dan Identitas
Etnik, Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Balimangsi Press.
Putra, I Gusti Agung dkk. 1987. Sejarah
Perkembangan Agama Hindu di Bali. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I
Bali.
Pudja, Gede. 1983. Tattwa Darsana Untuk Kelas II PGA
Hindu. Jakarta: Proyek pembinaan Mutu
pendidikan Agama Hindu dan Budha Departemen Agama.
Pudja, I Gede. 1999. Bhagawdgita.
Surabaya: Paramita
Redig, I Wayan.1997. ‘Ciri-Ciri Ikonografis Beberapa Arca Hindu di Bali:
Studi Banding Dahulu dan Sekarang’ dalam Dinamika
Kebudayaan Bali. Editor: I Wayan Ardika dan I Made Sutaba. Denpasar: Upada
Sastra.
Sanjaya, Oka Gede. 2001. Lingga Purana. Surabaya: Paramita
Sanjaya, Oka Gede. 2001. Wisnu Purana. Surabaya: Paramita
Semadi Astra, G.1974. Masa Pemerintahan Anak Wungsu di Bali.
Denpasar: Lembaga Pengkajian Fakultas Sasatra, Universitas Udayana.
Sivananda, Sri Swami.1988. All About Hinduism.
Sivanandanagar, Uttar Pradesh, India: Divine Life Society.
Sivananda,
Sri Swami. 2003. Intisari Ajaran Hindu.
Surabaya: Paramita.
Subagiasta,
I Ketut. 2006. Sivasiddhangta di India dan di Bali. Surabaya: Paramita.
Sumadio, Bambang. 1976. Sejarah Nasional Indonesia. I. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumawa, I
Wayan dkk. 1996. Materi Pokok Darsana Modul.
Jakarta: Direktoral
jendral Bimbingan masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama RI.
Suastika, I Made. 1997. Calon Arang
dalam Tradisi Bali: Suntingan Teks,
Terjemahan, dan Proses Pem-Bali-an:
Disertasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Soeka, Gde. 1993. Tri
Murti Tattwa. Denpasar:
CV. Kayumas.
Sudirga, IB. 2005. Widya Dharma Agama Hindu XI. Denpasar: Ganeca Exact.
Suhardana, Komang.2008.Tri Murti Tiga
Perwujudan Utama Tuhan. Jakarta: Paramita.
Sukartha, I Ketut. 2002. Agama Hindu. Denpasar: Ganeca Exact.
Supartha,
Suda I Nyoman. 1994. Penuntun Belajar
Agama Hindu. Denpasar: Ganeca Exact.
Surayin, Ida Ayu Putu. 1993. Pitra Yadnya. Surabaya: Paramita.
Terjemahan
lontar ”Jnana Siddhanta” arsip gedong kertiya singaraja.
Terjemahan
lontar “Ganapatitattva’ arsip gedong kertiya singaraja.
Terjemahan lontar
“Korawa Srama Panca yadnya” arsip gedong kertiya singaraja.
Terjemahan lontar
“Kusuma Dewa Gong Wesi”
arsip gedong kertiya singaraja.
Terjemahan lontar
“Purwaka bumi Kemulan”
arsip gedong kertiya singaraja.
Terjemahan lontar
”Wrehaspati Tattwa”
arsip gedong kertiya singaraja.
Titib,
I Made. 1996. Veda, Sabda Suci, Pedoman
Praktis Kehidupan, Surabaya:
Penerbit Paramita.
Titib,
I Made. 2001. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama
Hindu, Surabaya: Penerbit
Paramita.
Titib,
I Made. 2004. Puràna, Sumber Ajaran Hindu
Komprehensif. Surabaya: Penerbit Paramita.
Titib,
I Made. 2006. Persepsi Umat Hindu di Bali
Tentang Svarga, Naraka, dan Moksa Dalam Svargarohanaparva, Perspektif Kajian
Budaya. Surabaya: Penerbit Paramita.
Pandit,
Bansi. 2006. Pemikiran Hindu.
Surabaya: Paramita.
Wiana, Ketut. 2005. Sembahyang
Menurut Hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.
Yudhiantara,
Kadek. 2003. Rahasia Pemujaan Sakti Durga
Bhairawi. Surabaya: Paramita.
RIWAYAT PENULIS
I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H yang lahir di
Kendari tepatnya Sulawesi Tenggara pada tanggal 17 April 1988 pada hari Minggu
di Desa Sumber Jaya dengan kedua orang tua bapak Wayan Merta dan Ibu Made Rsi
dengan bersaudara 2 Kakak Perempuan dan 1 kakak Laki-laki. Dahulu kedua orang
tua penyusun ikut program trasmigrasi ke Sulawesi Tenggara pada tahun 1982.
Pendidikan yang pernah ditempuh penulis diantaranya dimulai yaitu SD No. 2
Sumber Jaya yang sekarang menjadi SD No 2 Lalembuu tahun 1995-2001, SMP Negeri
3 Tinanggea yang sekarang menjadi SMP Negeri 1 Lalembuu tahun 2001-2004, SMA S
Kartika Wira Bhwana VII Kendari yang dimiliki oleh yayasan TNI Angkatan Darat
Korem Kendari tahun 2004-2007. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan
keperguruan tinggi yaitu di IHDN Denpasar mengambil (S1) jurusan Pendidikan
Agama Hindu tahun 2007-2011 dan saat ini sedang menyelesaikan program Magister
(S2) Pendidikan Agama Hindu di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar (IHDN
Denpasar) muali tahun 2011 sampai sekarang.
Sedangkan prestasi yaitu juara I Lomba karya Tulis ilmiah tingkat
mahasiswa IHDN Denpasar tahun 2010, juara III lomba Wushu tingkat se-Bali tahun
2010, juara III lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional di Jakarta tahun
2011. Saat ini sedang mengabdi sebagai tenaga Dosen Tidak Tetap di Fakultas
Dharma Acarya IHDN Denpasar.
nama: luh yantini
BalasHapusnim : 11.1.2.2.1.242
jurusan: pendidikan bahasa dan sastra agama
fakultas: dharma acarya
prodi: sastra agama dan pendidikan bahasa bali
alamat blog : luhyantini.blogspot.com
komentar blog: semangat pak, semoga sukses
Succesfullh... brother... ☝👌👍
BalasHapusek aisa kadam hai jo sarkar ne uthaya hai, jiske uddeshya kisaan aur unke mehatvapurn pashuon ko suraksha dena hai. Bharat jaise desh mein krishi aur pashupalan arthvyavastha aur jeevanoparjan ke liye mahatvapurn hai, is yojana ka mahatva anmol hai. Mukhyamantri Kamdhenu Bima Yojana
BalasHapus